Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 18 Januari 2025

Menyelamatkan Misi Profetik Agama

Sabtu, Januari 18, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Misi profetik agama-agama adalah membawa damai, cinta, dan welas asih. Begitulah sejatinya watak agama sejak pertama kali dititahkan Tuhan kepada para nabi-nabi suci terdahulu.

 

Tetapi, dalam seluruh perwujudannya di ruang publik yang menyejarah, agama sering ditempatkan pada lorong gelap peradaban. Segala bentuk kekerasan diatribusikan pada wajah agama. Agama dituduh sebagai peletup konflik dan pertikaian.

 

Dan yang paling dirugikan dengan sejumlah pemberitaan tentang kekacauan atas nama agama adalah Islam. Barat cenderung menghubungkan kekerasan agama pada Islam, meski kekerasan itu sebetulnya terjadi di mana-mana dan melibatkan semua agama.

 

Islam menjadi pihak yang tertuduh, kata Akbar S. Ahmed (Islam Under Siege: 2003). Serangan teroris di Amerika Serikat, 11 September 2001, kian menebalkan tuduhan itu, dan menambah pandangan negatif dalam alam pikiran penduduk dunia terhadap Islam.

 

Di tengah awan kelam yang menyelimuti wajah agama, Karen Asrmstrong, seorang mantan biarawati Katolik, memberi harapan dan optimisme tentang esensi agama yang ramah dan welas asih. Dalam Fields of Blood (2014) dia mendengungkan ajaran kasih yang dibawa agama seraya menyangkal segenap tuduhan yang diarahkan pada wajah agama.

 

Kalaupun agama, di suatu waktu dulu meletupkan konflik, itu karena, kata Armstrong, lebih disebabkan perannya telah diselewengkan oleh kekuatan sosial, ekonomi, dan politik untuk meraih tujuan-tujuan tertentu. Agama telah dipolitisasi, bahkan didikapitalisasi sedemikian rupa dengan cara keji dan menjijikan.

 

Apa yang pantas kita katakan terhadap sejumlah peristiwa berdarah yang mencabik martabat manusia seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah, Boko Haram di Afrika, Perang Salib, ekstremis Buddha dan Hindu di Myanmar dan India, selain perebutan kuasa atas lahan dan tanah berlatar politik.

 

Dalam buku ini, Arsmtrong menghubungkan kejadian-kejadian besar dalam sejarah dengan konteks lebih luas. Dia menunjukkan bagaimana konflik-konflik tersebut lebih dipengaruhi oleh perjuangan untuk kekuasaan, identitas, dan dominasi sosial daripada oleh motivasi keagamaan murni.

 

Fields of Blood mengajak para pembaca untuk mempertimbangkan kembali pandangan mereka tentang agama dan kekerasan. Dengan keahlian dan wawasan sejarahnya yang memadai, Arsmtrong menyajikan narasi yang mengajak kita untuk melihat agama bukan sebagai penyebab utama kekerasan, melainkan elemen yang sering dipolitisasi oleh kekuatan sosial dan politik tertentu.

 

Buku ini sangat cocok dan direkomendasikan bagi mereka yang tertarik pada studi agama, sejarah, dan konflik, serta bagi siapa saja yang ingin memahami hubungan yang lebih kompleks antara agama dan kekerasan dalam sejarah manusia. Salah satu aspek yang menarik dari buku ini adalah pendekatannya yang sangat historis. Membabar setiap peristiwa sejarah dengan begitu gamblang dan mendalam.

 

Armstrong tidak hanya membahas agama dalam konteks kontemporer, tetapi juga melibatkan pembaca dalam analisis sejarah yang luas, mengkaji peran agama dalam peradaban kuno, abad pertengahan, hingga dunia modern. Buku ini benar-benar memberi wawasan yang mendalam dan berbeda dari buku-buku lain yang lebih fokus pada teori atau analisis sosial-politik semata.

 

Setelah membaca buku ini, ada semacam kelagaan yang lapang bahwa agama bukan seperti yang dituduhkan. Armstrong benar-benar telah membasuh muka agama dari noda hitam dengan kesejukan dan menyelamatkan misi profetik setiap agama sebagai pembawa kasih dan welas asih.

 

Selamat membaca!

Kamis, 09 Januari 2025

Dua Wajah Agama

Kamis, Januari 09, 2025 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kehadiran agama di ruang publik tidak pernah sepi dari kritik dan persepsi negatif. Betapapun agama mewartakan kebenaran yang datang dari Tuhan melalui para nabi yang suci, tetap saja banyak pihak menuduhnya sebagai pembawa petaka dan kehancuran, bahkan sumber kekerasan.


Agama melahirkan dua wajah yang berbeda. Masing-masing memperlihatkan bentuk dan wataknya yang saling bertolak belakang: kadang jahat kadang baik, kadang berlumur darah kadang dipenuhi cahaya kasih. Semua bergantung pada pemahaman umat beragama. Wajah mana yang dipilih menentukan sikap dan ekspresi mereka pada agama yang dipeluknya.

 

Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) menuduh agama, khususnya tiga agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam sebagai sumber kekerasan dan biang malapetaka. Kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat manusia, dari dulu hingga kini, menurutnya, dapat ditelusuri akar persoalannya ke dalam ajaran dan dogma setiap agama.

 

Tuhan, dan agama dengan segenap ajarannya, menurut Dawkins, bukan sekedar ilusi tapi delusi. Yang dalam diskursus psikologi dimaknai sebagai gejala dari gangguan mental atau psikiatri, seperti skizofrenia atau gangguan delusional. Di mana seseorang mungkin memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap hal-hal yang tidak rasional dan ilmiah.

 

Kecurigaan terhadap agama juga diutarakan Rene Girard dalam Violence and the Sacred. Menurutnya, agama berfungsi sebagai sistem yang menjustifikasi kekerasan melalui ritual pengorbanan. Untuk mendukung pandangannya, Girard mengembangkan teori scapegoat (kambing-hitam) dan mimesis (tiruan).

 

Teori mimesis menjelaskan konflik dan kekerasan muncul karena manusia meniru keinginan orang lain—bukan sekedar meniru tindakan. Keinginan yang saling meniru itu akan menghasilkan persaingan dan ketegangan, hingga pada akhirnya melahirkan konflik dan kekerasan.

 

Teori scapegoat (kambing-hitam) menggambarkan bagaimana masyarakat mencari korban untuk mengalihkan dan menenangkan kekerasan. Untuk meredakan ketegangan sosial akibat kekerasan yang muncul dari persaingan mimesis, masyarakat sering kali memilih seseorang atau kelompok untuk disalahkan dan dikorbankan, yang disebut scapegoat atau "kambing hitam."

 

Menurut Girard, ritual pengorbanan hanya mengendalikan kekerasan untuk sementara waktu, dan yang sebetulnya terjadi adalah melegalkan kekerasan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Banyak agama dan ritual tradisi kuno menggunakan pengorbanan untuk mengatasi masalah yang dihadapi manusia: tradisi qurban dalam Islam, penyaliban Yesus, dan pengorbanan manusia untuk kepentingan para dewa.

 

Darah yang ditumpahkan dalam setiap pengorbanan itu sudah cukup bagi Girard untuk membuktikan, dan kian menebalkan kecurigaannya pada pelestarian kekerasan dalam doktrin agama. Siklus kekerasan yang termanifestasikan dalam pengorbanan doktrin agama sulit untuk dipangkas, apalagi diakhiri.

 

Sementara itu, Christopher Hitchens, jurnalis dan penulis Inggris-Amerika, dalam God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007), memberi catatan hitam pada agama. Hitchens menegaskan bahwa agama tidak sekedar penyebab kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada banyak aspek buruk dalam sejarah manusia, termasuk penindasan perempuan, diskriminasi, dan terorisme yang belakangan menjadi isu global.

 

Hitchens berpandangan meski ada banyak tindakan kebajikan yang dilakukan individu beragama, institusi agama itu sendiri seringkali menindas kebebasan berpikir, memicu ketegangan sosial, dan mengorbankan kehidupan demi dogma yang tidak rasional. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah, Boko Haram dan Lord’s Resistance Army di Afrika, Perang Salib yang melenyapkan banyak jiwa manusia, ekstremis Buddha dan Hindu di Myanmar dan India, kian menguatkan pandangan populer bahwa agama adalah sumber kekerasan dan konflik yang berdarah-darah.

Berbeda dengana pandangan para tokoh sebelumnya, Karen Armstrong justru memberi penilaian cukup positif terhadap peran agama di ruang publik. Dalam Fields of Blood: Religion and the History of Violence, dia memberi penjelasan historis mengenai relasi agama dan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan atas nama agama, menurutnya, sering kali berkaitan dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi ketimbang ajaran agama.

 

Dalam buku tersebut, Armstrong menggali akar penyebab kekerasan yang terjadi dalam konteks agama, dengan memisahkan elemen-elemen yang berasal dari ajaran agama dengan kekerasan yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti politik dan ekonomi. Dia menunjukkan fakta bahwa banyak konflik yang dipandang sebagai "perang agama" sebenarnya memiliki dimensi politik yang lebih besar.

 

Agama yang sering disalahpahami, kata Armstrong, sebagaimana dia uraikan dalam The Case for God (2009), malah dapat menjadi sarana membangun perdamaian dan mengatasi perpecahan sosial. Agama bisa menjadi sumber perdamaian, cinta kasih, dan transformasi sosial menuju peradaban emas. Dalam arti lain, agama hadir untuk menentang perang, kebencian, dan bentuk kekerasan lain.

 

John D. Caputo dalam The Weakness of God: A Theology of the Event—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Agama Cinta: Agama Masa Depan— meyakinkan semua umat beragama tentang cinta sebagai inti dari ajaran agama. Menurutnya, agama sejati adalah yang tidak menguasai, menekan dan memaksa orang lain, apalagi jadi biang konflik dan kekerasan.

 

Inilah yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai agama cinta: Cinta kepada-Nya adalah agama dan keyakinanku (فالحب ديني و إيماني) dalam Tarjumân al Asywâq. Agama yang tidak didasari pada tali kasih bukanlah agama yang sejati. Bila agama memecah-belah, menjadi sumber konflik dan kekerasan, apa guna kehadirannya di muka bumi ini???

Jumat, 03 Januari 2025

Kebenaran Berwajah Plural

Jumat, Januari 03, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam beberapa abad yang silam penyair mistik terbesar sepanjang zaman, Maulana Rumi atau Jalaluddin Rumi, mengurai pokok-pokok pemikirannya dalam Divan-e Kebir, yang kemudian sering dikenal dengan The Great Divan of Rumi.


Dalam buku itu, di antara tema yang dibahas Rumi adalah mengenai kebenaran yang dipersepsi oleh setiap orang; kebenaran yang tak satu orang pun bisa menggapainya walau sekejap mata. Apalagi memperolehnya secara sempurna dan sepanjang masa.


“Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan terpecah berkeping-keping. Tiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.” Demikian Rumi mengibaratkan kebenaran laksana cermin yang jatuh terserak menjadi kepingan dan potongan-potongan kecil.


Manusia dan para pencari (kebenaran) hanya mampu memungut potongan kecil dari cermin kebenaran itu. Lalu kemudian, masing-masing akan memantulkan kebenaran dari cermin yang diperolehnya. Tentu saja sesuai kadar dan kapasitasnya.


Dalam wacana Filsafat Ilmu, kebenaran tidak tunggal. Justru beragam dan berwajah plural. Hal itu terjadi karena makna kebenaran didekati dari pelbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda.


Makna kebenaran bisa berkonotasi empiris ketika harus dijustifikasi dengan kenyataan aktual/faktual. Makna kebenaran bisa memiliki arti matematis dan logis, menyuguhkan wacana yang bersifat abstrak logis-matematis. Makna kebenaran juga bisa berarti pragmatis, ketika kita menuntut manfaat dan kegunaan praktis dalam kehidupan konkret sehari-hari.


Dalam perkembangannya, arti kebenaran pun tidak hanya berhenti di sana. Ada pula kebenaran performatif yang mengandung makna untuk melakukan sesuatu yang dititahkan oleh figur yang berwenang. Akhirnya, ada pula kebenaran konsensus yang berlaku dalam level kajian saintifik dan kebenaran konsensus dalam level diskursus sosial-politik.


Begitulah manusia. Kita hanya mampu menangkap sekeping kebenaran dari semesta kebenaran yang membentang di hadapan kita. Kita tidak pernah selesai dalam mencandra seluruh realitas yang hadir dalam kehidupan kita. Semua gagasan, wawasan, dan pengetahuan tentang seluruh fenomena kehidupan yang kita konstruksi merupakan konstruksi dari sudut pandang tertentu.


Lalu kita bertanya, adakah kebenaran objektif atau universal yang bisa diterima oleh semua orang?


Tentu saja kebenaran semacam itu ada. Namun ketika hal itu sudah bergumul dengan manusia yang terkurung dengan segala subjektivitasnya, maka makna kebenaran seperti yang dimaksud menjadi bersifat subjektif dan historis.


Apalagi kalau kita bicara makna kebenaran-kebenaran dalam wacana saintifik, kehidupan sosial, dan filsafat pengetahuan. Semuanya hanya mengkonstruksi sepotong makna kebenaran dalam konteksnya masing-masing untuk akhirnya saling bertegus sapa, saling mengkritik, saling mengisi, dan memperkaya makna kebenaran satu sama lain.