Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 April 2008

Di mana Peran Negara?
Dimuat di SINDO (Senin 31 Maret 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Disadari atau tidak, bahwa kesenjangan sosial merupakan musuh bangsa sejak negeri ini tertimpa krisis moneter. Namun, ternyata kita semuanya lebih sibuk berpolitik, membangun keseteraan sepihak dan kepentingan yang memihak.

Kita lupakan cita-cita besar bangsa, memberikan kesejahteraan yang merata pada seluruh elemen masyarakat dengan berasaskan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi kenapa cita-cita itu kita abaikan begitu saja hingga menciptakan jurang pemisah yang begitu terjal antara rakyat dan negara.

Coba perhatikan, kemiskinan semakin menganga di mana-mana; kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk. Selama ini rakyat belum mendapatkan perhatian dan kesejahteraan yang maksimal dari pemerintah. Mereka hanya bisa menjanjikan, namun tidak pernah diwujudkannya dalam bentuk nyata dan dalam wujudnya yang paling sempurna. Walhasil, janji-janji itu hanya isapan jempol belaka, hanya mampu menjelma menjadi mitos, legenda, dan cerita usang bagi rakyat saja. Kapan dan sampai mana-pun juga tidak akan pernah terwujud.

Padahal, kemiskinan merupakan problem sosial yang harus segera mendapat penanganan yang serius dari pemerintah. Karena problem kemanusiaan yang satu ini bisa membawa petaka yang amat dahsyat bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu kematian atau tragedi ngiris lainya.

Kasus yang terjadi di Pekalongan dan Bekasi misalnya, dengan alasan terhimpit ekonomi dua ibu rumah tangga, Yuli (25 tahun) asal Pekalongan dan Ismawati (32 tahun) asal Bekasi, tega menghabisi dua anak kandungnya masing-masing dengan cara menenggelamkan mereka ke dalam bak mandi. Yang lebih mengejutkan lagi dua peristiwa itu terjadi hanya dalam satu minggu saja.

Tragedi ini cukup menggemparkan kita semua hingga melahirkan tanda tanya besar. Kenapa seorang ibu yang memiliki sifat dasariah, cinta dan kasih sayang justru dengan tega membunuh anaknya tanpa belas kasih? Apakah cinta sudah tidak lagi memiliki perasaan kasih dan sayang atau memang zaman sudah semakin edan hingga merobohkan sendi-sendi norma dan susila yang seharusnya tetap tegak berdiri?

Dalam kasus pembunuhan ibu-ibu ini, kita tidak seharusnya langsung menuduh dan menyalahkan sang pelaku. Mengaitkan kondisi kehidupan sang pelaku dengan lingkungan di sekitarnya dan bagaimana peran negara saat ini juga dianggap perlu. Jangan-jangan justru sang ibulah yang tidak bersalah.

Kemunculan sejumlah kasus ibu-ibu rumah tangga yang tega membunuh anaknya, jika dicermati secara seksama, terkait pula dengan kegagalan negara dalam memperdayakan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung bagi masyarakat lemah. Sebagai payung masyarakat, negara seharusnya bisa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Ia harus bisa memberikan harapan bagi masyarakat lemah untuk tetap bisa menjalani hidupnya sebagaimana manusia lainya yang hidup normal dan berkecukupan.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah juga harus bertanggungjawab dan terlibat secara langsung dalam menangani kasus tersebut. Jangan sampai pemerintah malah lepas tangan dan menyerahkan semua persoalan ini kepada masyarakat. Untuk melepaskan tanggungjawab ini kepada masyarakat secara penuh tidaklah mudah. Karena sejauh ini, masyarakat kita belum bisa hidup mandiri dan belum mampu mengurusi dirinya sendiri. Artinya, masyarakat masih memerlukan bantuan pemerintah dalam mengurusi kasus seperti ini. Apalagi ini masih ada kaitan dengan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh negara sendiri.

Bila pemerintah melepaskan tanggungjawabnya satu persatu atau secara keseluruhan dalam hubunganya dengan persoalan rakyat, utamanya dalam kasus pembunuhan yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga baru-baru ini. Maka ketika itu juga negara sudah tidak lagi ada. Negara sudah hilang di hadapan rakyatnya. Lalu kepada siapa lagi masyarakat lemah harus berlindung dan meminta pengayoman?

Ketika negara sudah tidak lagi berperan maksimal atau tidak ada sama sekali sementara tekanan hidup semakin berat, maka ketika itu juga masyarakat kehilangan harapan dan tempat mencari bantuan, sehingga mereka lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Jalan apapun harus mereka lalui sekalipun harus menghabisi anak kandungnya sendiri.

Apalagi kalau kita perhatian, betapa ikatan sosial di antara masyarat sendiri sudah menghilang, bahkan sudah tidak terjalin lagi. Sehingga dengan sendirinya tercipta “kesendirian” di tengah-tengah beban yang mereka pikul. Hidup sendiri-sendiri menjadi akibatnya. Sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan, bahwa kalau seandainya masyarakat lemah masih mempunyai tempat bergantung dan mendapatkan solusi, maka keputusan yang berujung pada pembunuhan tidak akan terjadi.

Atas dasar itu semua, belajar dari pengalaman yang sekarang, mulai saat ini pemerintah harus lebih memahami perannya dalam masyarakat, mengerti kebutuhan mereka, dan memenuhi keinginan mereka. Artinya, pemerintah harus memberikan seluruh tanggungjawabnya untuk masyarakat dan mengabdikan dirinya demi kepentingan rakyat.

Tidak ada komentar: