Oleh Mohamad
Asrori Mulky
Peneliti
pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Dimuat di Suara Karya (Jum'at, 15 Feb 2008)
Dunia sepak bola kita memalukan dan mengecewakan. Partai final antara
kesebelasan Sriwijaya FC dan PSM Medan yang digelar pada hari Minggu 10
Februari lalu harus berlangsung tanpa penonton. Untuk partai final, ini
merupakan sebuah kebijakan yang baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Tewasnya salah satu pendukung
Persija pada laga semi final antara Persija dan Sriwijaya FC menjadi alasan
kuat kenapa partai final mesti dilangsungkan tanpa penonton dari kedua belah
pihak.
Tragedi berdarah dalam dunia sepak
bola kita hingga merenggut nyawa manusia memang bukan yang pertama kali
terjadi. Itu merupakan kejadian yang kesekian kalinya. Atas peristiwa yang
cukup memilukan ini, siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab? Penontonkah,
aparat keamanan, atau panitia. Mari kita cermati bersama.
Bila penonton yang dipersalahkan
dengan alasan bahwa merekalah sumber dari kerusuhan itu terjadi, lalu bagaimana
peran aparat keamanan dalam menstabilkan massa sepak bola? Sejauh mana mereka
berfungsi untuk mengantisipasi kemungkinan buruk terjadi? Selama ini kita
sering mengambinghitamkan penonton, tapi kita tidak pernah mempertanyakan
fungsi dan peran aparat keamanan dalam menjalankan kewajibannya di stadion
sepak bola.
Bila yang
dipersalahkan adalah aparat keamanan (bukan penonton) dengan alasan ternyata
masih terjadi kerusuhan antarpenonton hingga menewaskan manusia, lantas apa
tujuan penonton hadir dalam turnamen sepak bola tersebut? Padahal, sejak
semula setiap pendukung pasti memiliki misi mendukung tim favoritnya, bukan
untuk melakukan makar dan kekacauan.
|
|
|
|
|
Dan, bila yang disalahkan itu
panitia dengan alasan tidak becus mengorganisasikan kerumunan massa, bukankah
panitia juga sudah berupaya semaksimal mungkin membuat aturan-aturan dan
rambu-rambu yang harus ditaati para penonton, pemain, dan juga pelatih.
Bukankah panitia juga telah mengoptimalkan aparat keamanan untuk mengamankan
massa dari kerusuhan.
Bila ketiga elemen (penonton, aparat
keamanan, dan panitia) ini tidak dapat kita persalahkan dan tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya, lantas siapa dan apa yang salah dari kita.
Apakah memang kekerasan sudah menjadi budaya dan tradisi kita?
Menurut hemat penulis, yang harus
dipersalahkan dan kita koreksi dalam tragedi ini adalah budaya brutalisme yang
sudah mengakar dalam masyarakat kita. Hal itu tercermin pada sejumlah pendukung
sepak bola melakukan tindakan anarkisme, premanisme, dan pengrusakan fasilitas
umum dengan cara-cara yang sangat buas, brutal, dan biadab.
Hal tersebut semestinya tidak
terjadi dalam dunia modern seperti ini. Apalagi dilakukan oleh bangsa yang
mengaku dirinya beragama, bermoral, beradab, dan modern. Hal ini cukup
disayangkan.
Bila kita saksikan secara saksama,
betapa praktik brutal telah menjadi fenomena yang biasa terjadi di mana-mana,
khususnya di negeri kepulauan ini. Bahkan, ironisnya, aksi brutal tak
segan-segan dipertontonkan dalam ruang publik yang terbuka. Oleh kaum
terpelajar, masyarakat umum, aktivis HAM, pegiat di pemerintahan dan lainnya.
Anehnya, sang pelaku tidak pernah merasa berdosa dan menyesal melakukanya.
Begitulah, brutalisme telah
menguasai ruang publik dan mengusik ketenangan warga. Brutalisme begitu
dipertontonkan dengan gagah perkasa di muka umum, tanpa ada rasa kasihan dan
iba. Tidak ada yang berani melawannya, tidak ada yang sanggup mencegahnya.
Menyedihkan, memilukan, dan memprihatinkan memang.
Dalam dunia brutalisme, setiap orang
menjadi lawan dan musuh bersama. Satu sama lain saling dipertentangkan dan
saling diperhadapkan. Muncul kemudian semangat untuk saling menghabisi,
menyerang, dan membunuh tanpa ampun.
Namun, dalam masyarakat modern
seperti sekarang ini brutalisme tidak pernah dibenarkan. Bahkan, sebenarnya
yang namanya brutalisme itu kapan pun tidak pernah dibenarkan. Siapa pun
orangnya dan apa pun bangsanya akan menentang aksi tersebut. Bahkan dalam
timbangan hati nurani paling terkecil pun pasti menolak aksi itu. Hanya orang
dan bangsa yang tak beradablah yang merelakan hal itu terjadi.
Sebagai manusia modern, tentunya
kita semua tidak menginginkan zaman barbarisme dan kanibalisme kembali terulang
sebagaimana pernah terjadi pada masa pramodern (zaman biadab). Pada zaman itu
yang satu membinasakan yang lain, saling serang, saling hantam, dan saling
tikam, atau dalam ungkapan Thomas Hobbes disebut homo homani lupus: manusia
memangsa manusia yang lainnya.
Perlu disadari bersama bahwa praktik
brutalisme yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu dan bangsa tertentu
pada akhirnya akan menjatuhkan reputasi dan kehormatan bangsa itu sendiri di
mata bangsa-bangsa dunia. Ia akan mendapat predikat bangsa barbar dan biadab,
bangsa yang buas dan haus darah.
Lantas, apakah sejumlah tragedi
kekerasan yang terjadi di negeri ini yang mengatasnamakan agama, suku,
kelompok, dan kepentingan merupakan petanda akan kembalinya zaman brutalisme
dan kanibalisme? Apalagi kita tahu bahwa brutalisme itu bagian dari kekerasan
itu sendiri.
Sungguh sangat mengerikan bila
bangsa besar seperti Indonesia hanya bisa mewarisi budaya brutalisme. Semoga
hal ini tidak akan terjadi pada bangsa kita ke depan! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar