Oleh Mohamad Asrori Mulky
Misi profetik agama-agama adalah membawa damai, cinta, dan welas asih. Begitulah sejatinya watak agama sejak pertama kali dititahkan Tuhan kepada para nabi-nabi suci terdahulu.
Tetapi,
dalam seluruh perwujudannya di ruang publik yang menyejarah, agama sering
ditempatkan pada lorong gelap peradaban. Segala bentuk kekerasan diatribusikan
pada wajah agama. Agama dituduh sebagai peletup konflik dan pertikaian.
Dan
yang paling dirugikan dengan sejumlah pemberitaan tentang kekacauan atas nama
agama adalah Islam. Barat cenderung menghubungkan kekerasan agama pada Islam, meski
kekerasan itu sebetulnya terjadi di mana-mana dan melibatkan semua agama.
Islam
menjadi pihak yang tertuduh, kata Akbar S. Ahmed (Islam Under Siege: 2003).
Serangan teroris di Amerika Serikat, 11 September 2001, kian menebalkan tuduhan
itu, dan menambah pandangan negatif dalam alam pikiran penduduk dunia terhadap
Islam.
Di tengah
awan kelam yang menyelimuti wajah agama, Karen Asrmstrong, seorang mantan
biarawati Katolik, memberi harapan dan optimisme tentang esensi agama yang ramah
dan welas asih. Dalam Fields of Blood (2014) dia
mendengungkan ajaran kasih yang dibawa agama seraya menyangkal segenap tuduhan yang
diarahkan pada wajah agama.
Kalaupun
agama, di suatu waktu dulu meletupkan konflik, itu karena, kata Armstrong, lebih
disebabkan perannya telah diselewengkan oleh kekuatan sosial, ekonomi, dan
politik untuk meraih tujuan-tujuan tertentu. Agama telah dipolitisasi, bahkan
didikapitalisasi sedemikian rupa dengan cara keji dan menjijikan.
Apa
yang pantas kita katakan terhadap sejumlah peristiwa berdarah yang mencabik
martabat manusia seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur
Tengah, Boko Haram di Afrika, Perang Salib, ekstremis Buddha dan Hindu di
Myanmar dan India, selain perebutan kuasa atas lahan dan tanah berlatar politik.
Dalam
buku ini, Arsmtrong menghubungkan kejadian-kejadian besar dalam sejarah dengan
konteks lebih luas. Dia menunjukkan bagaimana konflik-konflik tersebut lebih
dipengaruhi oleh perjuangan untuk kekuasaan, identitas, dan dominasi sosial
daripada oleh motivasi keagamaan murni.
Fields of Blood
mengajak para pembaca untuk mempertimbangkan kembali pandangan mereka tentang
agama dan kekerasan. Dengan keahlian dan wawasan sejarahnya yang memadai, Arsmtrong
menyajikan narasi yang mengajak kita untuk melihat agama bukan sebagai penyebab
utama kekerasan, melainkan elemen yang sering dipolitisasi oleh kekuatan sosial
dan politik tertentu.
Buku
ini sangat cocok dan direkomendasikan bagi mereka yang tertarik pada studi
agama, sejarah, dan konflik, serta bagi siapa saja yang ingin memahami hubungan
yang lebih kompleks antara agama dan kekerasan dalam sejarah manusia. Salah
satu aspek yang menarik dari buku ini adalah pendekatannya yang sangat
historis. Membabar setiap peristiwa sejarah dengan begitu gamblang dan
mendalam.
Armstrong
tidak hanya membahas agama dalam konteks kontemporer, tetapi juga melibatkan
pembaca dalam analisis sejarah yang luas, mengkaji peran agama dalam peradaban
kuno, abad pertengahan, hingga dunia modern. Buku ini benar-benar memberi wawasan
yang mendalam dan berbeda dari buku-buku lain yang lebih fokus pada teori atau
analisis sosial-politik semata.
Setelah
membaca buku ini, ada semacam kelagaan yang lapang bahwa agama bukan seperti
yang dituduhkan. Armstrong benar-benar telah membasuh muka agama dari noda
hitam dengan kesejukan dan menyelamatkan misi profetik setiap agama sebagai pembawa
kasih dan welas asih.
Selamat
membaca!