Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 08 Oktober 2025

Ketika Kebenaran Menolak Tunduk: Renungan tentang Politik Oposisi dan Jalan Spiritual dalam Sejarah Islam

Rabu, Oktober 08, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Sejarah Islam selalu dimulai dari sebuah kehilangan: wafatnya Nabi Muhammad. Ketika wahyu berhenti turun, umat yang pernah disatukan oleh cinta kenabian tiba-tiba berdiri di antara keraguan dan ambisi. Di Saqifah Bani Sa’idah, para sahabat berdiskusi tentang siapa yang berhak memimpin umat, namun dalam perdebatan itu sesungguhnya tersembunyi keresahan yang lebih dalam—bagaimana menjaga makna wahyu di tengah godaan kekuasaan. Dari sinilah politik dalam Islam lahir: bukan dari kemenangan, melainkan dari luka yang menuntut makna.

 

Khawarij muncul sebagai suara keras yang menolak kompromi. Dengan semboyan lā ḥukma illā lillāh—“tidak ada hukum selain milik Allah”—mereka berusaha memurnikan iman dari campur tangan manusia. Namun di balik ketegasan itu tersimpan kesedihan yang dalam; mereka ingin menegakkan kebenaran, tapi justru terperangkap dalam absolutisme yang meniadakan kasih. Di sisi lain, kelompok Syiah menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar urusan politik, melainkan kelanjutan dari cahaya spiritual yang diwariskan kepada keluarga Nabi, Ahlul Bait. Kedua arus besar ini lahir dari cinta yang sama: cinta kepada kebenaran, namun berjalan di jalan yang berbeda.

 

Di tengah pertentangan itu, muncul tokoh seperti Hasan al-Bashri. Ia tidak membangun pasukan, tidak pula mengangkat senjata. Ia memilih diam dan menasihati dengan kelembutan. Dalam pandangannya, kekuasaan adalah ujian bagi iman, dan dunia ini hanyalah persinggahan yang rapuh. Melalui sikapnya, Hasan al-Bashri memperlihatkan bahwa perlawanan tidak selalu lahir dari teriakan; kadang ia tumbuh dari kesadaran yang memilih kesunyian.

 

Sejarah kemudian mencatat nama-nama besar seperti Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Mereka bukan pemberontak, tetapi menolak tunduk kepada kekuasaan yang berusaha mengendalikan tafsir agama. Abu Hanifah menolak jabatan hakim dari penguasa Abbasiyah karena tidak ingin keadilan menjadi alat legitimasi tirani. Imam Ahmad bin Hanbal disiksa karena menolak ajaran resmi bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dalam penderitaan, keduanya menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa dibeli, dan integritas jauh lebih berharga daripada keselamatan diri. Mereka tidak menentang negara, tetapi mempertahankan martabat akal dan iman agar tidak menjadi budak kekuasaan.

 

Dari dunia fiqih dan teologi, tradisi perlawanan kemudian menjelma menjadi dimensi spiritual dalam diri para sufi. Al-Hallaj, seorang mistikus besar dari Baghdad, menjadi simbol cinta yang menolak tunduk pada kekuasaan. Ucapannya yang terkenal, “Ana al-Ḥaqq”—“Akulah Kebenaran”—bukanlah klaim ketuhanan, melainkan ungkapan fana’, lenyapnya diri di hadapan Tuhan. Namun bagi penguasa, kata-kata itu terdengar berbahaya. Al-Hallaj dihukum mati, bukan karena ia menentang agama, melainkan karena cintanya terlalu jujur untuk dunia yang takut pada kejujuran. Eksekusinya menandai satu bab penting dalam sejarah oposisi Islam: bahwa cinta kepada Tuhan bisa menjadi bentuk tertinggi dari perlawanan terhadap tirani.

 

Rumi, beberapa abad kemudian, meneruskan pesan itu melalui puisi dan hikmah. Ia tidak melawan penguasa dengan pedang, melainkan dengan ajaran tentang cinta, kebijaksanaan, dan kerendahan hati. Dalam pandangan Rumi, politik tanpa spiritualitas adalah tubuh tanpa ruh. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati tidak lahir dari kemampuan memerintah, tetapi dari kemampuan mencintai. Karena itu, bagi para sufi, menolak tunduk kepada penguasa yang zalim bukan sekadar sikap politik, melainkan bentuk ibadah. Mereka melihat kekuasaan bukan sebagai jalan menuju Tuhan, tetapi ujian yang dapat menyesatkan hati jika tidak disertai keikhlasan.

 

Dalam kerangka inilah, prinsip amar ma’ruf nahi munkar mendapatkan maknanya yang paling mendalam. Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan hanya tugas moral, melainkan panggilan untuk menjaga keseimbangan antara cinta dan keadilan. Al-Ghazali menulis bahwa amar ma’ruf harus dilakukan dengan ilmu dan kebijaksanaan, bukan dengan kemarahan. Ia mengingatkan bahwa menegur penguasa bisa menjadi kewajiban, tetapi bila teguran itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka diam bisa menjadi bentuk kebijaksanaan yang lebih tinggi. Bagi Al-Ghazali, perlawanan sejati bukanlah hasil dari amarah, tetapi dari cinta yang disertai pengetahuan.

 

Ibn Taymiyyah menambahkan lapisan lain dalam etika oposisi Islam. Menurutnya, Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun dipimpin oleh orang kafir, dan akan menjatuhkan negara yang zalim meskipun dipimpin oleh Muslim. Kalimat ini menggema sepanjang zaman, menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi segala pemerintahan, dan bahwa agama tanpa keadilan hanyalah topeng bagi kezaliman. Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, oposisi terhadap kezaliman bukanlah pemberontakan, melainkan bentuk tanggung jawab moral yang berakar pada prinsip tauhid—bahwa hanya Allah yang berhak disembah, bukan penguasa, bukan ideologi, bukan sistem.

 

Zaman modern membawa bentuk baru dari perlawanan. Ketika kolonialisme menggerus dunia Islam, muncul pemikir dan aktivis seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Rachid Ghannouchi, dan Abdolkarim Soroush. Mereka mencoba mengembalikan agama ke dalam ruang publik, meskipun dengan jalan yang beragam. Sebagian menempuh jalan ideologis yang keras, sebagian lain memilih jalur dialogis dan reformis. Dari mereka kita belajar bahwa perlawanan dalam Islam bukanlah satu bentuk tunggal; ia bisa menjadi revolusi, bisa menjadi kritik moral, bisa pula menjadi pembaruan intelektual. Tetapi apa pun bentuknya, semua berangkat dari sumber yang sama: keinginan untuk menegakkan keadilan sebagai cermin dari keesaan Tuhan.

 

Di Indonesia, semangat itu hidup dalam wajah yang lebih lembut. Para ulama dan pemikir seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Abdurrahman Wahid memadukan spiritualitas dan politik dalam satu napas yang tenang. Gus Dur, khususnya, menunjukkan bahwa oposisi bisa dilakukan dengan humor, empati, dan kearifan. Ia mengajarkan bahwa melawan bukan berarti memusuhi; menegur bukan berarti menghancurkan. Dalam dunia yang semakin terbelah oleh kebencian, etika semacam ini menjadi penawar bagi luka umat.

 

Maka, oposisi dalam Islam sejatinya bukan tindakan melawan penguasa semata, melainkan usaha menjaga nurani agar tetap berpihak kepada kebenaran. Ia adalah cermin dari iman yang matang, iman yang tidak butuh panggung untuk menunjukkan keberaniannya. Kadang, oposisi paling tulus justru lahir dari kesunyian—dari hati yang berani menolak tunduk pada kebatilan, namun tetap lembut dalam tutur dan bijak dalam sikap. Kesunyian para sufi, penolakan para ulama, dan kebijaksanaan para pemikir semuanya bersatu dalam satu garis yang panjang: garis cinta yang menolak tunduk kepada kekuasaan yang kehilangan arah.

 

Sejarah Islam menunjukkan bahwa kekuasaan akan selalu datang dan pergi, tetapi kebenaran tidak pernah mati. Dari darah Al-Hallaj hingga tinta Al-Ghazali, dari diamnya Hasan al-Bashri hingga tawa Gus Dur, Islam senantiasa menghadirkan wajah yang kritis, manusiawi, dan penuh kasih. Inilah politik yang tidak berakar pada ambisi, melainkan pada kesadaran spiritual bahwa tugas manusia bukanlah berkuasa, tetapi menjaga keadilan agar tetap bernafas di tengah dunia yang sering sesak oleh kepalsuan.

 

Pada akhirnya, oposisi dalam Islam adalah bentuk cinta yang paling jujur—cinta kepada Tuhan yang menolak dikotori oleh kepentingan duniawi. Dan mungkin, hanya mereka yang mencintai dengan sungguh-sungguhlah yang berani menolak tunduk, bukan karena benci kepada penguasa, tetapi karena ingin menyelamatkan kemanusiaan dari kehancuran moralnya sendiri.

 


Jumat, 03 Oktober 2025

Anak Sebagai Tajalli: Refleksi Dua Tahun Nun A Wening Hyun

Jumat, Oktober 03, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ada saat-saat tertentu dalam hidup ketika roda waktu yang biasanya berputar tanpa henti, tiba-tiba seakan berhenti, bukan karena ia benar-benar diam, melainkan karena ia ingin memberi ruang bagi sebuah keajaiban yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Saat-saat itu bukan sekadar momen biasa dalam hitungan kalender, melainkan titik cahaya yang menyinari perjalanan panjang manusia.

 

Salah satu momen yang paling indah dari segala keindahan itu adalah hari ulang tahun seorang anak—sebuah peringatan kecil yang sarat makna, ketika kehidupan seakan berbisik kepada kita bahwa di dunia ini masih ada alasan untuk bersyukur, masih ada sebab untuk merayakan cinta, dan masih ada tanda bahwa harapan belum pernah benar-benar mati.

 

Pada 3 Oktober 2025, genaplah dua tahun usia Nun A Wening Hyun, putri pertama kami yang namanya sendiri telah menjadi doa panjang: Nun, huruf agung yang melambangkan pena dan ilmu; Wening, kejernihan batin yang bening tanpa riak dan kotoran hati; Hyun, cahaya kemilau yang menembus batas pandang. Nama itu adalah mantra kehidupan, dan pemiliknya adalah tajalli—penampakan kasih sayang Ilahi di dunia.

 

Sementara huruf  A dalam nama itu bukan sekadar aksara, melainkan nafas pertama dari segala bahasa. Dalam tradisi linguistik, huruf hidup (vokal) adalah denyut nadi yang memberi kehidupan pada konsonan yang mati. Tanpa vokal, kata hanya menjadi rangka kosong; tetapi dengan vokal, kata menjelma suara yang menggetarkan, makna yang mengalir, dan kehidupan yang berdenyut.

 

Maka ketika A diletakkan dalam nama Nun A Wening Hyun, ia menjadi simbol dari awal mula segala sesuatu—permulaan yang selalu hidup, sumber bunyi yang menyalakan harmoni. Secara filosofis, A adalah representasi dari arché, asal-muasal yang tak pernah habis. Ia adalah alfa dalam tradisi Yunani, huruf pertama yang membuka seluruh kosmos bahasa, dan dalam tradisi spiritual ia dapat dibaca sebagai lambang kehidupan yang murni, belum ternoda, dan selalu siap menghidupi. Dengan kata lain, A adalah benih universal yang menjadikan nama bukan sekadar sebutan, tetapi doa yang terus mengalir di setiap penyebutannya. (Baca juga: Nun A Wening Hyun)

 

Para sufi barangkali akan menyebut huruf A sebagai nafās al-Rahmān, hembusan kasih sayang Ilahi yang darinya segala wujud tercipta. Setiap huruf hidup adalah pancaran hidup dari Sang Hidup (al-Ḥayy). Maka, huruf A dalam nama Wening Hyun adalah penanda bahwa dirinya mengandung kehidupan yang menghidupi: kehadirannya tidak hanya menambah isi dunia, tetapi juga memberi jiwa bagi sekitarnya.

 

Lebih jauh lagi, A adalah simbol keterbukaan. Ia dilafalkan dengan mulut yang terbuka lebar, seakan melambangkan hati yang terbuka bagi segala kemungkinan. Anak yang membawa huruf ini dalam namanya diharapkan tumbuh dengan jiwa yang lapang, keberanian untuk memulai, dan kesiapan untuk memberi kehidupan di tengah dunia yang sering kali terasa sempit. Maka, huruf A bukanlah kebetulan, tetapi pilihan filosofis yang sarat makna. Ia adalah huruf hidup—dan karena itulah ia menghidupi kehidupan.

 

Nun A Wening Hyun, kini dua tahun usiamu. Engkau adalah embun yang belum tercemar debu, engkau adalah cahaya yang belum pudar oleh dunia. Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi, bahwa  “jiwa seorang anak masih dekat dengan asalnya, belum terikat oleh debu dunia”. Semoga engkau tumbuh tetap wening, tetap bening, meski zaman membawa gelombang dan riak peradaban masa silam.

 

Pada akhirnya, ulang tahunmu bukan sekadar milikmu. Ia adalah milik kami semua, pengingat bahwa Tuhan belum berhenti menyalakan cahaya di bumi. Engkau adalah bukti bahwa harapan masih hidup, bahwa cinta masih mungkin, dan bahwa dunia masih layak dirayakan. Sebab kata Rumi, kelahiran seorang anak adalah tanda Tuhan masih memberi harapan pada dunia.

 

Maka, pada hari ini, kami merayakan bukan hanya dua tahun usiamu, tetapi juga dua tahun cahaya yang Tuhan titipkan kepada kami melalui dirimu. Engkau adalah tajalli, engkau adalah doa yang hidup, engkau adalah kitab kecil yang sedang ditulis dengan tinta cinta.