Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Juli 2008

Kembalikan Kemandirian Bangsa!
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Judul Buku: Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!

Penulis: Mohammad Amien Rais

Penerbit: PPSK Press (Yogyakarta)

Cetakan: 2008

Tebal: XV + 298 halaman

Di usia 10 tahun Reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, Mohammad Amien Rais, tokoh reformasi menerbitkan buku ‘Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!’ yang isinya gugatan atas seluruh kinerja pemerintahan SBY-Kalla yang dinilainya pro-asing. Mantan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini sadar bahwa kritik pedasnya tentu akan membuat gerah pemerintah. Walau demikian ia siap menerima segala konsekuensinya.

Sebagai intelektual sejati, Amien tak rela melihat nasib bangsa berada dalam ketimpangan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan praktek penyelewengan kekuasaan yang makin parah. Melalui buku ini, Amien mencoba menjawab persoalan di atas dengan harapan dapat membuka mata hati dan pikiran pemerintah mengenai fenomena tragis yang sebenarnya terjadi di dalam negeri ini.

Mantan Ketua MPR RI ini dengan berani membeberkan sejumlah persoalan kebangsaan kita, seperti tumpukan hutang mencapai 148 miliar dollar AS, jumlah penduduk miskin menurut Biro Pusat Statistik mencapai 39,05 juta atau 109 juta orang versi Bank Dunia, 12 juta orang pengangguran, 4,1 juta anak terkena gizi buruk, 72 persen hutan Indonesia rusak, penanaman modal yang pro-asing, dan cengkeraman kekuatan asing yang menguasai aset-aset nasional (46,8 % laut dan lebih dari 50 % perbankan nasional dikuasai pihak asing, pembajakan telekomunikasi, dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan dengan Singapura yang telah merugikan Pertahanan Keamanan Indonesia).

Pembajakan aset negara yang dilakukan pihak Asing ini mengingatkan kita pada sejarah kolonialisme VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tiga abad lalu yang berhasil mengeruk seluruh kekayaan alam bangsa Indonesia (waktu itu masih bernama Nusantara). Kini, sejarah itu seakan terulang kembali dalam bentuk dan wujudnya yang berbeda, dengan apa yang disebut sebagai imperialisme modern atau VOC modern yang dikemas dengan isu-isu globalisasi.

Amien menganalogikan VOC modern saat ini dengan tiga lembaga internasional yang dianggapnya sebagai imperialis negara-negara dunia ketiga, yaitu IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan WTO (World Trade Organization). Tiga institusi pilar dunia ini nantinya akan menopang gerak laju globalisasi dengan berideologikan Washington Consensus (Konsensus Washington). Amerika, menurut Amien, dengan tiga tangan globalisasinya itu ingin melihat integrasi semua ekonomi nasional—sekalipun tidak sama rata—ke dalam satu sistem pasar bebas tunggal (hlm 16).

Mereka membuat kontrak ekonomi dengan negara-negra berkembang yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, salah satunya adalah Indonesia, untuk diperas dan dieksploitasi. Di bawah kekuatan korporasi yang ditopang kekuatan politik internasional, mereka mampu mengendalikan dan menundukan negara-negara berkembang, di mana ketika ada negara yang masuk akan terasa sulit untuk ke luar dari kekuatan cengkeramanya.

Atas dasar itu, pemerintah Indonesia harus melakukan renegosiasi atas perjanjian kontrak pengelolaan pertambangan yang telah ditandatanganinya. Karena kontrak ini dinilai merugikan Indonesia dan menguntungkan para korporasi asing. Karena bagaimana-pun juga setiap perjanjian yang menghisap kekayaan negara demi kepentingan segelintir orang saja, hakikatnya adalah mental penjajah.

Agar bangsa ini terlepas dari jerat pihak asing, Amien menyeru seluruh bangsa Indonesia untuk menemukan kembali nasionalismenya yang hilang. Jangan sampai nasionalisme kita hanya bergelora pada penampilan luarnya saja, tanpa menyentuh persoalan inti dari sebuah bangsa. Amien menyontohkan nasionalisme olah raga, yaitu ketika PSSI melawan kesebelasan asing di Kejuaraan Piala Asia tahun 2007 lalu. Gemuruh riuh teriakan dan tepuk tangan pendukung tim Merah Putih seolah-olah akan meruntuhkan Stadion Istora Bung Karno.

Tapi di saat bersamaan kita lupa, mengabaikan nasionalisme politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, pendidikan, dan nasionalisme bidang kehidupan lainya. Karena tanpa mengintegrasikan seluruh nasionalisme ini, kita akan kehilangan rasa kemandirian, kebangsaan, dan jati diri kita sebagai bangsa yang besar. Nasionalise olah raga bukan nasionalisme yang sebenarnya, ia bersifat simbolik dan hanya dapat dilihat orang dari luarnya saja.

Oleh karena itu, Amien mengibaratkan bangsa ini laksana rumah besar di pinggir jalan raya. Agar kelihatan cantik dan nyentrik kita malah berpikir bagaimana pagar rumah kita selalu terlihat bersih, mengkilat, dan tak berdebu. Namun ketika seluruh perabotan rumah tangga, bahkan istri dan anak-anak kita dicuri, kita malah diam saja. Begitulah sikap bangsa kita yang merelakan kekayaan alamnya diambil oleh pihak asing.

Maka, langkah mendesak untuk menyelamatkan Indonesia menurut Amien, pertama, mencari pemimpin alternatif yang bebas dan independen, berwawasan nasional dan internasional, serta diisi oleh kaum muda. Dan kedua, pemerintah seharusnya berani bertindak untuk melepaskan diri dari kekuatan korporasi asing dan membangun hubungan dengan negara-negara lainnya sebagai partner, bukan sebagai budak.

Di akhir buku ini, Amien mengingatkan seluruh elemen bangsa Indonesia untuk tetap merujuk pada nilai-nilai dasar kebangsaan yang telah disepakati sejak awal berdirinya negara Indonesia. Yang kesemuanya telah disusun dalam lagu kebangsaan, simbol bendera Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika, sumpah Sapta Marga bagi kalangan Polri dan TNI, serta nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila.

Buku ini penting dibaca, terutama oleh para pemerintah, politisi, birokrat, mahasiswa, dan seluruh anak bangsa Indonesia. Karena memberi penyegaran dan membuka lebar-lebar mata hati dan pikiran kita mengenai persoalan kebangsaan yang selama ini mungkin kita belum mengetahuinya. Dengan memahami buku ini, moga nasionalisme kita tetap bergelora hingga dapat mengembalikan kemandirian bangsa yang hilang.

Tidak ada komentar: