Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Juli 2008

Bahaya Tafsir Tunggal Agama

Bahaya Tafsir Tunggal Agama
Dimuat di Suara Karya (Kamis, 3 Juli 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Islam adalah agama setiap zaman, kata Tariq Ali. Dengan begitu, pemahaman terhadapnya harus sesuai dengan konteks dan kondisi yang sedang dihadapi umat manusia. Sebab, tanpa upaya kontekstualisasi pesan keagamaan, agama akan menjadi kaku, dicibir dan tak menutup kemungkinan ditinggalkan banyak pemeluknya.

Pernyataan Tariq Ali di atas menurut hemat penulis dimaksudkan bahwa tafsir dan pemahaman terhadap agama dimungkinkan sampai kapan pun. Islam tidak akan sesuai dengan zamannya bila tafsir atas realitas yang tengah dihadapi umat Islam tidak dimungkinkan. Sebaliknya, jika tafsir atas paham agama terus diperbarui, maka agama akan menjadi tetap kontekstual dan relevan sampai kapanpun (sholihun likulli zamanin wa makanin).

Kemungkinan tafsir agama atas zamannya tidak saja menjadikan agama tetap relevan, tapi juga menginginkan tatanan sosial yang lebih harmonis, dinamis, berkembang, dan terus berevolusi. Karena itu, sejatinya tafsir tidak bersifat tunggal, monolitik, dan seragam, akan tetapi plural, beragam dan multitafsir.

Munculnya keragaman dan perbedaan dalam pemahaman agama selama ini: ada Islam fundamental, moderat, revivalis, liberal, dan beragam mazhab keagamaan dalam fikih seperti mazhab Abu Hanifah, Maliki, Hambali, Syafii, dan Ja'fari, semuanya menunjukkan bahwa tafsir melekat pada diri agama itu sendiri.

Oleh karena itu, obsesi sebagian kelompok untuk menunggalkan tafsir merupakan upaya yang mustahil untuk dilakukan. Parahnya lagi, penunggalan tafsir yang mereka inginkan tidak sekadar pada wilayah keagamaan, tapi juga dalam ilmu pengetahuan, seni, politik, ekonomi, dan budaya.

Yang lebih berbahaya, kata Fazlurrahman, cendekiawan Muslim asal Pakistan, tafsir yang bersifat tunggal akan mengarah pada pengekangan terhadap kebebasan berpikir, penyempitan makna, dan kejumudan. Sehingga, klaim-klaim kebenaran, sikap "sok suci", dan paling benar sendiri akan sering bermunculan. Kata-kata kafir dan murtad akan sering dialamatkan pada kelompok lain. Dan, pada akhirnya, sikap ekslusif seperti inilah yang akan mengarahkan pemeluknya pada aksi-aksi kekerasan dan anarkisme.

Kekerasan antarsekte di Irak misalnya, yaitu antara Sunni dan Syiah di mana tak jarang mengakibatkan ratusan korban jiwa melayang dari kedua belah pihak, merupakan akibat dari sikap ingin menang dan benar sendiri. Begitu juga sikap pemerintah Taliban yang memaksakan penerapan syariat Islam secara radikal pada penduduk Afghanistan.

Dalam konteks Indonesia, dapat kita perhatikan beberapa kasus kekerasan yang berlatar keagamaan, seperti pemukulan yang dilakukan massa Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AK-KBB) di Tugu Monas, 1/06/08, yang lalu, makin membuktikan dari bahaya tafsir tunggal.

Sekali lagi, hal demikian bisa terjadi diakibatkan karena perbedaan tafsir. Tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat kita lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan tertentu yang bersifat tunggal dan mengikat. Perlu diketahui, tafsir yang bersifat mengikat akan melemahkan kreativitas umat untuk berkarya, mencipta, dan melahirkan pemahaman baru.

Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan) belaka. Sehingga model tafsir seperti ini kerap melupakan problematika sosial yang sedang dihadapi umat manusia. Kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan penyelewengan lainya dianggap bukan tanggung jawab agama.

Sementara itu, tafsir-tafsir lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif kadangkala sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta-merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif.

Sebuah tafsir tunggal akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan pada pesan agama yang awalnya bertujuan mulia, yaitu sebagai pembawa kedamaian, kerukunan, cinta-kasih, dan persaudaraan.

Umat beragama harus menyadari, apalagi dalam konteks Indonesia yang plural ini, bahwa memaksakan tafsir tunggal pada seluruh masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk ini tidak mungkin dilakukan sampai kapan pun. Tafsir yang bersifat plural, inklusif, dan beragamlah yang cocok untuk bangsa kita ini.***

Tidak ada komentar: