Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 10 Februari 2025

Khalil Abdul Karim dan Historisitas Syariah

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Nama Khalil Abdul Karim tidak bisa dikesampingkan dari pergulatan pemikiran pembaruan dalam Islam. Dia bisa ditempatkan sejajar dengan sejumlah pemikir raksasa seperti Mohamad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaed, Sayed Mahmud al Qimni, Muhammad Said al Asymawi, dan Abdullahi Ahmed Al Na’im.

 

Dia adalah pemikir yang berani menantang narasi dominan dalam hukum Islam dengan pendekatan historis-kritis. Gagasannya tentang historisitas syariah, kritik terhadap relasi kuasa, dan pentingnya kontekstualisasi hukum Islam memberikan kontribusi besar dalam wacana reformasi Islam. Meski banyak menuai kontroversi, pemikirannya tetap relevan dan terus menjadi bahan diskusi dalam dunia akademik dan keislaman.

 

Saya sendiri mulai bersentuhan dengan pemikiran Khalil Abdul Karim sekitar lima tahun lalu. Agak terlambat memang. Kala itu saya masih menempuh pendidikan master di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam suatu waktu, secara tidak sengaja saya melihat buku berjudul Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan di perpustakaan. Sekilas saya membaca dan langsung terpikat. Lalu saya meminjamnya untuk lebih mendalami ide-ide brilian dari penulisnya.

 

Hegemoni Quraisy mengisahkan dominasi suku Quraisy dalam menguasai Ka’bah dan Jazirah Arab sejak Qushoy bin Kilab hingga imperium Islam. Khalil Abdul Karim menunjukkan kepada kita bagaiman seluruh pemimpin Islam pasca-Nabi berasal dari Quraisy. Hasrat hegemonik suku Quraisy bahkan kembali terlihat di hari di mana Nabi Muhammad wafat, yang kemudian umat Islam berselisih soal suksesi. Alhasil kelompok Anshor harus merelakan kepemimpinan umat Islam kepada Muhajirin hanya karena mereka bukan suku Quraisy.

 

Hasrat Hegemonik Quraisy ini, menurut Ibnu Khaldun seperti terurai dalam karya agungnya, Muqodimah, merupakan pantulan dari budaya tribalistik (‘ashabiah) yang mengakar dalam dalam kehidupan mereka. Bahkan hingga kini hasrat kesukuan itu masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Arab modern. Hal ini bisa kita saksikan dari penamaan rezim kekuasaan Arab modern selalu merujuk pada kebesaran klan tertentu.

 

Khalil Abdul Karim melanjutkan proyek intelektualnya dengan menulis buku Daulah Yatsrib: Basâ’ir fî ‘Âm al Wufûd (Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab). Buku ini bisa dikatakan lanjutan dari Hegemoni Quraisy. Buku Negara Madinah mengisahkan realitas masyarakat Madinah pada zaman Nabi, di mana orang Arab berduyun-duyun datang ke Madinah hanya untuk mengagungkan suku Quraisy bukan Islam.

 

Tidak lama Nabi Muhammad wafat suku-suku Baduy Arab melepaskan diri satu persatu sebagai wujud pembangkangan mereka terhadap kekuasaan Islam  yang dipimpin Abu Bakar. Mereka memilih kembali ke agama nenek moyang masa lalu mereka dengan meninggal Islam. Dan karena itu mereka tidak mau membayar zakat. Lalu Abu Bakar bereaksi dengan memerangi mereka karena dianggap sudah membelot.


Meninjau Ulang Syariah

Khalil Abdul Karim (1930-2002) lahir di Mesir dan tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan tradisi Islam. Dia menempuh pendidikan dalam bidang hukum dan syari’ah, yang kemudian membawanya pada kajian mendalam mengenai sejarah Islam. Sebagai seorang akademisi dan penulis progresif, dia dikenal aktif dalam meneliti serta mengkritisi peran kekuasaan dalam pembentukan hukum Islam dan syariah.

 

Gagasan Khalil Abdul Karim tentang historisitas syariah yang mustahil dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan ekonomi, menuai reaksi hebat dari kalangan Islam tradisionalis-konservatif. Pandangannya itu dianggap telah menggetarkan bangunan dogma agama yang sebelumnya dipandang kokoh tegak berdiri. Dan kini, banguan itu tidak sekedar bergetar. Malah telah roboh. Porak bersama reruntuhan dogma agama.

 

Syariah Islam yang dianggap mapan dan sempurna oleh Khalil Abdul Karim mulai ditinjau kembali. Dia menekankan syariah bukanlah sesuatu yang turun dari langit tanpa campur tangan manusia, melainkan produk sejarah yang terbentuk dalam konteks sosial dan politik tertentu. Sehingga sulit melepaskan syariah sebagai teks yang statis dari konteksnya yang terus dinamis.

 

Upaya Khalil Abdul Karim meninjau ulang pemaknaan syariah sebagai reaksi dari problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Umat Islam kini tengah menghadapi tantangan dinamika kontemporer yang sangat kompleks. Respon yang kerap muncul di permukaan adalah devensif-apologetik dan tindakan yang kontra-produktif. Akibatnya, sebagian umat Islam semakin terkungkung dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagian telah melakukan ijtihad, tetapi belum semaksimal umat dan bangsa lain.

 

Sebenarnya, umat Islam bukannya tidak melakukan ijtihad sama sekali. Mereka telah melakukannya, tetapi sebatas pembacaan yang berulang-ulang (al qira’ah al mutakarrirah), mereka kurang atau tidak berani melakukan ijtihad yang baru (al qira’ah al muntijah). Inilah yang menjadi motivasi Khalil Abdul Karim melakukan peninjauan ulang terhadap syariah yang kadung dianggap ahistoris yang banyak menyumbang kemunduran umat Islam.

 

Apa yang diijtihadkan Khalil Abdul Karim mendapat apresiasi dari Mohammed Arkoun. Filsuf Aljazair ini menegaskan apa yang telah dilakukan Khalil Abdul Karim merupakan upaya dekonstruksi terhadap otoritas hukum Islam klasik yang dianggap sakral dan abadi. Khalil Abdul Karim berusaha mengembalikan ruh syariah yang bersifat dinamis dan progresif sebagaimana kemunculannya di awal permulaan Islam.

 

 Al ‘Arabu Mâdatul al Islâm (Arab adalah bahan baku Islam). Demikian Khalil Abdul Karim mengatakan dalam al Judzûr al Târîkhiyyah li al Syarî’ah al Islâmiyyah. Kitab tersebut menuai reaksi hebat dari kalangan tradisionalis-konservatif. Melalui karya pertamanya itu, Khalil Abdul Karim memosisikan syariah tidak lahir dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks tertentu yang sangat dipengaruhi dinamika kekuasaan.

 

Paling tidak ada empat hal yang hendak disampaikan Khalil Abdul Karim dalam karyanya tersebut. Pertama, suka tidak suka konsep syariah telah menjadi arena perdebatan berbagai kelompok dalam Islam. Celakanya, beragam pemaknaan terhadap hukum Islam itu sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan sosial yang berbeda.

 

Kedua, kekuasaan punya andil dalam menentukan pemaknaan syariah. Demi melestarikan posisi penguasa tidak jarang menggunakan tafsir tertentu. Dan itu dilakukan dengan cara menekan oposisi agar legitimasi kekuasaannya tetap aman. Ketiga adalah bahwa pemahaman terhadap syariah tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Setiap zaman memiliki tantangan dan kondisi sosial tersendiri yang menyebabkan perubahan dalam tafsir hukum Islam.

 

Dan keempat adalah kritik terhadap pendekatan tekstualis yang cenderung mengabaikan konteks sejarah dalam memahami syariah. Dalam hal ini, Khalil Abdul Karim menekankan pentingnya pendekatan historis dalam melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan ditafsirkan sepanjang sejarah.

 

al Judzûr al Târîkhiyyah li al Syarî’ah al Islâmiyyah memberikan wawasan luas mengenai bagaimana syari’ah dipahami dan diperdebatkan sepanjang sejarah. Dengan pendekatan historis dan kritisnya, Khalil Abdul Karim berhasil mengungkap dinamika pemaknaan syari’ah yang terus berubah seiring waktu dan diperebutkan oleh banyak kekuatan yang berkepentingan. Buku ini memotret kompleksitas tafsir hukum Islam dalam berbagai konteks sosial dan politik.

 


Dengan melakukan pendekatan kritis dan historis terhadap hukum Islam dan syariah, Khalil Abdul Karim menantang pandangan tradisionalis-konservatif yang menempatkan syariah sebagai yang ajeg dan konstan. Pemikirannya banyak menuai kontroversi, terutama di kalangan tradisionalis-konservatif, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih luas dalam memahami Islam secara benar dan holistik.

 

Dalam kajian kritis dan mendalam, Khalil menemukan bahwa begitu banyak aspek religi atau peribadatan dari masyarakat jahiliyah diadopsi Islam. Sebut saja misalnya haji, umrah, pengkultusan Ka’bah, pengagungan Ramadhan, kesucian bulan-bulan Haram, tradisi jum’at, perbudakan, poligami, potong tangan, rajam hingga persoalan qishas. Semua itu adalah warisan Islam dari peninggalan bangsa Arab.

 

Lalu kita bertanya, adakah Islam otentik jika kenyataannya ia berasal dari tradisi lokal Arab pra-Islam?

  

“Dalam soal ini, Islam mengadopsi sebagian sistem Jahiliah dan mencampakkan sebagian sistem yang lain. Terkadang Islam memodifikasi sistem tersebut dengan pola penambahan atau pengurangan. Tetapi pada saat yang lain Islam memakainya secara utuh tanpa modifikasi, melainkan hanya sekedar mengganti nama semata”.


Apa yang disimpulkan Khalil dengan sendirinya mengusik kelompok Islam konservatif yang berpendirian tekstualis dan dogmatis. Bagi mereka, syariah itu suci sebab berasal dari Yang Suci, yaitu Allah SWT. Dan karena syariah berasal dari Allah SWT maka (syariah) sempurna dan abadi meski telah masuk dalam dimensi ruang dan waktu yang pofan.

 

Di sinilah letak kekeliruan kelompok Islam konservatif dalam melihat syariah. Menurut Khalil, ketika syariah dianggap abadi dan telah sempurna akan berdampak pada terhambatnya lapangan ijtihad bagi umat Islam. Dan ini akan menyulitkan umat Islam sendiri untuk menjadi umat yang ideal yang bisa bersaing dengan umat lain.

 

Pada mulanya watak dasar syariah adalah progresif dan dinamis, bahkan revolusioner. Tapi sejak zaman keterpakuan (taqlîd) ia berpaling menjadi alat untuk membatasi akal dan membekukan kretivitas umat dalam berijtihad. Kegagalan umat Islam dalam ijtihad, disimpulkan futurolog Islam asal Inggris, Ziauddin Sardar, karena menyakralkan syariah sebagai yang permanen dan abadi. Sardar menyebutnya sebagai “malapetaka metafisis”.

 

Historisitas syariah yang diupayakan Khalil Abdul Karim saya kira dalam upaya melepaskan umat Islam dari belenggu “malapetaka metafisis” seperti yang dikatakan Ziauddin Sardar itu.

Tidak ada komentar: