Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 27 Oktober 2008

Pertikaian di Seputar Tafsir Keagamaan

Tulisan ini Pernah dimuat di buku “Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis”

Oleh: Mohamad Asrori Mulky

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Apapun yang menjadi penghalang, seberat apapun perang batin kita. . .kita selalu punya pilihan. Pilihan kita lah yang menjadikan diri kita. Dan kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar.

Abstrak

Ungkapan di atas sangat relevan bila dikaitkan dengan bentuk ekspresi keberagamaan kita pada hari ini, esok, dan masa yang akan datang. Betapa tidak, munculnya fenomena klaim kebenaran dewasa ini tidak saja telah membunuh fitrah keragaman dalam beragama, tapi juga ia telah menjadi penghalang dalam menentukan pilihan yang dianggap benar dan sah menurut timbangan hati dan nurani kita. Faktanya, terkadang kita lebih sering dituntut untuk menjadi budak dalam beragama, yang tunduk dan patuh pada satu otoritas ulama, daripada menghargai seorang penganut agama yang mencari kebenaran agamanya sendiri. Hanya pilihan kitalah yang menentukan corak keberagamaan kita, bukan atas dasar intstruksi eksternal yang terkadang membelenggu kreatifitas dan kebebasan seseorang untuk mengekspresikan keberagamaanya. Sekali lagi, kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar dan baik buat kita.

--------------------------------------------------------------------------------

Peradaban Islam adalah peradaban pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir kegamaan dan dalam seluruh perwujudan budaya dan tradisi mereka. Peradaban yang lebih dikenal dengan aksi pengibaran panji dan hunusan belati, di mana kompromi dan negoisasi acapkali diabaikan dan ditinggalkan. Hingga akhirnya menciptakan kubangan darah yang merambah dalam amuk waktu yang terus berlalu. Sebuah peradaban yang selalu mengobarkan api, menyalakan bara dendam dan meneriakan klaim kebenaran sebagai jalan tunggal yang harus dilalui dan dijejaki. Menyeramkan, memilukan, dan mengerikan memang.

Bagitulah pertarungan yang terjadi di atas panggung sejarah dan peradaban manusia yang selalu ditorehkannya dari masa ke masa, terutama oleh pihak yang menginginkan ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dengan pihak yang menginginkan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Ironisnya, pertarungan yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik. Hingga pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia menghancurkan segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.

Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam tulisan ini, sebetulnya merujuk pada gagasan Adonis (Ali Ahmad Said), seorang penyair Arab kontemporer dan budayawan besar Arab masa kini. Dalam salah satu karyanya ‘Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ ‘inda al-‘Arab’, Adonis menggunakan dua istilah tersebut untuk memetakan watak nalar masyarakat Arab-Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan.

Atas dasar dua kategori nalar tersebutlah, menurut hemat saya kasus pemecatan Moh. Shofan sebagai Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik pada awal Pebruari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media Surya dan Indo Pos/Jawa Pos, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan kedalam nalar ekslusif atau nalar inklusif. Dalam kasus Shofan ini, bagi saya Muhammadiyah lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, jumud, dan statis ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif. Sebab, Muhammadiyah dalam konteks ini sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah organisasi yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas dan kemajemukan. Sehingga setiap pemikiran yang keluar dari cara pandang Muhammadiyah, apapun bentuk dan isinya dianggap sesat dan patut untuk dimusuhi tanpa pertimbangan dan pengkajian ulang.

Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan, apalagi dilakukan oleh sebuah organisasi kegamaan seperti Muhammadiyah yang dalam perannya sudah mendapat perhatian banyak masyarakat luas. Keputusan Muhammadiyah mengklaim saudara Shofan dengan sesat hingga berujung pada pemecatan terhadapnya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat dalam era demokrasi seperti ini, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.

Yang paling disesalkan lagi, sebagai organisasi yang mengaku mengadopsi nilai-nilai modernitas, khususnya dalam ranah pendidikan, Muhammadiyah tidak bisa mengakomodir dan mengapresiasi keragaman pendapat yang terjadi di lingkunganya. Padahal dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis.

Bila kita perhatikan tradisi Islam pada masa kejayaanya, betapa kebebasan berpikir dan berpendapat seperti yang dilakukan Shofan akhir-akhir ini sebenarnya sudah diekspresikan para ulama dan kaum cendikia waktu itu. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan cetak biru peradaban Islam yang lebih progresif dan rasional. Artinya, apa yang dilakukan saudara Shofan ketika menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat kristiani yang sedang merayakan natalan 25 Desember 2006 lalu, bukanlah satu dari sekian banyak isu yang mencuat di permukaan, yang kedatanganya hampir-hampir dianggap menantang aqidah seseorang dan memaksanya untuk keluar dari keyakinan yang dianut. Tapi, hal demikian lebih pada soal pemahaman dan tafsir dalam wacana keagamaan yang bersifat dinamis dan menyejarah.

Abdurrahman Badawi dalam Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islami menyebutkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap sesat dan bersimpangan jalan dengan tradisi Islam. Sebut saja misalnya, Ibn al-Muqaffa, Muhammad Zakariya ar-Razi, Ibn ar-Rawandi, Jabir Ibn Hayyan dan tokoh-tokoh lainya. Dalam bukunya, Badawi mengurai dengan jelas prilaku semua tokoh sambil mengekplorasi argumen-argumen mereka, kenapa mereka dianggap sesat dan atheis (mulhid). Dalam setiap pendapatnya mereka sering mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan, seperti julukan sesat, murtad, atheis bahkan sampai pada penyiksaan fisik dan ekslusi.

Klaim kebenaran dalam setiap diskursus ilmu sosial dan keagamaan seperti disebutkan di atas lebih sering terjadi, dan bahkan sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat manusia hingga kini. Fenomena ini seakan telah menjebol setiap dinding ruang dan waktu di mana manusia hidup hingga melahirkan getaran dan patahan dalam sejarah. Hal demikian akan selalu memadati dan menyeruak dalam panggung sejarah dunia dan bangsa-bangsa, kini, esok dan masa yang akan datang. Bila manusia dalam keseluruhan hidupnya tidak pernah menghayati dan memahami arti sebuah akal, yang darinya kebebasan muncul untuk memperjuangkan berbagai keragaman dan pendapat.


Agama dan Paham Keagamaan

‘Agama dimulai dengan hening, sunyi dan senyap’, kata Goenawan Mohamad. Ia tidak hanya datang dari sebuah ‘uzlah yang panjang hingga melahirkan kesuyian, juga bukan karena ia datang dari sebuah saat yang dahsyat (wahyu) hingga melahirkan keheningan. Lebih dari itu, keheningan dan kesunyian dalam agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena itu merupakan misi utama dari kedatanganya ke muka bumi ini. Namun dalam seluruh perwujudanya, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Ia seakan lebih menakutkan dari Monster dan lebih membahayakan dari Dracula. Setiap saat kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan yang mengatasnamakan agama. Dan tak jarang pula kita menyaksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap sok suci.

Sikap seperti itu sesungguhnya sudah terekam dengan jelas dalam diskursus wacana agama yang selalu berkutat pada isu “kemapanan” (ats-tsâbit) dan “perubahan” (al-mutahawwil), atau dalam istilah Mohammad Iqbal “kebakaan” dan “kefanaan”. Dua hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab para cendikiawan muslim dewasa ini untuk bisa mendamaikan dan mengkompromikannya dalam satu tujuan, memahami keragaman dan mengakui pluralitas makna dalam setiap diskursus wacana agama.

Dalam konteks wacana agama, kita sering kali dikacaukan dengan sebutan ‘agama’ dan ‘paham keagamaan’, atau dalam istilah Sa’id al-Asymawi sebagai ad-Din wa al-Fikr ad-Din. ‘Agama’ sejak semula dipahami oleh para rasul dan pemeluknya sebagai sesuatu yang memiliki makna yang tetap dan abadi hingga kapanpun. Ia bersifat al-tsâbit, konstan, abadi, ilahi, permanen, dan sakral. Sebab, sumber agama adalah Zat yang Azali, yang Maha Kekal dan yang tidak mengalami perubahan dan pergeseran sedikitpun. Tapi pada saat yang sama, setiap pemeluk agama malah tidak memahami makna lain yang mengiringi makna yang bersifat tetap dan abadi tersebut, yakni ‘paham keagamaan’. Ia lebih bersifat manusiawi, dinamis, transformatif, al-mutaghayyir, berubah-ubah, temporal, dan profan.

Maka, ikhtiar mengidentikan keduanya dalam keseluruhan tafsir dan pemahamanya merupakan kesalahan yang besar. Karena, hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana kita beragama. Pada momen seperti inilah, Abdul Karim Soroush memberikan kontribusi penting dengan menawarkan satu teori yang cukup populer, yaitu teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ (al-qabdh wa al-basth). Soroush menjelaskan inti dari teorinya itu, bahwa dengan teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ kita dapat memahmi perbedaan antara ‘agama’ dan ‘pemaham keagamaan’. Munculnya berbagai wacana kegamaan yang cukup kontroversial dewasa ini seperti, persoalan pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan juga mengucapkan hari natal bagi umat kristiani sesungguhnya lebih mencerminkan pada dimensi ‘paham agama’ bukan ‘agama’ itu sendiri. Ia merupakan serpihan puing-puing yang dinamakan paham agama, bukan bangunan kokoh yang namanya agama. Ia tak lebih sebagai percikan sinar matahari dan bukan matahari itu sendiri. Singkatnya, agama pada dirinya bersifat tunggal dan universal, sementara pemahaman terhadapnya bersifat partikular, beragam, dan temporal, karena ia adalah produk dari hasil sebuah kreasi manusia yang dikembangkan akal. Sementara tabiat akal itu sendiri, menurut Sa’id al-Asymawi adalah ikhtilaf dan mengandung keragaman, “Thabi’at al-‘Aql al-Ikhtilaf”.

Celakanya, perbedaan pemahaman dalam wacana keagamaan yang nampak di atas permukaan akir-akhir ini lebih dimotivasi dan didorong oleh unsur kepentingan. Sehingga, makna hakiki yang terkandung dari sebuah teks terabaikan. Oleh karenanya, dalam melakukan tafsir terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadits misalnya, menurut Nasr Hamid Abu Zaed, paling penting adalah bagaimana menangkap pesan teks dalam makna yang sesungguhnya, bukan sebagai ideologi yang dapat dipolitisir dan dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau individu. Teks harus dibebaskan dari macam-macam kepentingan. Ia tidak boleh memihak dan memilih identitas tertentu. Apalagi bertujuan untuk meneguhkan kemapanan kelompok tertentu. Bila tafsir keagamaan yang muncul di permukaan dan diserap manyoritas umat Islam lebih bersifat tendensius dan mencerminkan kepentingan idiologi kelompok tertentu, maka tak heran jika klaim kebenaran menjadi semakin menyeruak dan menjadi tantangan yang harus dihadapi.


Mengedepankan Tradisi Dialog

Dalam perhelatan sejarah yang panjang dan mengemuka pada setiap lini kehidupan umat manusia, pertentangan antara kelompok ‘yang menginginkan kemapanan’ dengan kelompok ‘yang menginginkan perubahan’, atau antara kelompok ‘yang bernalar eklusif’ dengan kelompok ‘yang bernalar inklusif’ sering melahirkan tragedi dan represi. Maka damai dalam kondisi seperti ini adalah kata yang selalu dipinta, dinanti, diminati, dan bahkan didamba setiap manusia, bangsa, dan peradaban manapun. Namun, untuk meraihnya amat sulit dilakukan, terkadang kita harus melewati jalan yang terjal dan berliku-liku, tersandung dan tersungkur jatuh.

Dalam kaitan inilah bisa ditegaskan bahwa dialog menjadi aspek terpenting dalam setiap diskursus diantara pertentangan dan perhelatanya. Dialog merupakan sarana perjumpaan ide dan gagasan yang mengandaikan di dalamnya terjadi saling menghormati dan mengakui masing-masing kutub dalam keragaman dan pluralitas. Karena, esensi dari sebuah dialog itu sendiri merupakan manifestasi dari pluralitas kemajemukan ciptaan Tuhan. Dalam dialog memungkinkan kita untuk mengedepankan sikap saling memberi dan menerima, mengisi dan melengkapi, serta menegor dan menyapa. Namun demikian, dialog yang kita inginkan adalah dialog yang aktif, membuahkan, dan menghasilkan kebenaran, bukan dialog pasif dan mandul.

Dalam tradisi pemikiran Islam, model dialog yang demikian disebut dengan "dialektik-dialogis" (al-Hiwar al-Jadali), yaitu dialog yang dimulai dengan memperhadapkan dua pendapat yang berbeda, lalu satu sama lain saling mengkritik, membongkar, mendekonstruksi, dan akhirnya merekonstruksinya kembali dengan cara memilih dan mempertahan kebenaran yang diyakininya, sambil tetap menghargai dan memahami pendapat masing-masing tanpa saling merendahkan dan menafikan yang lain. Karena hakikat dialog itu sendiri adalah mencari kebenaran dari sebuah persoalan, bukan memaksakan kehendak (egois) agar lawan debat kita membenarkan dan mengikuti pemahaman yang kita pegang teguh.

Untuk menghindari hal demikian, Ibn Rusyd seorang filosof Cordoba memberikan penjelasan penting bagaimana seharusnya kita dialog. Ia mengatakan “ketika menemuka bahwa pandangan lawan itu buruk atau tidak memiliki premis-premis tertentu yang bisa menghilangkan keburukan tersebut, seorang pencari kebenaran semestinya mencari hakikat sejalan dengan metode yang diyakini si lawan dalam mengukuhkan pendapatnya, selain mempelajari pendapat itu secara berulang-ulang dan berurutan”. Hal ini mengandaikan bahwa dalam berdialog kedua belah pihak dituntut untuk menjaga etika dialog, dimana setiap pihak melihat pandangan dan pendapat pihak lain dari kacamata referensi pihak terakhir. Dengan ini akan lahir kesalingpahaman yang menjadi syarat pokok untuk mengakui sebuah perbedaan.

Di pihak lain, Abu Hamid al-Ghazali seorang teolog Asy’ariyah yang pernah menjadi lawan debat Ibn Rusyd, juga memberikan gambaran serupa. Dalam salah satu kitabnya “Maqâsidh al-Falâsifah”, ia menegaskan bahwa fa Inna al-Wuqûf ‘alâ Fasâd al-Mazhâhib qabla al-Ihâthati bi Madârikihâ Muhâlun bal Huwa Ramâ fî al-‘Imâyati wa adz-Dzhalâlati, bahwa memberikan penilaian atas suatu kelompok atau pendapat tanpa mengkaji dan menganalisisnya terlebih dahulu sungguh merupakan kezholiman dan kejahatan yang mengerikan. Kejahatan dalam berdialog tidak saja terjadi ketika satu sama lain saling memaksakan kehendaknya untuk diikuti, tapi juga terjadi ketika satu sama lain tidak saling mengkaji dan memahami terlebih dahulu pendapat masing-masing. Model seperti ini akan menciptakan sikap egoistis, ingin menang sendiri serta akan melahirkan anggapan dan prasangka yang memihak.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd dan al-Ghazali sama-sama sepakat bahwa munculnya kesalahpahaman hingga melahirkan tuduhan dan klaim kebenaran, disebabkan karena tidak adanya upaya untuk memahami pendapat lawan debatnya, terlalu egois, dan tidak mencoba untuk memahami metode yang digunakan oleh lawan. Sehingga, kesimpulan yang dihasilkannya pun cenderung merugikan pihak lawan. Oleh karenanya, dalam membangun sebuah dialog, langkah yang mungkin kita lakukan adalah mengkaji, mempelajari, dan memahami terlebih dahulu pendapat lawan sebelum melakukan penilaian dan penghakiman. Karena itu merupakan cara yang bijak yang hanya dilakukan oleh orang yang bijak.

Atas pertimbangan itu, apa yang dilakukan Muhammadiyah memecat saudara Shofan dari jabatanya sebagai Dosen tetap, tanpa adanya upaya komunikasi dan diskusi yang dapat mencairkan masalah. Sungguh merupakan keputusan yang tidak dapat digolongkan kedalam kategori orang-orang bijak. Sebab, keputusan itu dilakukan secara sepihak. Sebagai organisasi yang mengusung nilai-nilai modernitas, sejatinya Muhammadiyah melakukan instropeksi diri dan kembali kepada khittah awal. Yaitu sebagai organisasi yang memperjuangkan pembaharuan (tajdid) sebagaimana yang menjadi cita-cita ideal KH. Ahmad Dahlan.

Pendeknya, bila Muhammadiyah ingin konsisten disebut sebagai gerakan tajdid, maka upaya yang harus dilakukan kemudian adalah memberi kesempatan dan kebebasan kepada generasi muda untuk mengekspresikan segala macam bentuk kreatifitas, berpikir kritis, dan bernalar inklusif. Dengan mengedepankan nalar inklusif, maka telah membunuh nalar dogmatis yang sifatnya selalu menafikan pendapat pihak lain dan menganggapnya sebagai wacana ‘terlarang dipikirkan’. Bila ini terjadi, menurut Arkoun konsekuensinya adalah wacana itu akan menjadi wilayah ‘tak terpikirkan’ (alla al-mufakkar fih) selamanya. Wallhu ‘alam bisshawab.

Tidak ada komentar: