Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 01 Agustus 2008

Menghidupkan Roh Agama
Dimuat di Suara Karya, 27 Juli 200

Oleh Mohamad Asrori Mulky,
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Sebagai tata nilai yang menyeluruh, agama sejatinya tidak dipahami sebagai doktrin mati. Tapi sebagai prinsip-prinsip yang hidup, bisa dibaca, dan dilaksanakan secara kontekstual, kapan dan di mana-pun. Dengan begitu, keuniversalan dan keotentikan sebuah agama akan terus tetap terjaga, tidak termanipulasi, apalagi lapuk terkena hantaman zaman.

Pengontekstulisasian pesan keagamaan ini dianggap penting untuk diwujudkan, terutama dalam kaitanya dengan kondisi umat Islam yang sampai saat ini masih terperangkap dalam pusara dogmatisme dan fanatisme agama. Betapa tidak, kini, petuah ulama lebih dijadikan titik tolak kebenaran, dan perilakunya sebagai standar keimanan. Sementara daya kritis yang menjadi tuntutan dalam beragama dipandang sebagai yang tabu dan harus dihindari.

Maka tak heran, bila umat beragama makin terperosok ke dalam jurang taklid buta, di mana hal ini akan berimplikasi buruk pada pemahaman agama itu sendiri. Ajaran agama dianggap sesuatu yang tetap dan final, tidak bisa dirubah apalagi ditafsir kembali sesuai dengan kondisi zaman. Sebagai contoh, konsep jihad yang sejak semula berarti ‘pertahanan’ untuk menepis serangan musuh, malah dipahami sebagai ‘agresi atau perang fisik’. akibatnya, dengan dalih jihad, penyerangan, pemukulan, dan penganiayaan yang dilakukan sebagian kelompok terhadap kelompok lain dianggap sah dan benar.

Ayat-ayat jihad (perang) yang tersurat dalam alquran sering dijadikan alat legitimasi untuk menyerang umat lain. Seakan-akan alquran mengabsahkan sikap permusuhan, di mana yang satu dengan yang lainya saling diperhadapkan dan dipertentangkan. Jika demikian, berarti, umat beragama telah mengganti kemahakasihan Tuhan dan kerahmatan-Nya dengan kebengisan, kekejaman, dan kebiadaban. Maka, pada titik inilah konsep jihad harus dimaknai kembali dengan sesuatu yang manusiawi dan mengandung kemaslahatan.

Melihat kenyataan ini, kita sebagai umat yang beragama bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali roh agama, yaitu dengan cara melakukan reinterpretasi, pengontekstualisasian pesan agama, dan ijtihad. Singkatnya pembaruan dalam tafsir agama mesti terus dilakukan.

Ijtihad

Mohamad Iqbal dalam ‘Reconstructions of Religious Thought in Islam’ menegaskan bahwa inti pergerakan dalam Islam adalah Ijtihad. Dengan melakukan ijtihad pembaruan pemikiran dalam agama dimungkinkan. Dengan ijtihad segala nilai didobrak, didekonstruksi, dihancurkan, lalu disusun dan dibangun kembali. Tak ada yang mapanan dan permanen dalam pemahaman agama. Semuanya bersifat sementara, berwaktu, dan berubah. Ijtihad membuka jalan untuk terjadinya ‘perluasan’ dan ‘pengembangan’ dalam tafsir keagamaan.

Seiring bergulirnya waktu dan berubahnya zaman, dibarengi kebutuhan manusia yang terus berkembang, bahkan lebih kompleks. Maka, hajat manusia terhadap pemahaman agamanya harus senantiasa diperbarui dan dikontekstualisasikan. Oleh karenanya, perluasan dan pengembangan dalam tafsir agama menjadi niscaya dilakukan. Sebab, tafsir yang diproduksi pada masa silam dan dianggap benar pada masanya, tidak menutup kemungkinan tidak relevan dengan masa kini.

Namun, sebagaimana dikatakan Hasan at-Turabi dalam ‘Tajdîd al-Fikr al-Islâmi’ bahwa ijtihad dalam Islam harus dilakukan dengan syarat mengkompromikan teks dengan konteksnya. Karena, tanpa adanya upaya seperti itu, agama akan menjadi doktrin mati yang tak berdaya ketika dihadapkan pada realitas di mana agama itu ada dan berkembang.

Jika cara keberagamaan kita dari masa ke masa tidak mengalami pembaharuan dan peremajaan, dalam arti, ijtihad tidak memungkinkan. Maka agama ketika itu juga akan mengalami stagnasi dan pengkerdilan. Agama tidak lagi berfungsi sebagai alat emansipatoris dan sistem yang bergerak dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, tapi malah melorot melayani hasrat kemanusiaan yang paling primitif, biadab dan tak bertanggungjawab.

Teks dan Konteks

Memahami agama melaui teks dan konteksnya akan membawa agama pada perannya sebagai sumber inspirasi bagi manusia, bukan penjara yang mengerangkeng umatnya untuk bebas menafsir dan berpikir. Dalam tafsir agama, korelasi antara teks dan konteks harus dilakukan. Karena bagaimanapun juga teks lahir dari sebuah konteks yang kemudian membentuk hukum, keputusan, perintah dan larangan.

Munculnya segenap fatwa-fatwa ulama dari masa ke masa tidak serta merta lahir dari sebuah ruang hampa. Ia lahir dari sebuah sebab yang mendorongnya untuk muncul. Kisah yang dialami Imam Syafi’i misalnya, dengan berani ia merubah pendapatnya, qaul qadim ketika ia di Bagdad dengan qaul jadid ketika ia berada di Mesir. Ini terjadi karena perbedaan konteks dan semangat zaman yang dihadapi Imam Syafii berbeda, yaitu Bagdad dan Mesir. Dalam qaidah fikih dikatakan “Taghayur al-Hukmi bi Taghayur al-Amkân wa al-Azminati”, perubahan hukum disebabkan karena perubahan tempat dan waktu.

Berkaitan dengan hal di atas, tesis Abdullahi Ahmed An-Na’im sepertinya mendapatkan konteksnya yang tepat. Ia menegaskan bahwa syariat Islam adalah sistem yang dinamis, berkembang, dan bergerak seiring zaman dan waktu yang dihadapinya. Dengan memaknai syariat sebagai tata nilai yang dinamis, maka dengan sendirinya ia (syariat) akan menyesuaikan dirinya dengan realitas (konteks) yang tengah dihadapi umat manusia. Ini berarti, dinamika syariat terletak pada bagaimana kita dapat mengkompromikan teks dengan konteksnya, tanpa ada yang mengungguli dan mendominasi. Sebab, dominasi teks atas konteks akan membuat agama menjadi kaku, kering, dan kehilangan makna sosialnya. Begitu juga sebaliknya, dominasi konteks atas teks akan menjadikan agama profan dan kehilangan dimensi spiritualitasnya.

Tak dapat dipungkiri, dengan mengkompromikan teks dan konteksnya dalam seluruh perwujudan pemahaman agama dan kebudayaanya, Islam akan selalu menjadi agama yang menyejarah dan fenomenal dari masa ke masa. Hal ini sesuai dengan semboyan yang menyatakan ‘al-Islam Shalihun likulli Zamanin wa Makanin’, Islam adalah agama yang sesuai dengan setiap zaman.

Karena itulah, para cendikiawan muslim ternama seperti; Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Nasr Hamid Abu Zaed, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Muhammad Said al-Asymawi, Hasan at-Turabi, Mohammad Arkoun, Adonis, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, dan sejumlah ulama yang lainya mencoba merekonstruksi ajaran agama yang bersifat dogmatis dan statis. Mereka merubah ajaran yang memberikan jarak dengan zamanya, dengan cara mengkompromikan teks dengan konteksnya. Bagi mereka, munculnya dogmatisme agama disebabkan karena efek dari tekstualisme dan skriptualisme yang mengabaikan konteks zamanya. Dan ini akan membawa umat Islam kepada kemandegan berpikir, menghilangkan elan vital gerak, dan mengikis semangat untuk berkarya.

Sebagai umat yang beragama dan bertanggung jawab dalam memajukan agamanya, kita harus segera memperbaharui kekeliruan ke arah yang lebih baik. Sebab jika dogmtisme dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengarah pada kezumudan berpikir, ketergantungan dan selalu bersikap apatis. Tanpa adanya upaya kontekstualisasi pesan keagamaan, agama akan semakin mengasingkan manusia dari kenyataan hidupnya. Agama akan mengalami pembusukan dari dalam dan dengan sendirinya akan terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman. Kita tidak menginginkan agama memasung umatnya sendiri, hanya karena hukum-hukum agama mengabaikan konteks zamanya. Begitu pula kita tidak menginginkan agama yang melulu tekstual, dan skriptual hingga membuat agama terasa berada di atas awan yang tak menyentuh bumi.

Singkatnya, dalam memahami agama mengkompromikan teks dengan konteksnya merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Sehingga dengan demikian pemahaman agama akan lebih menzaman dan menyejarah. Dan dengan demikian pula dogmatisme agama yang selalu membawa pada kekerasan dan anarkisme akan dengan sendirinya hilang berubah menjadi agama yang cinta damai, santun dan beradab. Dengan mengkompromikan teks dan konteks, akhirnya perluasan dan pengembangan dalam ruang tasir keagamaan semakin dimungkinkan. Hanya dengan cara itulah roh agama akan kembali hidup.

Tidak ada komentar: