Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 13 Maret 2008

Brutalisme Dunia Sepak Bola Kita


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Dimuat di Suara Karya (Jum'at, 15 Feb 2008)


Dunia sepak bola kita memalukan dan mengecewakan. Partai final antara kesebelasan Sriwijaya FC dan PSM Medan yang digelar pada hari Minggu 10 Februari lalu harus berlangsung tanpa penonton. Untuk partai final, ini merupakan sebuah kebijakan yang baru pertama kali terjadi di Indonesia.

Tewasnya salah satu pendukung Persija pada laga semi final antara Persija dan Sriwijaya FC menjadi alasan kuat kenapa partai final mesti dilangsungkan tanpa penonton dari kedua belah pihak.

Tragedi berdarah dalam dunia sepak bola kita hingga merenggut nyawa manusia memang bukan yang pertama kali terjadi. Itu merupakan kejadian yang kesekian kalinya. Atas peristiwa yang cukup memilukan ini, siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab? Penontonkah, aparat keamanan, atau panitia. Mari kita cermati bersama.

Bila penonton yang dipersalahkan dengan alasan bahwa merekalah sumber dari kerusuhan itu terjadi, lalu bagaimana peran aparat keamanan dalam menstabilkan massa sepak bola? Sejauh mana mereka berfungsi untuk mengantisipasi kemungkinan buruk terjadi? Selama ini kita sering mengambinghitamkan penonton, tapi kita tidak pernah mempertanyakan fungsi dan peran aparat keamanan dalam menjalankan kewajibannya di stadion sepak bola.

Bila yang dipersalahkan adalah aparat keamanan (bukan penonton) dengan alasan ternyata masih terjadi kerusuhan antarpenonton hingga menewaskan manusia, lantas apa tujuan penonton hadir dalam turnamen sepak bola tersebut? Padahal, sejak semula setiap pendukung pasti memiliki misi mendukung tim favoritnya, bukan untuk melakukan makar dan kekacauan.











Dan, bila yang disalahkan itu panitia dengan alasan tidak becus mengorganisasikan kerumunan massa, bukankah panitia juga sudah berupaya semaksimal mungkin membuat aturan-aturan dan rambu-rambu yang harus ditaati para penonton, pemain, dan juga pelatih. Bukankah panitia juga telah mengoptimalkan aparat keamanan untuk mengamankan massa dari kerusuhan.

Bila ketiga elemen (penonton, aparat keamanan, dan panitia) ini tidak dapat kita persalahkan dan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, lantas siapa dan apa yang salah dari kita. Apakah memang kekerasan sudah menjadi budaya dan tradisi kita?

Menurut hemat penulis, yang harus dipersalahkan dan kita koreksi dalam tragedi ini adalah budaya brutalisme yang sudah mengakar dalam masyarakat kita. Hal itu tercermin pada sejumlah pendukung sepak bola melakukan tindakan anarkisme, premanisme, dan pengrusakan fasilitas umum dengan cara-cara yang sangat buas, brutal, dan biadab.

Hal tersebut semestinya tidak terjadi dalam dunia modern seperti ini. Apalagi dilakukan oleh bangsa yang mengaku dirinya beragama, bermoral, beradab, dan modern. Hal ini cukup disayangkan.

Bila kita saksikan secara saksama, betapa praktik brutal telah menjadi fenomena yang biasa terjadi di mana-mana, khususnya di negeri kepulauan ini. Bahkan, ironisnya, aksi brutal tak segan-segan dipertontonkan dalam ruang publik yang terbuka. Oleh kaum terpelajar, masyarakat umum, aktivis HAM, pegiat di pemerintahan dan lainnya. Anehnya, sang pelaku tidak pernah merasa berdosa dan menyesal melakukanya.

Begitulah, brutalisme telah menguasai ruang publik dan mengusik ketenangan warga. Brutalisme begitu dipertontonkan dengan gagah perkasa di muka umum, tanpa ada rasa kasihan dan iba. Tidak ada yang berani melawannya, tidak ada yang sanggup mencegahnya. Menyedihkan, memilukan, dan memprihatinkan memang.

Dalam dunia brutalisme, setiap orang menjadi lawan dan musuh bersama. Satu sama lain saling dipertentangkan dan saling diperhadapkan. Muncul kemudian semangat untuk saling menghabisi, menyerang, dan membunuh tanpa ampun.

Namun, dalam masyarakat modern seperti sekarang ini brutalisme tidak pernah dibenarkan. Bahkan, sebenarnya yang namanya brutalisme itu kapan pun tidak pernah dibenarkan. Siapa pun orangnya dan apa pun bangsanya akan menentang aksi tersebut. Bahkan dalam timbangan hati nurani paling terkecil pun pasti menolak aksi itu. Hanya orang dan bangsa yang tak beradablah yang merelakan hal itu terjadi.

Sebagai manusia modern, tentunya kita semua tidak menginginkan zaman barbarisme dan kanibalisme kembali terulang sebagaimana pernah terjadi pada masa pramodern (zaman biadab). Pada zaman itu yang satu membinasakan yang lain, saling serang, saling hantam, dan saling tikam, atau dalam ungkapan Thomas Hobbes disebut homo homani lupus: manusia memangsa manusia yang lainnya.

Perlu disadari bersama bahwa praktik brutalisme yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu dan bangsa tertentu pada akhirnya akan menjatuhkan reputasi dan kehormatan bangsa itu sendiri di mata bangsa-bangsa dunia. Ia akan mendapat predikat bangsa barbar dan biadab, bangsa yang buas dan haus darah.

Lantas, apakah sejumlah tragedi kekerasan yang terjadi di negeri ini yang mengatasnamakan agama, suku, kelompok, dan kepentingan merupakan petanda akan kembalinya zaman brutalisme dan kanibalisme? Apalagi kita tahu bahwa brutalisme itu bagian dari kekerasan itu sendiri.

Sungguh sangat mengerikan bila bangsa besar seperti Indonesia hanya bisa mewarisi budaya brutalisme. Semoga hal ini tidak akan terjadi pada bangsa kita ke depan!

   

Tidak ada komentar: