Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 24 Maret 2008

Kelahiran dan Kematian
Dimuat di SINDO (20 Maret 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Peringatan Maulid Nabi dan wafatnya Isa al-Masih pada tahun ini (20-21/3), tampaknya terselip makna yang tersirat di balik yang tersurat. Yaitu ingatan akan sebuah 'kelahiran' dan 'kematian'.

Kelahiran tidak saja berarti awal sebuah kehidupan di dunia, layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Tapi juga, terejawantahkanya segala cita-cita ideal dan nilai-nilai universal bagi manusia—seperti kedamaian, keadilan, keterbukaan, keragaman, dan toleransi—dalam menapaki hidupnya di muka bumi ini.

Namun, di saat nilai-nilai universal itu hilang dari diri manusia, maka ketika itu juga kematian telah menancapkan cakarnya dan siap mencabik-cabik ketentraman dunia. Kehancuran, malapetaka, peperangan, dan sejenisnya akan menggoyahkan sendi-sendi yang seharusnya tegak berdiri, 'kedamaian'. Kematian tidak berarti ketiadaannya nyawa manusia dan kembalinya jasad ke alam ruhani.

Tema di atas tidak bermaksud menyudutkan salah satu agama, dan membangga-banggakan agama lainya. 'Kelahiran dan Kematian' tidak lebih dari bentuk tafsiran atas kenyataan dunia global saat ini dengan mengambil dua momen penting dalam panggung sejarah agama-agama, yaitu Maulid Nabi (dalam agama Islam) dan Wafatnya Isa al-Masih (dalam agama Kristen). Sebab memperingati keduanya bagian dari sikap yang terpuji.

Hilangnya Batas-Antara
Peringatan Maulid Nabi dan Wafatnya Isa al-Masih terjadi tidak hanya berselang satu hari. Tapi, dua momen krusial ini seakan menggambarkan nasib dunia global saat ini. Bahwa begitu dekat jarak 'antara', bahkan hampir tak ada batas terang, antara 'kelahiran' dan 'kematian', antara ke-ada-an dan ke-tiada-an, antara kedamaian dan peperangan, antara toleransi dan intoleransi, dan antara keadilan dan kezoliman. Semuanya datang dan pergi secara cepat silih berganti, melenyapkan definisi yang seharusnya tetap kukuh terjaga.

Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, dulu hingga kini, menghilangkan batas dan antara itu; batas antara perdamaian dan peperangan bagi kedua belah pihak sudah tidak bisa diverifikasi lagi. Hari ini damai dan esoknya perang. Hari ini sepi dan sunyi, esoknya terdengar dentuman bom dan desingan peluru. Keheningan menjadi kengerian yang mencekam. Dan kematian bukan lagi sesuatu yang amat dahsyat.

Bahkan, di Irak. Di Afghanistan. Dan di belahan dunia muslim lainya. Makna 'teror' dan 'jihad' sudah menjadi kabur. Teror dan jihad yang sejak semula memiliki titik dan pusat, kini sudah tidak dapat didefinisikan kembali. Dalam seluruh perwujudanya, khususnya di era modern ini, teror dan jihad sama-sama melahirkan kekerasan, kebengisan, dan kekejaman. Keduanya menuntut darah, nyawa, dan jiwa manusia sebagai barang taruhan. Mengerikan dan memilukan memang.

Kenyataan di atas semakin diteguhkan Goenawan Mohamad dalam 'Catatan Pinggir 6'-nya (April 2006), bahwa teror dan jihad melebur jadi satu, tak bisa dipisahkan. Keduanya seakan tak ada batas. Tak ada antara. Tak ada jarak. Dan tak ada pusat yang jelas. Yang ada hanyalah kekaburan dan ketidaknampakan yang membingungkan.

Ketika jihad menjadi teror, juga sebaliknya, yang ada adalah distorsi makna atas seluruh teks, sejarah, dan kenyataan hidup manusia. Akibatnya, segala macam peperangan yang disulut atas rasa kesukuan, ras, kelompok, dan kepentingan, lebih diidentifikasikan sebagai perang suci dengan mengatasnamakan agama. Padahal kesucian perang (jihad) tidak melulu berbentuk fisik.

Sang Nabi
Mengantisipasi kaburnya batas dan antara itu—tipisnya batas "kelahiran dan kematian"—langkah utama yang harus kita lakukan kembali pada ajaran sang Nabi; Muhammad dan Isa al-Masih. Karena, dua utusan Tuhan ini telah mengajarkan pada umat manusia nilai-nilai kemanusiaan dalam wujudnya yang paling sempurna dan dalam bentuknya yang amat nyata.

Said Al-Asymawi dalam 'Jauhar al-Islâm' (Mesir, 1996), merangkumkan ajaran itu kedalam dua capaian; Muhammad mengajarkan 'ar-Rahmah' (rahmat bagi sekalian alam), dan Isa al-Masih mengajarkan 'al-Hubb' (cinta-kasih pada sesama manusia).

Rahmat dan cinta-kasih, bila dilihat dari perspektif ilmu tasawuf, merupakan sifat-sifat Tuhan yang universal. Keuniversalannya terletak pada ke-rahman-an dan ke-mahakasihan Tuhan atas segala ciptaan-Nya, tanpa kecuali. "Rahmat dan kasih sayang Tuhan mendahului murka dan petaka-Nya", kata para sufi.

Ketika rahmat dan cinta-kasih lebih mendominasi, lalu termanifestasi dalam individu manusia, maka segala macam badai akan berganti damai, bencana berubah anugerah, dan benci digantikan cinta. Kebengisan dan kebiadaban dengan sendirinya akan hilang, terkubur bersama sejumlah unsur-unsur 'kematian' lainya yang selama ini melanda mendera.

Dunia dalam kondisi antah berantah seperti ini, harus segera digantikan dengan sesuatu yang dapat menjadikanya tentram dan damai. Sesuatu itu adalah 'kelahiran'. Sebuah nilai universal yang dapat membuat segalanya menjadi abadi dan kekal.

Akhirnya, peringatan Maulid Nabi dan wafatnya Isa al-Masih tahun ini, lazimnya tidak sekedar dijadikan ritus tahunan belaka. Lebih substantif dari itu—seiring penanggalannya hanya berjarak satu hari—kita harus membaca makna yang tersirat darinya, yaitu gambaran atas dunia global saat ini yang menyiratkan akan sebuah fenomena 'kelahiran dan kematian', di mana identitas keduanya sudah tidak dapat ditangkap lagi. Maka, kembali pada pesan ajaran sang Nabi, yaitu 'rahmat dan cinta-kasih' sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar: