Oleh Mohamad Asrori Mulky
Sejarah Islam selalu dimulai dari
sebuah kehilangan: wafatnya Nabi Muhammad. Ketika wahyu berhenti turun, umat
yang pernah disatukan oleh cinta kenabian tiba-tiba berdiri di antara keraguan
dan ambisi. Di Saqifah Bani Sa’idah, para sahabat berdiskusi tentang siapa yang
berhak memimpin umat, namun dalam perdebatan itu sesungguhnya tersembunyi
keresahan yang lebih dalam—bagaimana menjaga makna wahyu di tengah godaan
kekuasaan. Dari sinilah politik dalam Islam lahir: bukan dari kemenangan,
melainkan dari luka yang menuntut makna.
Khawarij muncul sebagai suara keras
yang menolak kompromi. Dengan semboyan lā ḥukma illā lillāh—“tidak ada
hukum selain milik Allah”—mereka berusaha memurnikan iman dari campur tangan
manusia. Namun di balik ketegasan itu tersimpan kesedihan yang dalam; mereka
ingin menegakkan kebenaran, tapi justru terperangkap dalam absolutisme yang
meniadakan kasih. Di sisi lain, kelompok Syiah menegaskan bahwa kepemimpinan
bukan sekadar urusan politik, melainkan kelanjutan dari cahaya spiritual yang
diwariskan kepada keluarga Nabi, Ahlul Bait. Kedua arus besar ini lahir dari
cinta yang sama: cinta kepada kebenaran, namun berjalan di jalan yang berbeda.
Di tengah pertentangan itu, muncul
tokoh seperti Hasan al-Bashri. Ia tidak membangun pasukan, tidak pula
mengangkat senjata. Ia memilih diam dan menasihati dengan kelembutan. Dalam
pandangannya, kekuasaan adalah ujian bagi iman, dan dunia ini hanyalah
persinggahan yang rapuh. Melalui sikapnya, Hasan al-Bashri memperlihatkan bahwa
perlawanan tidak selalu lahir dari teriakan; kadang ia tumbuh dari kesadaran
yang memilih kesunyian.
Sejarah kemudian mencatat nama-nama
besar seperti Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Mereka bukan pemberontak,
tetapi menolak tunduk kepada kekuasaan yang berusaha mengendalikan tafsir
agama. Abu Hanifah menolak jabatan hakim dari penguasa Abbasiyah karena tidak
ingin keadilan menjadi alat legitimasi tirani. Imam Ahmad bin Hanbal disiksa
karena menolak ajaran resmi bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dalam penderitaan,
keduanya menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa dibeli, dan integritas jauh
lebih berharga daripada keselamatan diri. Mereka tidak menentang negara, tetapi
mempertahankan martabat akal dan iman agar tidak menjadi budak kekuasaan.
Dari dunia fiqih dan teologi,
tradisi perlawanan kemudian menjelma menjadi dimensi spiritual dalam diri para
sufi. Al-Hallaj, seorang mistikus besar dari Baghdad, menjadi simbol cinta yang
menolak tunduk pada kekuasaan. Ucapannya yang terkenal, “Ana al-Ḥaqq”—“Akulah
Kebenaran”—bukanlah klaim ketuhanan, melainkan ungkapan fana’, lenyapnya diri
di hadapan Tuhan. Namun bagi penguasa, kata-kata itu terdengar berbahaya.
Al-Hallaj dihukum mati, bukan karena ia menentang agama, melainkan karena
cintanya terlalu jujur untuk dunia yang takut pada kejujuran. Eksekusinya
menandai satu bab penting dalam sejarah oposisi Islam: bahwa cinta kepada Tuhan
bisa menjadi bentuk tertinggi dari perlawanan terhadap tirani.
Rumi, beberapa abad kemudian,
meneruskan pesan itu melalui puisi dan hikmah. Ia tidak melawan penguasa dengan
pedang, melainkan dengan ajaran tentang cinta, kebijaksanaan, dan kerendahan
hati. Dalam pandangan Rumi, politik tanpa spiritualitas adalah tubuh tanpa ruh.
Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati tidak lahir dari kemampuan memerintah,
tetapi dari kemampuan mencintai. Karena itu, bagi para sufi, menolak tunduk
kepada penguasa yang zalim bukan sekadar sikap politik, melainkan bentuk
ibadah. Mereka melihat kekuasaan bukan sebagai jalan menuju Tuhan, tetapi ujian
yang dapat menyesatkan hati jika tidak disertai keikhlasan.
Dalam kerangka inilah, prinsip amar
ma’ruf nahi munkar mendapatkan maknanya yang paling mendalam. Menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan hanya tugas moral, melainkan panggilan
untuk menjaga keseimbangan antara cinta dan keadilan. Al-Ghazali menulis bahwa
amar ma’ruf harus dilakukan dengan ilmu dan kebijaksanaan, bukan dengan
kemarahan. Ia mengingatkan bahwa menegur penguasa bisa menjadi kewajiban,
tetapi bila teguran itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka diam bisa
menjadi bentuk kebijaksanaan yang lebih tinggi. Bagi Al-Ghazali, perlawanan
sejati bukanlah hasil dari amarah, tetapi dari cinta yang disertai pengetahuan.
Ibn Taymiyyah menambahkan lapisan
lain dalam etika oposisi Islam. Menurutnya, Allah akan menegakkan negara yang
adil meskipun dipimpin oleh orang kafir, dan akan menjatuhkan negara yang zalim
meskipun dipimpin oleh Muslim. Kalimat ini menggema sepanjang zaman, menegaskan
bahwa keadilan adalah fondasi segala pemerintahan, dan bahwa agama tanpa keadilan
hanyalah topeng bagi kezaliman. Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, oposisi terhadap
kezaliman bukanlah pemberontakan, melainkan bentuk tanggung jawab moral yang
berakar pada prinsip tauhid—bahwa hanya Allah yang berhak disembah, bukan
penguasa, bukan ideologi, bukan sistem.
Zaman modern membawa bentuk baru
dari perlawanan. Ketika kolonialisme menggerus dunia Islam, muncul pemikir dan
aktivis seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Rachid Ghannouchi, dan Abdolkarim
Soroush. Mereka mencoba mengembalikan agama ke dalam ruang publik, meskipun
dengan jalan yang beragam. Sebagian menempuh jalan ideologis yang keras,
sebagian lain memilih jalur dialogis dan reformis. Dari mereka kita belajar
bahwa perlawanan dalam Islam bukanlah satu bentuk tunggal; ia bisa menjadi revolusi,
bisa menjadi kritik moral, bisa pula menjadi pembaruan intelektual. Tetapi apa
pun bentuknya, semua berangkat dari sumber yang sama: keinginan untuk
menegakkan keadilan sebagai cermin dari keesaan Tuhan.
Di Indonesia, semangat itu hidup
dalam wajah yang lebih lembut. Para ulama dan pemikir seperti KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Abdurrahman Wahid memadukan spiritualitas
dan politik dalam satu napas yang tenang. Gus Dur, khususnya, menunjukkan bahwa
oposisi bisa dilakukan dengan humor, empati, dan kearifan. Ia mengajarkan bahwa
melawan bukan berarti memusuhi; menegur bukan berarti menghancurkan. Dalam
dunia yang semakin terbelah oleh kebencian, etika semacam ini menjadi penawar
bagi luka umat.
Maka, oposisi dalam Islam sejatinya
bukan tindakan melawan penguasa semata, melainkan usaha menjaga nurani agar
tetap berpihak kepada kebenaran. Ia adalah cermin dari iman yang matang, iman
yang tidak butuh panggung untuk menunjukkan keberaniannya. Kadang, oposisi
paling tulus justru lahir dari kesunyian—dari hati yang berani menolak tunduk
pada kebatilan, namun tetap lembut dalam tutur dan bijak dalam sikap. Kesunyian
para sufi, penolakan para ulama, dan kebijaksanaan para pemikir semuanya
bersatu dalam satu garis yang panjang: garis cinta yang menolak tunduk kepada
kekuasaan yang kehilangan arah.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa
kekuasaan akan selalu datang dan pergi, tetapi kebenaran tidak pernah mati.
Dari darah Al-Hallaj hingga tinta Al-Ghazali, dari diamnya Hasan al-Bashri
hingga tawa Gus Dur, Islam senantiasa menghadirkan wajah yang kritis,
manusiawi, dan penuh kasih. Inilah politik yang tidak berakar pada ambisi,
melainkan pada kesadaran spiritual bahwa tugas manusia bukanlah berkuasa,
tetapi menjaga keadilan agar tetap bernafas di tengah dunia yang sering sesak
oleh kepalsuan.
Pada akhirnya, oposisi dalam Islam
adalah bentuk cinta yang paling jujur—cinta kepada Tuhan yang menolak dikotori
oleh kepentingan duniawi. Dan mungkin, hanya mereka yang mencintai dengan
sungguh-sungguhlah yang berani menolak tunduk, bukan karena benci kepada
penguasa, tetapi karena ingin menyelamatkan kemanusiaan dari kehancuran
moralnya sendiri.

