Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 20 Januari 2009

Mengukir Janji di Himalaya

Dimuat di Majalah GATRA (15-21 Januari 2009)
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Anggota International Interreligious Federation World and Peace, dan Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul Three Cups of Tea
Penulis Greg Mortenson & David Oliver Relin
Penerbit Hikmah, Jakarta
Cetakan I, September 2008
Tebal xvi + 629 Halaman

Walau gagal menaklukan puncak tertinggi di dunia, Greg Mortenson menunaikan janji membangun sekolah di pedalaman Utara Pakistan. Sebuah petualangan yang impresif.

Pada 1954, Sir Edmund Hillary berhasil menaklukan puncak gunung Everest bersama Tenzing Norgay. Berbeda dengan Norgay, Hillary memilih kembali ke Lembah Khumbu untuk menunaikan tugas kemanusiaan yang pernah ia janjikan: membangun sekolah bagi komunitas Sherpa, suku asal para pemandu andal dalam ekspedisi itu.

Hillary menulis buku ‘’Schoolhouse in the Clouds’’ (Sekolah di Atas Awan) pada 1964. buku ini bercerita tentang pahit getir pengalamannya selama proses pembangunan gedung sekolah itu. Ia harus melewati lembah yang terjal, jurang yang menganga, hamparan daratan yang luas, dan musim yang kurang bersahabat. Hillary menyadari, ternyata tugasnya lebih sulit daripada mendaki puncak Himalaya.

Pada 1993, Greg Mortenson, perawat asal Montana, Amerika Serikat mencoba menaklukkan puncak tertinggi sedunia, K2, di Himalaya. Ironisnya, tidak hanya gagal, Mortenson juga tersesat, mengalami keletihan kronis, bahkan kehilangan 15 kilogram bobot tubuhnya.

Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Mortenson menuju Askole. Ia malah tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta Karakoram. Di sanalah, di gubuk Haji Ali (Kepala suku Korphe), Mortenson dijamu dengan ramah, dirawat dengan penuh perhatian, dan dilayani bak tamu agung.

Majalah Gatra

Buku Three Cups of Tea ini merupakan kisah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan dan keteguhan hati yang diperankan Mortenson. Sebuah kisah pemenuhan janji yang pernah ia torehkan kepada Haji Ali, yakni membangun gedung sekolah di Desa Korphe, Pakistan Utara. Dalam waktu satu dekade, Mortenson mampu membangun tak kurang dari 51 sekolah—terutama untuk anak-anak perempuan—di kawasan terluar dari daerah terlarang rezim Taliban itu. Hasil yang sangat luar biasa dan mengagumkan.

Bila kita bandingkan kisah Hillary dengan Schoolhouse in the Clouds­-nya dan Mortenson dengan Three Cups of Tea-nya, ternyata jalan yang ditempuh Hillary jauh lebih mudah ketimbang Mortenson. Hillary tidak begitu banyak mendapatkan kesulitan dalam proses pembangunan gedung sekolah di lembah Khumbu. Begitu juga dalam penggalangan dana. Ketika Hillary mengajukan bantuan dana kepada perusahaan-perusahaan donor terkemuka, mereka malah berebut untuk bisa mensponsori ‘’Ekspedisi Gedung Sekolah Himalaya’’ milik Hillary.

Sebagai catatan, pada 1963, World Book Encyclopedia menyuplai Hillary dengan dana sejumlah US$ 52.000. Tak hanya itu, Sears Roebuck, yang baru-baru ini mulai menjual tenda dan kantong tidur merek Sir Edmund Hillary, menyediakan pakaian untuk seluruh anggota ekspedisi dan mengirim kru untuk merekam semua kegiatan Hillary. Setelah menaklukkan puncak Everest, Hillary pun jadi salah orang terkenal.

Sedangkan Mortenson tidak hanya gagal menaklukkan puncak K2. Ketika kembali ke Amerika, ia dalam keadaan bangkrut karena harta yang ia miliki ludes untuk kepentingan pendakian. Bahkan hubunganya dengan sang istri, Mariana sempat retak. Mengenai dana, dari 580 surat permohonan yang ia kirim, hanya satu yang mendapat jawaban. Itu pun dari Tom Brokaw, teman Mortenson di University of South Dakota. Brokaw mengirimkan cek senilai US$ 100 beserta surat yang isinya doa untuk keberhasilan Mortenson.

Three Cups of Tea tidak seperti Schoolhouse in the Clouds. Buku yang ditulis David Oliver Relin, penulis yang mendampingi Mortenson di lembah Khumbu ketika membangun gedung sekolah, tidak sekadar menyajikan petualangan Mortenson dalam pembangunan sekolah, melainkan juga menyuguhkan kisah-kisah menarik lainya. Termasuk pengalaman perhadapan dengan sekelompok ulama radikal Taliban yang merekrut anak-anak untuk dijadikan pengikutnya.

Karya ini terhitung sebagai buku terlaris versi New York Times selama 74 pekan sejak diterbitkan pada akhir 2007. Penerjemahan buku ini oleh penerbit Hikmah diharapkan memberi inspirasi bagi bangsa kita, betapa tekad bulat dan keinginan tulus akan berbuah manis, meski harus menghadapi berbagai rintangan. Juga pendidikan, terutama dalam memerangi terorisme dan radikalisme agama, yang pada konteks sekarang terjadi di mana-mana.

1 komentar:

M.Iqbal Dawami mengatakan...

salam kenal mas Asrory, saya juga berasal dari Pandeglang,tepatnya Kec.Bojong. Minggu ini resensi anda dimuat ya di Sindo. Selamat!