Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 30 Agustus 2008

Detektif di Biara Melk
Dimuat di SINDO (Ahamd 30 Agustus 2008)

Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul : The Name of The Rose

Penulis : Umberto Eco

Penerbit : Bentang

Cetakan : 2008

Tebal: xxix + 624 halaman


NOVEL The Name of The Rose, atau dalam bahasa Italianya Il Nome Della Rosa, merupakan kumpulan memoar masa lalu dari seorang biarawan muda (monacella) Fransiskan yang bernama Adso berkebangsaan Jerman.

Semula, Adso tak berniat menceritakan pengalaman riilnya itu.Namun setelah melalui pertimbangan dan alasan lainnya,dia menuliskan kisahnya yang dimulai ketika berada di Biara Melk selama seminggu pada 1327 akhir November. Adso, pertama kali menuliskan pengalamannya ini -dalam bahasa Latin dengan gaya patristik- skolastik-pada akhir abad ke-14 saat dia sudah menjadi seorang biarawan matang.
Lokasi Biara Melk yang menjadisetting utama dalam novel ini tinggal puing-puing tak bertuan dan menjadi kenangan saja.

Tadinya, novel ini hendak diberi judul Abbazia del Delitto (‘Biara Kejahatan’) oleh Eco karena tema utama dalam novel ini adalah kejahatan pembunuhan yang terjadi di biara. Namun, ternyata alur cerita dalam novel ini memuat begitu banyak informasi dari abad pertengahan sehingga kita tidak hanya menemukan peristiwa kejahatan,tetapi juga budaya biara (cultura dell- ’abbazia), bahkan Zeitgeist dari periode yang sering disebut akhir abad pertengahan.
Akhirnya, berhubung kayanya informasi dalam novel ini mengenai abad pertengahan, Eco menamakan novel ini dengan Il Nome Della Rosa.

Novel ini bagaikan novel detektif yang sarat akan trik dan ketegangan. Cerita makin tambah mencekam setelah ditemukannya seorang biarawan tewas mengenaskan, mayatnya ditemukan di tepi jurang. Situasi tegang menyelimuti seluruh isi biara Melk.
Padahal dalam waktu dekat,di Biara Melk itu akan diadakan pertemuan penting menyangkut konflik besar antara Fransiskan dan kelompok Paus yang sudah terjadi sejak lama. Kepala Biara Melk,Abbas, menjadi bingung bercampur cemas.Akhirnya,dia mengundang William Baskerville untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

William adalah orang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford,murid seorang ilmuwan terkemuka Roger Bacon.
Bersama muridnya, Adso,William berusaha mengungkap kasus pembunuhan yang terjadi di Biara Melk itu. Bersama gurunya, Adso hanya menghabiskan tujuh hari di biara tersebut, yang selain untuk mengusut kasus kematian seorang biarawan, juga ikut menyaksikan dialog antara dua kelompok yang sedang terjadi konflik. Pengusutan atas kematian biarawan itu ternyata membawa William dan Adso ke perpustakaan biara, tempat di mana ribuan manuskripmanuskrip kuno dengan berbagai bahasa dan tradisi disimpan.

Di tengah-tengah pengusutan, secara tidak sengaja mereka juga ikut menyingkapkan pelbagai intrik, pertentangan antarkelompok biarawan bahkan kebobrokan yang terjadi di dalam biara waktu itu. Untuk itulah, Eco dalam novelnya ini tidak bermaksud sedang berbicara tentang abad pertengahan,tapi berbicara dalam abad pertengahan. Dengan begitu, kata Eco, secara leluasa kita akan mendapatkan berbagai macam informasi tentang kehidupan biara pada khususnya dan kehidupan gereja pada abad pertengahan pada umumnya. Informasi- informasi ini pun akan menjadi kekuatan tekstual untuk membentuk ritme kehidupan biara dengan budayanya (cultura dell’ abbazia).

Perpustakaan biara yang menjadi pusat perhatian William dan Adso ternyata berbentuk labirin.
Di dalamnya, terdapat koleksi manuskrip yang disimpan dan sungguh mengagumkan. Karena itu, para pustakawan tertentu saja yang boleh memasukinya. Orang-orang selain mereka hanya boleh meminjam melalui katalog yang tersedia. Pertanyaannya, mengapa pengusutan itu berpusat di perpustakaan biara? Bukankah perpustakaan tempat di mana orang membaca dan berkarya? Justru karena itu, menurutWilliam dan Adso,pokok perkara yang terjadi memang berada di sana.

Biarawan yang tewas itu diduga bunuh diri setelah mencari dan menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana: Benarkah Tuhan Pernah Tertawa? Novel ini terbagi ke dalam tujuh bagian.Adso bercerita tentang tujuh hari yang telah dilalui bersama gurunya di biara tersebut. Sisi lain yang menarik dari novel ini, yang juga menjadi latar belakang dari novel ini, adalah perubahan- perubahan yang terjadi di kalangan gereja pada akhir abad pertengahan; banyak hal yang bersifat teologis diserang rasionalisme.
William sendiri banyak menafsirkannyasebagaipersonifikasisemangat keilmuan yang mulai berkembang saat itu.

Dalam novel ini,Biara Melk dibayangkan sebagai tempat bertemunya beragam tradisi keilmuan di seluruh dunia termasuk pula kepentingankepentingan politik dan agama yang menyertainya.
Apalagi, bila ditambahkan dengan kenyataan bahwa biara tersebut memiliki koleksi perpustakaan yang mengagumkan lagi tiada banding. Sekali lagi, novel ini tidak hanya menyuguhkan cerita pembunuhan yang terjadi di Biara Melk.Lebih dari itu,penulisnya dengan sangat cerdas mampu menghadirkan kehidupan biara puritan lengkap dengan tradisi pemikiran gereja abad pertengahan.

Tidak ada komentar: