Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 09 Februari 2008

Menjawab Horor Tragedi WTC
Dimuat di SINDO (Minggu, 10 Feb 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta


TRAGEDI kemanusiaan 11 September 2001 sangat me-milukan masyarakat dunia, terutama Amerika Serikat.Peristiwa ini telah memicu Amerika melakukan dua perang sekaligus, yaitu mengakhiri rezim penguasa Taliban di Afghanistan dan mengakhiri rezim Saddam Husein di Irak.

Dalam peristiwa ini, Islam menjadi agama tertuduh.Hanyabeberapasaatsetelahterjadi pengeboman World Trade Center (WTC), Amerika mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial,war and teror. Pernyataan ini jelas-jelas ditujukan pada umat Islam yang menjadi target utamanya.

Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin horor peristiwa 11 September terjadi atas nama Islam? Apakah masalahnya muncul dari konsep “jihad” atau kepercayaan bahwa pelaku bom bunuh diri akan dihibur dan dilayani 72 perawan di surga? Dalam buku ini, Seruan Azan dari Puing WTC Feisal Abdul Rauf, penulis dan Imam besar Masjid Al-Farah, menjawab berbagai pertanyaan tersebut dalam berbagai forum diskusi,baik yang ia lakukan di universitas-universitas, gereja-gereja, sinagoga- sinagoga, masjid-masjid, maupun tempat-tempat kedutaan.

Menurut Imam Feisal, munculnya citra negatif terhadap Islam tidak serta-merta disebabkan karena pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam, tapi juga adanya sebagian umat Islam sendiri yang tidak mencerminkan aktualisasi ajaran Islam yang damai dan santun. Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan. Meski demikian, pencitraan negatif terhadap Islam tidak selalu melulu dilihat dari dua faktor tadi.Fenomena ini juga terkait erat dengan ketimpangan internasional, kebijakan- kebijakan luar negeri Amerika yang ingin mendominasi dan menghegemoni. Oleh karena itu, Imam memberikan sejumlah rekomendasi kepada berbagai pihak, terutama sekali pemerintah Amerika,untuk meninjau kembali persepsi dan kebijakan- kebijakan politik mereka. Jangan sampai kebijakan luar negerinya itu merugikan umat Islam. Yang menarik dari buku ini, Imam Feisal mampu memberikan interpretasi baru soal hubungan Islam dan Barat (Amerika).

Ia berkesimpulan bahwa tidak ada nilai-nilai substansial yang bertentangan satu sama lain.Untuk membuktikan itu,secara argumentatif ia menunjukkan beberapa fakta yang dapat mempertemukan keduanya, sekaligus dapat dijadikan modal untuk membangun dialog antar iman, peradaban,dan kebudayaan.

Pertama, bahwa ajaran Kristen dan Yahudi—yang merupakan elemen penting dalam menentukan karakter warga dan bangsa Amerika— memiliki akar-akar yang sama dengan Islam sebagai keluarga agama Ibrahim. Artinya, agama Yahudi, Kristen,dan Islam berasal dari bapak yang sama dan ajaran yang sama pula, yaitu etika Ibrahim. Etika Ibrahim mengajarkan pemeluk agamanya agar mencintai Tuhan dan sesama manusia tanpa memandang ras, agama, ataupun latar belakang budaya.

Wilfred Cantwell Smith, dalam hal ini memberikan solusi bahwa “benturan”antara Islam dan Barat (Amerika) yang terjadi karena perbedaan agama, harus segera mungkin dikembalikan pada nilai-nilai fundamental yang terdapat pada ketiga agama itu. Dengan cara itu diharapkan kedamaian antara keduanya terwujud. Kedua,bahwa ada common platform antara nilai-nilai dasar Islam dan Konstitusi Amerika dalam mempromosikan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Temuan ini mungkin agak mengejutkan banyak orang,bahkan mungkin juga bagi warga Amerika dan umat Islam sendiri. Tidak melupakan fakta beberapa abad silam para ulama fikih, salah satunya Imam Syatibi dalam Al-“Muwâfaqât” telah mendefinisikan lima bidang kehidupan yang harus dilindungi dan dikembangkan oleh hukum Islam. Kelima wilayah ini adalah hidup, pikiran (yaitu kesadaran mental atau kewarasan), agama, kepemilikan (atau ke-kayaan), dan keluarga (garis keturunan dan anak cucu). Dan pada kenyataannya, bila kita coba bandingkan daftar hak-hak dalam “Deklarasi”( Konstitusi Amerika) dengan hak-hak dalam “Hukum Syariat” (Hukum Islam), kita temukan keduanya mencantumkan hak hidup.

Karena itu, kita mengatakan bahwa kebebasan dan pencarian kebahagiaan dalam “Deklarasi” Amerika mencakup kesejahteraan mental, keluarga, kepemilikan, dan agama dalam “Hukum Syariat Islam”. Dengan demikian, bagi Imam Feisal sistem aturan mana pun yang menegakkan, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak di atas, dengan demikian bisa disebut “islami”, atau tunduk pada syariat,secara substansial. Ketiga, bahwa keislaman dan keamerikaan bukan bersifat substitutif (saling menggantikan), melainkan komplementer (saling melengkapi). Seorang muslim yang taat bisa menjadi warga negara Amerika yang loyal.

Dengan adanya kesamaan nilai substansial pada ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam; dan kesamaan tujuan dalam Deklarasi Amerika dan Hukum Syariat Islam sebagaimana disebutkan pada poin satu dan dua. Ini mengandung arti bahwa Islam dan Barat (Amerika) sama, tidak ada yang harus menjadi musuh dan lawan. Keduanya saling melengkapi dan mendukung.

Buku ini penting dibaca dan bahkan untuk ditindak lanjuti dalam kehidupan beragama dan bernegara,karena buku ini mengandung pesan yang begitu luhur berdasarkan pengalaman Umat Islam Amerika yang hidup di sana dan melakukan interaksi dengan warga Amerika sendiri. Ini membantu orang-orang muslim dan masyarakat Barat mencari jalan keluar dari kebuntuan masa kini,dari kekejaman yang mengarah pada upaya pembalasan dendam.

Tidak ada komentar: