Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Desember 2009

Menolak Argumentasi Kekerasan dalam Ibadah Kurban

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Ibadah kurban yang akan kita rayakan pada 10 Dzulhijjah 1430 H/27 November 2009 M, sebaiknya kita maknai sebagai penghormatan atas martabat dan jiwa manusia daripada sekedar ritual penyembelihan binatang kurban semata. Pemahaman seperti ini akan lebih bermakna, seiring aksi terorisme, brutalisme, dan barbarisme dengan segala bentuk dan manifestasinya sering terjadi di belahan dunia, termasuk di Indonesia beberapa waktu silam.



Jawaban atas Tuduhan

Kurban adalah bentuk penyerahan diri seorang hamba pada Tuhannya secara totalitas. Namun, dalam perkembanganya ibadah kurban justru dituduh sebagai legalisasi terhadap tindak kekerasan berbaju agama, seperti yang dilontarkan Rene Gerard, bahwa kurban adalah tanda kekerasan dalam agama. Perintah penyembelihan terhadap Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim adalah bukti kuat atas dugaan itu. Maka tak ayal jika aksi bom bunuh diri dan aksi kekerasan lainya yang diberi dalih agama selalu saja bermunculan di mana-mana.


Atas segala tuduhan tersebut, marilah kita melihat dahulu dudukan persoalanya secara objektif. Dalam ibadah kurban, pertanyaan krusial yang patut kita ajukan adalah mengapa Allah SWT menggati Nabi Ismail dengan seekor domba ketika Nabi Ibrahim ingin menyembelih putranya itu—padahal sebanyak 3 kali Allah SWT memberikan perintah pada Ibrahim untuk menyembelih Ismail? Lalu apa makna terdalam dari pertukaran objek kurban ini (Ismail diganti domba)? Dan apakah bentuk perintah itu merupakan ujian (amr al-Ibtila’) untuk menguji sejauh mana ketabahan Ibrahim atas kehendak Tuhan, atau sebagai perintah tasyri’ (amr al-tasyri’) yang harus dilaksanakan tanpa sebuah argumen penolakan?


Mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak jawabannya seperti ini. Pertama, boleh jadi dengan pertukaran objek kurban, Allah ingin mengakhiri tradisi kuno yang mengorbankan jiwa manusia untuk dipersembahkan pada dewa suci mereka. Mel Gibson dalam salah satu film garapanya, “Apocalypto” memotret bagaimana tradisi kuno (peradaban Mesir kuno) melegalkan persembahan jiwa manusia untuk kepentingan dewa mereka. Padahal dalam kenyataanya, tidak semua orang yang dipersembahkan merelakan jiwanya untuk dewa-dewa yang mereka anggap suci.


Dalam ritual persembahan, biasanya yang menjadi tumbal adalah seorang perempuan yang masih gadis (belum menikah). Karena darah seorang gadis yang belum menikah diyakini akan lebih mempercepat harapan mereka terkabul. Seseorang yang dikorbankan bisa dengan cara dipisahkan anggota tubuhnya (dipisahkan kepala dengan badanya) atau mengambil salah satu organ tubuh seperti jantung atau hati untuk dipersembahkan kepada sang dewa. Ini semuanya dilakukan agar mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran hidup di dunia, terhindar dari marabahaya, kelaparan, kekeringan, dan kemiskinan.


Ali Syariati, ideolog dan tokoh gerakan revolusi Islam Iran, menyatakan, tradisi kuno ini tidak saja telah menyisakan luka yang teramat mendalam bagi keluarga yang dikorbankan. Tapi lebih dari itu, bila dilihat dari kacamata hukum modern, telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup dan bernafas di muka bumi ini.


Kedua, boleh jadi Allah ingin memberikan pesan kepada umat manusia di dunia bahwa menumpahkan darah sesama tidak pernah dibenarkan sama sekali, karena Allah tidak akan memberikan perintah yang menyalahi tasyri’-Nya. Kitab suci Al-Quran mejelaskan bahwa merenggut nyawa manusia satu orang saja di muka bumi ini sama nilainya dengan membunuh manusia seluruhnya. Ini berarti, betapa besar hukuman yang harus ditanggung si pembunuh dan betapa berharganya jiwa manusia itu.


Allah tidak pernah menginginkan setiap hamba-Nya berkurban dengan mempersembahkan manusia, dalam arti menghilangkan jiwa manusia untuk kepentingan Allah semata. Buktinya, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Allah langsung menggantikan Ismail dengan seekor domba meskipun perintah penyembelihan terhadap Ismail itu berulang kali diperintahkan-Nya. Hal ini tentunya mengisyaratkan satu pesan yang sangat universal bahwa menumpahkan darah atas nama Tuhan-pun, membunuh dan menganiaya martabat manusia tidak dibenarkan, karena Tuhan sendiri tidak menginginkannya.


Allah tidak mungkin memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan hal yang bertentangan dengan tasyri’-Nya. Menghilangkan nyawa manusia di muka bumi adalah hal yang paling Allah benci dan amat besar dosa yang harus ditanggung bagi si pembunuh. Itu berarti, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail, bukan perintah yang wajib dilaksanakan (amr al-Tasyri’), tapi perintah untuk menguji (amr al-Ibtila’) sejauh mana keteguhan, kepasrahan, dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Tuhanya.


Dalam teologi Asyariyah sendiri dikatakan, terkadang Allah SWT memerintahkan sesuatu hal kepada hamba-Nya dengan apa yang Ia (Allah) sendiri tidak pernah menghendakinya. Membunuh sangat bertentangan dengan kemaharahmanan dan kemaharahiman-Nya sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Akal sehat kita pun menimbang bahwa menumpahkan darah manusia dengan alasan apapun dipandang sebagai sesuatu yang kontra-produktif.


Hakikat Kurban

Karena itu, tuduhan yang dilontarkan Rene Gerard bahwa kurban adalah tanda kekerasan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Ia hanya melihat pesan yang tersurat tanpa memahami pesan yang tersirat. Di sinilah sepertinya kekeliruan Gerard bermula.


Oleh sebab itu, munculnya aksi kekerasan dan terorisme di belahan dunia dengan mengatasnamakan agama (jihad atau perang suci), merupakan tindakan yang salah kaprah. Pelaku kekerasan harus memahami betul esensi dan hakikat dari agamanya. Sebab, agama pada dirinya tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan teror, apalagi mengorbankan nyawa manusia. Dan para Nabi diutus ke muka bumi ini untuk tujuan damai dan menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia.


Kekerasan dan teror pada dirinya adalah kejahatan yang merugikan pihak lain. Tindakan ini tidak bisa ditolelir apalagi dilegalkan. Hukum apapun tidak bisa merestui tindakan seperti ini. Secara hukum agama hal tersebut sangat bertentangan dengan misi profetik setiap agama yang membawa kedamaian dan persaudaraan. Hukum adat/tradisi pun menolak tindak kekerasan, karena secara sosiologis masyarakat ingin hidup damai dan sejahtera. Akal sehat kita pun menimbang bahwa kekerasan dengan bentuk apapun bertolak belakang dengan fitrah manusia sebagai mahluk yang suci, pemaaf, dan berbudi pekerti.


Momentum kurban pada tahun ini sejatinya dimaknai sebagai kepasrahan, ketundukan, dan penyerahan diri kepada Tuhan secara totalitas. Di samping itu, maknanya juga sebagai penghormatan yang setinggi-tingginya pada jiwa dan martabat manusia. Bukan membinasakan jiwa manusia dan merendahkan harkat dan martabatnya. Dengan cara demikianlah hakikat ibdah kurban yang sesungguhnya akan kita capai dengan sempurna. Selamat menunaikan ibadah kurban 1430 H.

Tidak ada komentar: