Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 27 September 2009

Jihad, Teror, dan Puasa

Jumat, 18 September 2009 Suara Karya

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Penulis adalah Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Belakangan ini, perhatian pemerintah fokus pada persoalan terorisme. Peledakan bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton pada 17 Juli lalu menandai betapa aksi kekerasan yang dilakukan kelompok teroris ini masih menebar ancaman bagi segenap warga, tanpa memandang siapa dan dari mana asalnya.


Terorisme pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai-nilai luhur keagamaan yang selama ini diyakini. Sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama telah diabaikan begitu saja, malah digantikan dengan bentuk kekerasan yang cukup menakutkan, yang tak jarang mengorbankan nyawa manusia. Secara eksplisit, bom bunuh diri yang terjadi di kedua hotel tersebut dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dikelindankan dengan keagungan ajaran agama yang universal itu. Agama, oleh pengusung ideologi terorisme, hanya dijadikan legitimasi teologis, yang sebenarnya juga sama dengan memolitisasi dan memonopoli tafsir agama untuk kepentingan dan maksud tertentu saja.


Ironisnya, kasus bom bunuh diri, baik yang terjadi di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton maupun di berbagai wilayah Nusantara, dengan kentalnya sentimen agama beberapa tahun terakhir ini, selalu berakar pada konsep jihad dalam Islam dan pelakunya beragama Islam. Konsep jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut pada penghalalan atas penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain. Pemaknaan jihad sebagai sikap ofensif sebagaimana dipraktikkan para teroris adalah sebuah kesalahan dan krisis keagamaan yang teramat fatal, dan bahkan bisa dikatakan sebagai krisis nurani kemanusiaan.


Distorsi makna jihad sebagai melulu fisik yang amat partikular, pada akhirnya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatis, yang keberadaannya membahayakan pemeluk agama lain. Kalau kita cermati, perjuangan jihad yang ofensif akan membawa dampak yang merugi bagi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Sebab, jihad sebagai ideologi kekerasan akan terus menutup egokreatif umat dan ijtihad kultural dalam pemberdayaan masyarakat madani.


Ideologi kekerasan yang digunakan untuk melawan musuh peradaban (Barat), yang menjadi alasan para teroris, bukanlah solusi yang tepat. Tuhan pun, secara teologis, selalu tidak membenarkan tindakan kekerasan sebagai perjuangan membela agama yang destruktif dan tanpa sebab. Bukankah dalam Kitab Suci disebutkan bahwa membunuh jiwa orang lain, hakikatnya sama dengan membunuh seluruh umat manusia di muka bumi ini.


Karena itu, konsep jihad selalu harus direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial dan membawa kepada sebuah kemaslahatan bagi umat manusia. Jihad harus diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Hermeneutika terhadap jihad adalah pencarian akar atau episteme makna yang ditujukan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu, apalagi harus mengorbankan jiwa manusia lainnya tanpa sebab.


Kalau diperhatikan secara saksama, terorisme dalam bentuk yang ultim seperti kasus bom bunuh diri di kedua hotel di atas, hanyalah sisi parsial dari ekstremisme beragama yang harus ditinggalkan. Lalu, bagaimana caranya kita meninggalkan aksi kekerasan tersebut?


Bertepatan dengan momen paling krusial dalam sejarah umat Islam, puasa yang sedang dijalankan umat Islam diharapkan dapat menekan tindak kekerasan yang belakangan ini terjadi di bumi Nusantara. Puasa yang berarti mencegah dan menahan (al-Imsak) juga bisa dijadikan pendidikan prevensi untuk mencegah dan menanggulangi aksi terorisme baik secara lokal maupun berskala internasional.


Hal tersebut sangatlah mungkin, mengingat puasa itu merupakan ibadah yang mendidik umat Islam untuk mencegah dari perbuatan yang sia-sia, apalagi tindakan brutal dan anarkis yang merugikan kemanusiaan dan jiwa. Malapetaka kemanusiaan yang sering kali terjadi di Tanah Air tidak bisa lepas dari jiwa yang kotor, hati yang membatu, dan akal yang jahat. Persoalan kebobrokan rohani ini yang dialami oleh bangsa ini, sehingga dengan mudah dan ringan tangan menghilangkan nyawa manusia tanpa alasan yang jelas.


Ibnu Katsir, ulama abad pertengahan, mengemukakan maksud dari pendidikan prevensi puasa adalah untuk menyucikan diri dari perbuatan yang jahat dan hina. Ramadhan dengan segala keistimewaannya merupakan saat yang tepat dan kesempatan yang baik bagi umat Islam untuk mereposisi perjuangan Islam melawan terorisme dan mengembalikan citra Islam dari klaim "agama teroris". Karena itu, rekonstruksi jihad dalam konteks ibadah puasa sangatlah penting. Jihad harus kita maknai sebagai reformasi moral-spiritual, sebagaimana penyebutan jihad al-akbar oleh Nabi Muhammad.


Momentum puasa adalah saat tepat memperbarui corak keberagamaan kita yang mengarah pada tindak kekerasan. Sudah saatnya corak keberagamaan yang menunjukkan teror dan kekerasan publik (wacana maupun fisik) mesti didekonstruksi sebagai religiusitas yang salah kaprah. Sebaliknya, jihad mesti dibangun sebagai militansi konstruktif ke arah toleransi nirkekerasan yang menggunakan ekspresi halus dan toleran, serta berimplikasi positif dalam memperlakukan yang lain.

Tidak ada komentar: