Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 19 Juli 2009

Menjadi Muslim Indonesia yang Berkeadaban

SINDO, Minggu, 5 Juli 2009


Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
.

Judul Buku : Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

Penulis : Ahmad Syafi’i Ma’arif

Penerbit : Mizan

Edisi : I, Juni 2009

Tebal : 388 halaman


Buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” yang ditulis cendikiawan muslim Indonesia ternama, Buya Ahmad Syafi’I Ma’arif, bermula dari keresahannya melihat kondisi bangsa ini yang semakin terpuruk—bahkan boleh dibilang nyaris terjerembab ke dalam jurang kehancuran yang teramat dahsyat. Di mana janji-janji yang pernah dicita-citakan para pendulum bangsa ini, yaitu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang adil, makmur, damai, tenteram, merdeka, berdaulat, dan bermartabat sepertinya masih jauh yang diharapkan. Tak heran jika ada yang berani mengatakan, “Indonesia is beyond help”.


Dengan menggunakan pendekatan kesejarahan, penulis mampu memberikan sejumlah informasi yang cukup kaya tentang asal-usul bangsa ini, dan harus kemana bangsa ini dibawa dan dihantarkan kepada jati diri yang sesungguhnya. Karena itu, bagi penulis, pendekatan kesejarahan adalah metode yang tepat melihat pernak-pernik bangsa Indonesia guna meraup kembli serpihan-serpihan kearifan lokal yang selama ini terkubur. Sambil mengutip pendapat Betheran Russel soal konsep sejarah, penulis berkeyakinan bahwa sejarah adalah laboratorium kearifan bagi siapa saja yang ingin mencari mutiara di dalamnya. Sejarah adalah jembatan penghubung masa lampau dengan masa kini, dan sekaligus menunjukan arah ke masa depan yang lebih baik.


Sebagai sebuah negeri yang megah dan kaya raya akan kekayaan alamnya, yang juga memiliki aneka pola budaya yang berbeda-beda. Pandangan relatifistis dan kecenderungan sinkretis yang kuat dari penduduknya, khususnya orang-orang Jawa, menjadikan budaya Indonesia paduan dari unsur-unsur budaya yang ada—animisme, Hinduisme, Budisme, Islam, Kristen, sampai modernisme atau westernisme yang paling mutakhir ini.


Karena itu, sangat sulit sekali bagi pemimpin bangsa Indonesia menggariskan suatu kebijaksanaan kultural tertentu berdasarkan suatu pola kultural tertentu yang sesuai dengan dan dapat diterima oleh seluruh rakyat yang memliki latar belakang kultur dan agama yang berbeda-beda pula. Penetapan kebijaksanaan yang tidak sesuai dan tidak mampu mengakomodir keinginan seluruh rakyat berpotensi menimbulkan gejolak dan kerawanan bertindak ekstrim yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.


Munculya bom Marriot, Bali I dan II, dan bom-bom lainya di bumi Indonesia ini, cukup membuktikan ada sebagian kelompok merasa keinginannya belum diakomodir, baik secara ekonomi, politik, dan keyakinan. Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan, apalagi pelakunya seorang muslim yang taat beragama. Ini menjadi cambuk serta kritik bagi umat Islam Indonesia untuk meluruskan makna Islam sesungguhnya sebagai “rahmatan lil alamin”. Karena itu, penulis melalui buku ini menawarkan cara kebeislaman yang santun dan beradab, yang jauh dari sifat-sifat kekerasan dan penindasan, dan sesuai dengan kondisi dan budaya bangsa Indonesia.


Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan penulis. Sebagai bangsa yang multi-kultur dan heterogen, penulis berkeyakinan bahwa penerapan Islam dalam bingkai keindonesiaa, dan kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring, tetapi ketiganya dapat menyatu dan saling mengisi untuk membangun sebuah taman sari yang khas Indonesia, bukan Islam ala Arab, Iran, Turki ataupun Eropa. Ketiga kekuatan nilai itu akan saling mengisi dan melengkapi. Di taman sari ini, watak universal Islam tampil dalam wujud “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagaimana yang pernah juga diidamkan Soekarno.


Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan haruslah dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur yang bertebaran yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merasa aman dan tentram untuk bertahan di Benua Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas. Untuk mewujudkan hal ini, maka bangsa ini harus bangkit kembali secara autentik dengan melahirkan karya besar dan prestasi yang bermutu tinggi dalam lingkungan suasana keadilan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan semua. Islam jika dirasakan secara benar dan cerdas akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat untuk mengukuhkan keindonesiaan kita dibawah naungan payung ”ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu manifeatasi iman kita dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.


Kelemahan kita sejak Proklamasi, kita tidak serius mengurus dan menata keindonesiaan sehingga pada periode-periode tertentu masih muncul juga ledakan-ledakan sosial yang berlatar belakang politik, ekonomi, etnis, dan sub-kultur yang selalu membawa korban. Karenanya, dalam anyaman kerangka pikir Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan diharapkan agar bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampaunya untuk kepentingan kekinian, dan esok hari, secara jujur, bertanggung jawab, dan rasa cinta yang mendalam. Umat Islam sebagai umat terbesar di negeri ini memiliki beban tanggung jawab untuk membela agar tetap utuh dan bersatu. Jangan sampai umat Islam Indonesia mendapat julukan mayoritas minus kualitas.


Perlu dicatat, buku ini tidak saja sebagai refleksi dan jawaban penulis terhadap kondisi Islam Indonesia modern yang hampir kehilangan jati dirinya, di samping itu juga tanggapan terhadap peta umat Islam global di dunia, seperti sedang tidak berdaya dalam mengatasi tantangan yang datang bertubi-tubi. Sebuah stagnasi kultural masih sangat dirasakan di seluruh negeri Muslim, seakan-akan prestasi besar bukan lagi menjadi milik mereka. Maka pertanyaan yang mula diajukan penulis adalah mengapa dunia Islam terlalu lama berada di buritan peradaban dan sukar sekali untuk bangkit?


Mengenai pertanyaan ini, penulis mengutip pendapat cendikiawan Muslim asal Pakista, Fazlur Rahman: we live in a different kind of Islam, not in quranic Islam. Bahwa umat Islam dalam keseluruhannya tengah hidup dalam bayang-bayang makna Islam yang semu dan menipu, bukan Islam qurani yang telah diajarkan rasulullah. Sehingga dengan begitu, sistem kehidupan untuk hidup lebih baik sebagai perwujudan diktum “rahmat bagi alam semesta” tidak dapat dipenuhi.


Penulis juga mengoreksi etos kerja umat Islam yang terlalu percaya pada nasib pasif, apatis, dan gampang menyerah. Menurut penulis, sambil mengutip pandangan Mohamad Iqbal, bahwa menyerah diri pada nasib dengan dalih ketentuan takdir (predeterminisme) telah merobek ajaran Islam tentang wajib kerja dan wajib berjuang di muka bumi ini. Karena itu, setiap muslim harus memfungsikan egonya.

Tidak ada komentar: