Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 27 Oktober 2008

Menyemai Damai Bersama Maulana Rumi

Tulisan ini Pernah dimuat di Jurnal Al-Washatiyah ICIP

Oleh:

Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)

Universitas Paramadina Jakarta


dengar alunan pilu seruling bambu

sayu sendu nadanya menusuk kalbu

bergitulah ia sejak bercerai dari batang pohon rimbun

dadanya sesak dipenuhi cinta dan kepiluan

walau dekat tempatnya laguku ini berasal:

tak seorang pun tahu dan dapat mendengar

o kurindu kawan yang mengerti isyarat ini

dan mencampurkan rohnya dengan rohku

api cintalah yang memabukan diriku

anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan

inginkah kau tau bagaimana pencinta luka?

dengar, dengar alunan seruling bambu

(Jalaluddin Rumi, Muqadimah Matsnawi)


Ali Syari’ati, sosiolog asal Iran dalam bukunya ‘On the Sosiology of Islam’ menjelaskan, sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan. Lebih ekstrim lagi Ibn Khaldun, sejarawan Muslim abad pertengahan dalam karya agungnya ‘Muqaddimah’ menegaskan, “Anna al-Hurûb wa al-Muqâtilata Lam Tazal Wâqi’atan fî al-Khalîqati Mundzu Barâhâ Allâh” (perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu terjadi sejak Allah menciptakan dunia).


Konflik yang terjadi antara Qabil dan Habil, putra Adam As, pada permulaan sejarah manusia merupakan bentuk pertikaian awal dalam episode kehidupan manusia di muka bumi. Dalam rangkaian kehidupan umat manusia selanjutnya, di sini dan di bumi ini, pertarungan tersebut akan terus berkecamuk dalam segala bentuknya dan dalam wujudnya yang berbeda-beda. Ini semakin menta’kidkan (memperkuat) fakta ilmiah, bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan.


Sehingga dengan begitu bisa dikatakan bahwa seluruh sejarah manusia merupakan arena pertarungan antara kelompok Qabil si pembunuh, dan kelompok Habil yang menjadi korbanya. Qabil dan Habil dalam filsafat sejarah Shari’ati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di antara dua tokoh besar itu, Qabil atau Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar, dan suka membunuh. Sementara Habil berkepribadian baik, ramah, dan pemaaf.


Namun demikian, kehidupan manusia di dunia hakikatnya tidak dipandangan sebagai baik dan jahat, bagus dan buruk, hitam dan putih, perang dan damai, dan seterusnya. Karena pandangan seperti ini tidak saja membelah dunia menjadi dua bagian, di mana satu sama lain saling berlawan-lawanan, berhadap-hadapan, dan saling diperhadap-hadapkan—Dar al-Islam melawan Dar al-Kufr, Dar al-Amn melawan Dar al-Harb, roh suci melawan roh jahat, dan setersunya. Tapi pandangan ini juga berpotensi menyulut api perang dan permusuhan antara dua kelompok tersebut. Sesungguhnya hakikat hidup adalah bagaimana kita dapat memperluas garis perdamaian, cinta-kasih, toleransi, dan humanisme agar tercipta suasana yang harmonis dan rukun antara sesama manusia.


Dalam konteks Indonesia seperti sekarang ini, bahkan dalam dunia global sekali-pun sosok Qabil lebih banyak diperankan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering menyaksikan fenomena aksi kekerasan, seperti terorisme, brutalisme, dan barbarisme. Ironisnya, keseluruhan aksi kekerasan itu tak jarang mengatasnamakan agama, suku, kelompok, budaya dan lainya. Hampir-hampir aksi kekerasan itu dengan sengaja dipertontonkan di ruang-ruang publik tanpa ada perasaan malu dan bersalah sedikit-pun. Tak hanya itu, ketidakadilan menjadi karakter dasar para pemimpin kita, kebengisan menjadi keniscayaan dalam persaingan, dan watak bangsa dari hari ke hari semakin retak, rusak dan bercoreng karat akibat kurangnya keamanan nasional dari pemerintah.


Di tengah-tengah carut marutnya zaman, kengerian yang mencekam, ketakutan yang meneror, dan kegilaan yang menggila, Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi terkenal menawarkan satu ajaran mulia nan paripurna, bagaimana kita dapat meraih kedamaian di dunia, bahkan di akhirat kelak. Ajaran itu diyakini tidak akan pernah sirna dengan bergulirnya ruang dan waktu yang terus berlalu, karena ia tidak bergantung pada keduanya. Ia akan semakin abadi dan kokoh tegak berdiri, karena ia sumber dari segalanya. Ialah ‘Cinta Illahiyah’ atau ‘Cinta Transendental’. Bagi Rumi cinta seperti inilah yang memiliki kekuatan amat dahsyat, bagaikan sayap yang dapat membawa terbang manusia ke angkasa raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke tinggian yang menjulang, dan dari bumi ke bintang Tsurayya.


Bila kita mendalami Cinta Illahiyah-nya Rumi kita akan dapat memetik segudang hikmah, yaitu bagaimana kita membenahi jiwa umat manusia yang dalam konteks sekarang ini sedang kusut dan morat marit. Sudah saatnya dunia harus kita kembalikan pada pungsi awalnya sebagai tempat bernaung, beribadah, berkarya, berjuang, berbuat baik, dan melakukan hal-hal yang positif. Pikiran-pikiran Rumi yang profetik (mengandung pesan kenabian) memiliki tenaga pembebasan dan pencerahan, sehingga bisa digunakan untuk membebaskan dunia dari macam peperangan, keterasingan, marginalisasi, kezaliman dan sifat-sifat negatif lainya. Pikiran-pikiran itu senantiasa ia pijakan pada landasannya yang kokoh, Cinta Illahiyah.


Mengenal Maulana Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi dikenal tidak saja sebagai penyair-mistik, tapi juga sebagai tokoh humanis terbesar sepanjang masa. Ia adalah tokoh perdamaian yang mampu menyatukan berbagai aliran kepercayaan, agama, suku, golongan, dan kelompok pada masanya. Dalam setiap Halaqahnya (tempat mengajar), banyak dari kalangan Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan juga Islam ikut mendengarkan ceramah-ceramahnya. Rumi selalu mengajarkan kepada murid-muridnya tentang kesejatian hidup, nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti toleransi, inklusivisme, dan pluralisme. Inilah yang bisa kita sebut dengan nilai-nilai parenial agama, yaitu nilai-nilai yang absolut, universal, dan berlaku kapan saja. Karena itu, murid-murid Rumi menyebut dirinya dengan ‘guru sejagat’.


Mohamad Iqbal, sastrawan-filosof Pakistan sekaligus salah satu dari sekian ribu muridnya· menyebut Rumi sebagai “Raushan Damir”, yaitu orang yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu membaca dan menyingkap rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tadinya tersembunyi. Seakan-akan ia tahu betul apa yang akan terjadi pada esok hari dan masa yang akan datang. Maka tidak heran kalau Fariruddin Atthar, penulis karya agung “Mantiq at-Thair” pernah meramalkan bahwa pada suatu saat nanti Maulana Rumi akan menjadi seorang terkenal dan berpengaruh bagi peradaban umat manusia, sekarang, esok, dan masa yang akan datang. Ramalan itu menjadi kenyataan, kini siapa yang tidak pernah mengenal Maulana Rumi.


Dari ujung Timur hingga Barat, dan dari ujung Selatan hingga Utara semunya mengenal Rumi. Berkat jasa-jasanya, terutama upayanya menciptakan perdamaian di dunia, UNESCO tak segan-segan menetapkan tahun 2007 sebagai tahun Maulana Rumi. Pada 6 September 2007 lalu, badan PBB ini merayakan kelahiran Rumi yang dihadiri oleh Dirjen UNESCO, Koichiro Matsura, dan tiga orang Menteri yang mewakili Afghanistan, Iran, dan Turki. Tak ketinggalan juga Negeri para Mullah, Iran menggelar Konferensi Internasional peringatan Maulana Rumi pada 28-30 Oktober 2007. Dan pada 25 Oktober 2007 lalu, beberapa kedutaan untuk Indonesia seperti Iran dan Turki juga menggelar acara yang sama di Taman Ismail Marzuki. Jelasnya, peringatan Rumi selalu dirayakan dalam setiap tahun dan semuanya ikut meramaikan.


Tak hanya itu, konon katanya, para selebritas Hollywood seperti Madonna, Goldie Hawn, dan Deepak Chopra untuk mengabadikan jasa Maulana Rumi, mereka telah merekam puisi-puisinya (A Gift of Love). Yusuf Islam, penyanyi-pencipta lagu dari Inggris yang dulu tenar dengan nama Cat Stevens, menyelipkan karya Rumi dalam lagu berjudul Whispers from a Spiritual Garden di album pop terbarunya selama hampir 30 tahun. Bahkan, seorang Ahmad Dhani (personil Dewa) pun, musisi ternama Indonesia dalam beberapa bait lagunya banyak diinspirasi oleh puisi-puisi Rumi. Tarian sama-nya Rumi dalam “Laskar Cinta” bukti dari keterinspirasian Dhani atas Rumi.


Rumi lahir pada tahun 604 Hijriah (30 September 1207) di Kota Balkhan, salah satu kota kecil yang dulu merupakan bagian dari Provinsi Khurasan di Iran, dan kini telah menjadi bagian dari Afghanistan. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi yang beribukota di Bukhara, Transoksiana.

Rumi dilahirkan dalam kondisi zaman sedang mengalami peperangan yang amat menakutkan. Yaitu ketika umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling mengerikan dalam sejarah klasiknya. Di mana di sebelah Barat terjadi Perang Salib yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Sementara di sebelah Timur, bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan menyapu bersih dan memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan besar-besaran yang dilakukan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada tahun 1256 M.


Akibat serangan tersebut, kota Baghdad sebagai pusat peradaban Islam waktu itu hancur berkeping-keping bagaikan puing-puing yang tersapu ombak. Ratusan ribu penduduknya dibantai, dibunuh dan dihancurkan secara keji tanpa ampun. Sehingga ibukota kekhalifahan Abbasiyah berubah menjadi kota mati, sepi, dan sunyi untuk belasan tahun lamanya. Tak ada kehidupan. Tragis, mengerikan, dan memilukan memang!


Sementara itu, menurut keterangan Leonard Lewisohn, Persia yang merupakan kota para sufi juga telah terjadi pembantaian sistematis terhadap penduduk sipil di semua kota besarnya (Balkh, Marv, Nishapur, Heart, Tus, Ray, Qazwin, Hamadan, Ardabil, dll). Pengrusakan yang dilakukan tentara Mongol itu pada akhirnya berakibat pada hancurnya ekonomi feodal Persia abad pertengahan yang mengubahnya menjadi sebuah ekonomi budak.


Perang Salib yang terjadi secara bergelombang dan serbuan tentara Mongol yang menyapu bersih hampir seluruh negeri kaum Muslimin, tentu saja melahirkan penderitaan yang amat dahsyat, bahkan hingga kini masih terasa akibatnya. Umat Islam sepertinya tak lagi berdaya membangun kehidupannya kembali. Untuk kembali bangkit mereka harus membutuhkan waktu yang lama. Di tengah-tengah suasana yang diliputi keputusasaan dan psimisme yang mendalam inilah para sufi, ulama dan cendekiawan Muslim, salah satunya Maulana Rumi bangkit mengajarkan pentingnya makna ‘Cinta illahi’ bagi kehidupan umat manusia. Karena kedalaman cinta illahi akan merubah perang menjadi damai, marah menjadi anugerah, dan sesuatu hal yang buruk akan menjadi baik.


Rumi banyak meninggalkan karya agung hingga saat ini tetap dibaca dan memberikan inspirasi besar bagi kehidupan kemanusiaan. Kitab-kitab itu antar lain: Divan-i Syams-i Tabriz (ditujukan untuk sang guru spiritualnya sekaligus kekasihnya Syamsi Tabriz); Matsnawi-i-Ma'anawi (terdiri dari 6 jilid berisi 20.700 bait syair); Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait); Fîhi Maa Fîhi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang sufisme); dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).


Kekuatan Cinta Rumi

Dalam dunia tasawuf, cinta merupakan dasar terpenting dari serangkaian keimanan dan ketakwaan seseorang kepada sang Pencipta. Tanpa cinta yang mendalam, ketakwaan dan keimanan seseorang akan rapuh, goyah dan mudah diombang-ambing—laksana perahu yang terombang-ambing gelombang besar dan laksana buih di lautan yang terhempas ombak laut ke tepian, lalu diseret kembali ke tengah pantai, digulung, dilumat, dan dihempaskan kembali ke tepian. Begitulah selanjutnya orang yang tidak terdapat dalam dirinya cinta illahiyah.


Bila cinta kepada sang Pencipta telah goyah, maka seluruh kenyataan hidup manusia seketika itu juga akan mengarah kepada kehancuran dan kebinasaan. Saat itulah, remuk redam sebuah peradaban dan kebudayaan manusia sampai pada titik nadir yang mengenaskan. “Sangkar yang dibangun di atas dahan yang rapuh akan mudah jatuh”, kata Mohamad Iqbal. Kita bagaikan hidup di dalam sangkar di atas dahan, bila dahan itu rapuh maka sangkar akan jatuh terkulai. Begitupun manusia, bila cinta tidak bersemi di dalam jiwanya dan malah mencampakanya maka rentetan peristiwa mengerikan akan datang tanpa sebuah undangan. Ia akan tersungkur, terkapar dalam musim tumbang.


Cinta dalam tulisan ini tidak merujuk pada model cinta manusiawi, layaknya cinta seorang laki-laki kepada perempuan, karena itu bersifat temporal, berwaktu, dan terbatas. Tapi, cinta ilahiyah. Karena, ialah yang mengilhami keseluruhan cinta yang ada di dunia; terhadap sesama manusia, alam, jagat raya dan mahluk ciptaan Tuhan. Ibn ‘Arabi dalam “Futûhât al-Mâkiyyah” menjelaskan, cinta illahi sebab terciptanya alam semesta. Tanpa cinta, alam semesta tidak akan pernah ada. Allah-pun dalam salah satu hadis Qudsinya menayatakan; “Aku (Allah) adalah harta yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Sebab itu, Ku ciptakan dunia”.


Yang dimaksud dengan ‘harta yang tersembunyi’ menurut Rumi adalah perbendaharaan hikmah Tuhan yang abadi, yang ingin dipandang, direnungi, dipikirkan, dan dikenal. Dengan mendapatkan cermin dari perbendaharaan Tuhan yang tersembunyi itu, maka segala sesuatu di alam semesta semakin cinta dan rindu terhadap perwujudan diri mereka. Rumi dalam “Fihi Ma Fihi” menjelaskan, bukankah sang pecinta ingin dikenal cintanya, perindu ingin diketahui rindunya, dan pencari ingin diketahui bahwa ia benar-benar mencari. Sedangkan Tuhan dan perbendaharaan dari cinta dan hikmah-Nya ingin menjelmakan agar supaya cinta dan hikmah-Nya dapat dinyatakan pada mereka yang menerima petunjuk.


Di sini kita dapat memahami begitu besar kekuatan cinta dan peranya bagi alam semesta terutama sekali bagi kehidupan manusia di dunia. Oleh karenanya, Rumi meyakini kekuatan itu. Baginya, cinta memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Di dalamnya terdapat energi yang dapat menjadikan alam dan jagat raya berjalan di dalam keteraturan dan keseimbangan yang sempurna. Dengan adanya keteraturan dan keseimbangan atas alam semesta berarti kedamaian dan keharmonisan akan selalu tercipta. Bagi Rumi bintang-bintang dan planet-planet yang terdapat di angkasa raya semuanya digerakan dan dikendalikan oleh kekuatan cinta. Dalam satu puisinya Rumi mengatakan;


Melalui cinta, langit-langit dalam keselarasan

Tanpa cinta, bintang-bintang akan lenyap…..

Seiring dengan itu, Ibn Sina, seorang filusuf Muslim ternama mengatakan;

Cinta menjadi kekuatan hidup setiap gerakan

Mohamad Iqbal dalam salah satu puisinya yang berjudul “Cordoba” mengatakan;

Cinta asal kehidupan dan haram baginya kematian

Cinta menyingkirkan banjir datang melanda

Sebab cinta adalah air pasang mengalun

Tundukan topan dan badai


Cinta adalah penggerak kehidupan. Tidak ada yang mampu bergerak sedikitpun di dunia ini kecuali ia digerakan oleh cinta. Matahari tidak akan mampu mengeluarkan cahayanya dan kembali terbenam di ufuk sebelah Barat tanpa sentuhan cinta. Deburan ombak di lautan tidak akan bergelombang dengan begitu anggun dan mesranya tanpa hentakan kaki cinta. Gunung-gemunung tidak akan menjadi pasak, tiang-tiang penyanggah tanpa ditopang cinta. Gemuruh badai, gelegar halilintar, tiupan angin, dan gemericik hujan semuanya ada karena alunan Cinta Illahiah dan kasih sayang-Nya yang tak bertepi. Singkatnya, dengan cinta, seseorang akan mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan.


Bagi Rumi, untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui jalan Cinta. Dengan jalan cinta seseorang akan sampai pada kebenaran tertinggi dan dapat terbang tinggi menuju Yang Satu. Kata Rumi:

Inilah cinta: terbang tingi ke langit

Setiap saat mencampakan ratusan hijab

Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)

Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad

Cinta memandang dunia benda-benda telah raib

Dan tak mempedulikan yang hanya tampak di mata

Ia memandang jauh ke balik dunia rupa

Menembus hakikat segala sesuatu


Seruling Cinta untuk Radikalisme Agama

Bila ditanya, apa sumbangan terbesar Rumi bagi kepentingan Islam dan kemanusiaan? Yang jelas, bukan saja terletak pada terbentuknya Tarekat Mawlawi, tarian berputar (sama’), ataupun berzikir dengan diiringi lantunan musik. Tapi doktrin cintanlah yang menjadi sumbangan terbesar Rumi. Karena, dari doktrin cinta lahir beberapa ajaran Rumi sebagaimana telah disebutkan di atas tadi. Cinta pada dirinya mengandung makna universal yang dengan sendirinya akan diterima oleh semua kalangan, paham, dan ideologi, tanpa kecuali.


Sehingga misalnya, ketika kita berbicara bagaimana relasi agama dan cinta Rumi. Maka bisa dipastikan cinta Rumi dalam hubunganya dengan agama tidak ingin mengkotak-kotakan pemeluknya hingga melahirkan “asabiyah” (fanatisme kelompok yang berlebihan). Keragaman dalam beragama dan berkeyakinan memang sesuatu yang niscaya terjadi dan bahkan mesti ada. Namun demikian, dengan keragaman itu cinta tidak menginginkan perpecahan dan pertikaian. Karena cinta mengandung kekuatan, yaitu melakukan perlawanan terhadap semangat untuk menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan dan fanatisme golongan. Dan Rumi melalui tafsir cintanya, ingin menolak penggunaan agama sebagai alat untuk mengobarkan perang dan kekerasan sebagaimana yang terjadi sekarang ini.


Munculnya aksi kekerasan berlatar agama atau populer kita sebut dengan radikalisme agama seperti aksi terorisme, disebabkan karena cinta tidak lagi dijadikan landasan dalam beragama. Kita lebih banyak mengekspresikan agama sebagai sesuatu yang menakutkan, kejam, bengis dan mengerikan. Padahal kedatangan Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi sekalian alam), cinta dan kasih. Bukan sebagai pembawa kekacauan dan malapetaka bagi alam, manusia dan mahluk ciptaan lainya. Bila agama sampai detik ini selalu mengobarkan perang dan kekerasan, maka agama saat itu juga sudah kehilangan misi propetiknya sebagai pembawa kedamaian dan kemaslahatan bagi umat manusia. Saat itu pula agama sudah berada di “titik nol” bahkan “nol besar”.


Dalam sub-judul ini kita akan bicara soal kenapa akhir-akhir ini radikalisme agama muncul di permukaan hingga pada akhirnya agama lebih diidentikan dengan hantu yang membawa ketakutan dan kengerian bagi pemeluknya? Lalu bagaimana kita merendam gerakan itu?


Sejauh pengamatan Said Agil Siroj, dalam sejarah kemunculanya, fenomena radikalisme agama tidak muncul pada era modern sekarang ini. Kemunculnya dimulai sejak terjadinya peristiwa albitrase (tahkim) yang dilakukan antara kelompok Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah dalam perang Shiffin. Peristiwa ini akhirnya melahirkan kelompok Khawarij, pengikut Ali yang membelot karena tidak sepakat diadakanya albitrase. Dalam perjalanan selanjutnya Khawarij diasosiasikan sebagai kelompok yang membidani lahirnya radikalisme agama pada era sekarang ini. Bahkan, lebih lanjut Said Agil mengatakan kemunculan gerakan radikal dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup.


Yang menjadi karakter dasar dari kelompok radikal ini, terutama sekali mengenai keyakinan dan kepercayaan, mereka menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal radikalisme agama ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak bersikap toleran, inklusif, dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang yang berbeda. Dan mereka memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.


Bila kita amati, kemunculan radikalisme agama bisa jadi diakibatkan karena dua faktor, pertama, simplikasi pemahaman terhadap teks-teks suci keagamaan (al-Quran dan al-hadis). Atau dalam istilah Fazlur Rahman, ia menyebutnya dengan pendekatan “atomistik” atas al-Quran yang hingga kini sudah menjadi norma dan nilai. Artinya, kita cenderung memahami teks keagamaan secara parsial, sepotong-sepotong dan meninggalkan konteks turunya teks tersebut. Padahal dalam memahami sebuah teks kita tidak boleh melepaskan konteksnya. Karena teks dan konteks bagaimanapun juga satu sama lain saling berkelindan dan berkaitan. Tidak ada teks tanpa konteks, kata Nasr Hamid Abu Zaed.


Untuk memahami satu ayat dalam al-Quran, apalagi kita mencoba merelevansikanya dengan kondisi umat manusia yang sedang dihadapi, kiranya akan mustahil bila kita tidak lebih dahulu memahami sebab-sebab kenapa ayat itu duturunkan. Karena, dalam studi ilmu al-Quran (Ulum al-Quran) mayoritas ayat-ayat al-Quran diturunkan melalui sebab dan kondisi yang memaksanya turun. Sehingga tidak aneh bila ulama tafsir, baik ulama klasik maupun modern menuliskan buku mengenai asbab an-Nuzul (sebab turunya ayat) seperti; Jalaludin As-Shuyuti dengan ‘Lubbâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl’; Ibn Juzi al-Kilâbi dengan ‘Tahshil Lil al-Ulûm at-Tanzîl’; Ibn Khalifah ‘Aliwi dengan ‘Jâmi’ an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl wa Syarh Ayâtihi’, dan ulama lainya. Sekali lagi, tanpa mengetahui asbab nuzul sebuah ayat kita akan kesulitan memahami ayat bersangkutan dan hasil yang dicapainya-pun cenderung tidak mengarah pada kebaikan.


Sebagai contoh misalnya, setelah terjadi tragedi kemanusiaan yang cukup memilukan 11 September 2001, kelompok Taliban secara keseluruhan membenarkan serangan tersebut dengan mengutip salah satu ayat yang dijadikan senjata; “Akan Kami masukan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka adalah neraka” (Q.S. Ali Imran [3]:151). Padahal kalau kita merujuk pada ilmu asbab nuzul, ayat ini diwahyukan ketika terjadi perang Uhud. Ketika itu pasukan Nabi berjumlah lebih kecil dan serba kekurangan bila dibandingkan dengan pasukan musuh yang cukup besar dan serba legkap.


Dalam kondisi seperti ini Allah menentramkan pasukan Nabi dengan cara memberikan ketakutan pada pasukan musuh. Bila dilihat dari kontek turunya ayat, ayat ini tidak berati bentuk umum bagi semua umat Islam dan berlaku untuk semua kondisi. Ayat ini adalah komentar terhadap apa yang terjadi pada saat itu, yaitu hanya dalam kasus perang Uhud saja, tidak dibenarkan untuk menteror orang lain atau agama lain. Dengan begitu, kandungan ayat tersebut hanya bersifat temporal dan personal.


Kalau kita membaca ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan cinta Rumi. Maka kita tidak dengan segera menjustifikasi ayat itu sebagai ayat terorisme yang memberikan ketakutan pada musuh. Dengan menggunakan pendekatan cinta kita akan memperlakukan ayat tersebut dengan santun, ramah, dan manusiawi. Kenapa? Karena seluruh kandungan al-Quran, menurut Rumi diyakini mengajarkan kebaikan dan keselamatan bagi umat manusia, bukan kekerasan apalagi sampai mengorbankan nyawa manusia. Bila agama sebagai wahyu Tuhan mengajarkan kekerasan dan pertumpahan darah antar manusia, maka kita sebagai manusia yang berakal patut mempertanyakan itu. Karena dalam timbangan akal sehat sendiri kekerasan dan bentuk lainya tidak pernah diperkenankan. Tafsir cinta Rumi menginginkan keterlibatan konteks dalam menafsirkan teksnya atau ilmu asbab nuzul. Karena teks dan konteks pada kenyataanya satu sama lain tidak saling berdiri sendiri-sendiri secara permanen.


Kedua, terjadia reduksi terhadap terma-terma kegamaan seperti yang terjadi pada konsep jihad. Untuk sekarang ini, jihad direduksi ke dalam satu pengertian tunggal, “perang suci”. Sehingga dengan demikian orang akan mudah melakukan teror, bom bunuh diri, dan melakukan kekerasan lainya hanya lantaran demi membela agama Allah. Pemahaman ini sampai kapanpun menyesatkan, bukan saja karena komponen-komponen spiritual, intelektual, dan sosial dari konsep jihad itu telah dilucuti begitu saja, tetapi istilah itu sudah direduksi menjadi perang dengan jalan apapun, termasuk melalui terorisme. Pada akhirnya setiap orang bisa mengumandangkan jihad tanpa harus mempertimbangkan etis dan moral yang terkandung di dalam jihad itu sendiri.


Bila kita kembalikan kepada ajaran Rumi, yaitu cinta. Maka jihad akan dimaknai dengan penuh hati-hati, yaitu dipahami dalam makna subtansial dan spiritualnya secara utuh dalam rangka mewujudkan perdamaian dan keadilan sebagai realitas yang hidup bagi semua orang, di manapun mereka berada. Karena jihad dalam makna asalinya memiliki makna yang baik sebagai pertahanan dan pembelaan terhadap nyawa, agama, harta, keturunan, akal, dan seterusnya. Bukan dimaknai sebagai perang yang agresif dan membabi buta.


Khaled Abou El-Fadl menegaskan bahwa Al-Quran dalam seluruh kandungan ayat-ayatnya tidak pernah merujuk kata jihad untuk perang atau pertempuran secara fisik. Al-Quran hanya menggunakan kata qital untuk merujuk pada makna perang dan pertempuran yang berbentuk fisik, bukan jihad. Jihad pada dirinya mengandung etika dan moral yang baik sehingga penggunaanya pun tidak terbatas dan berhingga selama digunakan untuk kemaslahatan dan kebaikan umat manusia di dunia. Sementara qital sendiri dibatasi oleh kondisi dan situasi tertentu dan oleh alasan tertentu pula.


Begitulah Maulana Rumi meniupkan seruling cintanya ke pelosok dunia untuk merendam radikalisme agama. Dengan seruling cintanya, Rumi menyeru umat Islam untuk mengembalikan pemahaman Islam pada penilaianya yang subtantif. Oleh karenanya diperlukan penyegaran pada tingkat keberagamaan yang bersifat pendalaman dan peresapan. Para sufi terdahulu pun selain Rumi, seperti al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Junayd, Dzû Nun al-Misri, al-Bustami, Rabi’ah, dan Fariruddin Attar telah memberikan teladan yang luar biasa, bagaimana keberagamaan itu seharusnya menjangkau sisi terdalam dari sebuah agama. Ini berarti keberagamaan bukan lahir dari determinasi eksternal, melainkan tumbuh dari dalam, sehingga mekar berkembang secara ramah dan santun. Cintalah yang harus kita jadikan landasan dalam memahami agama. Karena ia akan selalu berpijak pada keramahan dan kasih sayang.


Selanjutnya, kita harus berterimakasih pada Maulana Rumi, meskipun ia telah jauh meniinggalkan kita, yaitu 800 tahun yang lalu, namun pesan-pesan damai yang sempat ditorehkanya dalam lembaran buku melalui seruling cintanya akan selalu tetap aktual dan relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan seperti sekarang ini. Ia menyeru umat manusia secara keseluruhan agar agama didekati dengan jalan cinta. Bila ini dilakukan maka sudah dapat dipastikan tidak akan terjadi peperangan, pertikaian dan pembunuhan atas nama agama. Karena cinta akan mengajak seluruh elemen umat beragama untuk berdamaai, bersaudara, dan saling kasih mengasihi.


Perang dan bentuk kekerasan lainya dalam “Matsnawi” diibaratkan dengan seruling bambu yang terpisah dari batang pohonya yang rimbun dan rindang. Keterpisahan itu telah menjadikan nada seruling bambu menjadi sayu sendu dan memilukan. Menjadikan dadanya semakin sesak, dipenuhi kesedihan dan penderitaan. Ketika seruling bambu terpisah dari pohonya, maka melodi cinta tidak bisa menggema kembali. Suara-suara damai semakin tak terdengar bahkan terkubur, hilang bersama alam. Rumi menawarkan solusi dengan cara meniup seruling bambu dengan penuh penghayatan dan perasaan sehingga mengeluarkan suara merdu, yaitu suara cinta dan perdamaian.


Begitulah kekerasan yang terjadi di dunia akibat seruling cinta sudah tidak lagi bergema, bersuara, bahkan ditiupkan. Api cintalah yang memabukan diriku/anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan/inginkah kau tau bagaimana pencinta luka?/dengar, dengar alunan seruling bambu, kata Rumi.


Setelah memberi pelajaran hidup yang sangat bermakna, Rumi berpulang ke pangkuan Illahi dalam usia 68 tahun. Ia wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H. Kepergian Rumi untuk selamanya mengundang kesedihan yang mendalam. Pada batu nisan di atas makam Rumi, orang menatahkan kata-kata yang pernah dikemukakannya: “Saat kita mati, janganlah mencari makam kita di atas bumi, tapi temukanlah di hati manusia”. Artinya, berilah yang terbaik untuk kehidupan manusia di dunia, sehingga dengan meninggalkan mereka, mereka akan selalu mengenal dan mengingat kita.


Akhirnya, selamat tinggal sang kekasih Allah, kadamaian mengikuti perjalananmu sebagaimana engkau torehkan cinta dan perdamaian bagi kami. Amin!


DAFTAR BACAAN

  • Abdul Hadi W.M, Pesan Propetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rumi, (Makalah; Jakarta, 12 Desember 2003).
  • Ali Shari’ati, On the Sosiology of Islam, Translated from the Persian by Hamid Algadri, New York, 1977.
  • Ibn Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Ma’arif, Libanon, 1957.
  • Ibn Sina, Risâlât fî Mâhiyyât al-‘Isyq, Istanbul, 1953.
  • Jalaludin Rumi, Matsnawi Ma’nawi (terj. Masnawi Rumi).
  • Jalaludin Rumi, Fîhi Mâ Fîhi (terj. Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhanya), Pustaka Hidayah, 2002.
  • Mohamad Iqbal, Asrar-i Khudi, Bulan Bintang, 1984.
  • Tariq Ramadan, To be a European Muslim; A Study of Islamic Sources in the European Context (terj. Teologi Dialog Islam-Barat; Pergumulan Muslim Eropa), Mizan 2002.



· Dalam Javid Namah Iqbal menjelaskan hubungan antara dirinya dengan Rumi sebagai hubungan guru dan murid. Buku ini menjelaskan bagaimana Iqbal sang murid menemani gurunya, Rumi dalam pengembaraan spiritual. Pengembaraan ini, Iqbal gambarkan melalui drama Isra’ Mi’raj yang dimulai dari bumi hingga ke langit ke tujuh sebagaimana yang pernah dialami Nabi Muhammad. Karena bagi Iqbal Isra’ Mi’raj diyakini sebagai pengalaman spiritual paling tinggi karena tersingkapnya seluruh kenyataan hidup yang tadinya tersembunyi.

Tidak ada komentar: