Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 01 Agustus 2008

Resensi Buku

Lesbumi di Antara Lekra dan Manikebu

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta

Judul Buku : Lesbumi; Strategi Kebudayaan Politik

Penulis : Choirotun Chisaan

Penerbit : Lkis Yogyakarta

Cetakan : I, Maret 2008

Tebal : xvi + 247

Harga : Rp. 27.000

LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) merupakan lembaga seni-budaya yang lahir dari rahim Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1962. Melalui lembaga ini para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul, berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai agama, politik dan budaya.
Sejak itu, NU berani mengambil perjuangan seni dan budaya sebagai bagian dari tanggung jawab dan komitmenya.

Perlu diketahui, dalam konteks sejarah kebudayaan Indonesia, terdapat relasi yang sangat erat antara seni-budaya dan politik, di mana satu sama lain saling membutuhkan. Pada satu kesempatan, seni-budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik di masanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini bisa kita temukan ketika terdapat beragam lembaga kesenian dan kebudayaan berafiliasi dengan partai politik.

Sebut saja misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dengan PNI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan PKI, Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dengan Masyumi, Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK) dengan Partai Katolik, Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (PSII) dengan PSII, Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi) dengan Perti, dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) sendri dengan NU (halaman 15).

Ini mengisyaratkan bahwa seni-budaya pada tahun 60-an sangat berpengaruh di dunia perpolitikan bangsa Indonesia. Tak ayal, hubungan keduanya (seni-kebudayaan dan politik) telah memberikan energi progresif bagi masa depan bangsa Indonesia hingga kini, di mana peranya diperlukan sebagai political act.

Tentunya kita masih ingat perseteruan sengait antara Lekra dan Manikebu (Manifes Kebudayaan), di mana, Lekra yang berhaluan realisme sosialis mengusung jargon “politik adalah panglima”. Sementara Manikebu yang beraliran humanisme universal menolak jargon Lekra dan menjadikan “seni untuk seni”. Waktu itu, ketegangan antara Lekra dan Manikebu memberi dampak pada suhu politik Indonesia.

Pada saat itulah, Lesbumi yang berhaluan NU mengambil sikap di antara keduanya dengan menolak jargon “politik adalah panglima” dan “seni untuk seni”. Bagi Lesbumi, seni harus memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kepentingan Islam. Pada titik ini, Lesbumi sebenarnya memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah kontestasi seni budaya ketimbang sebuah pertarungan politik. Sikap tengah-tengah (moderat) nampaknya coba ditempuh oleh Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi landasan politik NU.

Melalui ketiga tokohnya, Djamaludin Malik, Asrul Sani, dan Usmar Ismail Lesbumi coba menampilkan diri sebagai role model seniman muslim pada masanya. Mereka mengolah gerakan Lesbumi sebagai gerakan yang humanis dan religius. Inilah yang menjadikan Lesbumi tidak dapat digempur oleh PKI lewat Lekra di dalam lembaga kesenian.

Namun, kini Lesbumi hilang tanpa jejak, lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik Indonesia. Padahal, ia lahir pada masa yang krusial, era Soekarno dan menjadi salah satu lembaga yang mendorong perkembangan sejarah politik kebudayaan Indonesia. Tapi, kelahiran Lesbumi ini nampaknya dapat disebut sebagai, meminjam ungkapan Foucault, discountinuity yang hanya bisa dijelaskan dengan melihat perkembangan kontemporer NU pasca 1965 hingga pasca Soeharto. (halaman: viii).

Buku “Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan” karya Choirotun Chisaan ini menguak fenomena Lesbumi serta perkembangannya dalam sejarah politik kebudayaan di Indonesia. Bagi penulis buku ini, Lesbumi tidak saja dijadikan sebagai tempat seni-budaya, tapi juga sebagai lembaga pemersatu umat, dan cinta akan kebersamaan. Buku ini mempertanyakan, mengapa Lesbumi yang menjadi ikon pemberantas kebudayaan PKI, lenyap begitu saja?

Menurut penulis, Lesbumi menjadi lenyap karena kurangnya masyarakat santri memaknai arti seni-kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Selain itu, kebudayaan modern ikut berperan dalam menutup wadah seni-kebudayaannya. Ironisnya lagi, identitas khas Lesbumi dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan individu. Sejatinya, di tengah carut-marut suhu politik bangsa yang makin tidak menentu, peran dan keberadaan Lesbumi menjadi krusial untuk dioptimalkan kembali.

Tidak ada komentar: