Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Juli 2008

Memaknai Relasi Manusia dan TuhanDimuat di Media Indonesia (Jumat, 27 Juni 2008)
Mohamad Asrori Mulky,
Analis Religius Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

DALAM teologi Islam, relasi antara manusia dan Tuhan adalah dinamika terpenting dalam seluruh perwujudan diri manusia sebagai hamba dan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Hubungan keduanya, tentu saja, terjalin untuk saling memberi dan menerima, bukan saling menindas dan mendominasi.

Toshiko Ishuzu, ahli semantik asal Jepang, dalam tesisnya memaparkan hubungan 'manusia dengan Tuhan' dimaksudkan dapat mendekatkan dan menundukkan diri di hadapan Tuhannya. Sementara itu, hubungan 'Tuhan dengan manusia' agar Tuhan mendapatkan legitimasi dan pengakuan diri (Tuhan) dari hamba-Nya. Mengenai hal itu, dalam salah satu hadis qudsi-Nya, Tuhan mengatakan, "Aku (Tuhan) adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal. Sebab itu, Ku ciptakan dunia." 

Sejauh ini tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, baik yang mengklaim diri sebagai kelompok puritan maupun kelompok modernis, bahwa Tuhan adalah kekal, abadi, tak terbagi, dan tunggal. Sementara itu, manusia sendiri adalah makhluk yang lemah, punah, binasa, dan serbakekurangan, dari itu, manusia harus tetap tunduk dan patuh pada ketentuan dan kehendak Tuhannya.

Pada titik ini, Alquran berulang kali mengingatkan manusia agar tidak menundukkan Tuhan di atas hawa nafsunya sendiri dan menyembah selain-Nya. Manusia harus memahami Tuhan sebagai Tuhan itu sendiri 'sebagai Yang Maha Kekal, Sempurna, dan Abadi' bukan memberlakukan Tuhan sebagaimana yang manusia kehendaki yaitu mengikuti hawa nafsu.
Lalu, bagaimana pola hubungan manusia dengan Tuhannya? Bagaimana kaum puritan dan moderat memahami hubungan antara keduanya? Itu penting untuk dijawab tidak saja untuk memetakan pandangan dua kelompok tersebut, lebih dari itu, karena sikap keduanya dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan akan berimplikasi pada tindakannya dalam beragama. 

Media Indonesia


Puritan dan moderat
Kata mufakat yang ditempuh umat Islam dalam memahami Tuhan adalah zat yang mahasempurna dan manusia adalah makhluk yang serbakekurangan, tidak berarti mereka juga bersepakat dalam soal bagaimana pola hubungan manusia dan Tuhan itu sendiri. Apakah hubungan keduanya bersifat kaku, formal, dan matematis, atau dinamis, etis, dan bermoral. Dalam soal ini, kaum puritan dan moderat memiliki pandangan masing-masing.

Sejauh ini, kaum puritan memaknai pola hubungan antara Tuhan dan manusia cukup sederhana dan mudah dipahami. Bagi mereka, manusia diciptakan untuk tunduk dan patuh pada Tuhan melalui ibadah formal. Kata-kata li ya'budûn (untuk menyembah-Ku) dan "la'allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa kepada-Ku) dalam Alquran, dipahami sebagai bukti konkret yang menunjukkan perintah untuk melakukan ibadah formal itu, seperti haji, puasa, salat, dan zakat. Mereka berasumsi kesempurnaan praktik ritual adalah tujuan paling tinggi dalam agama.

Karena ketundukan kepada Tuhan hanya bergantung pada praktik ritual, ketundukan dan keselamatan tidak mungkin diterima seseorang jika tidak menerima Islam sebagai agamanya secara sah. Bagi kelompok itu, jalan ke arah ketundukan hanya dapat dilalui lewat syariat Islam sehingga orang yang di luar Islam dan tidak melakukan syariatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk tunduk pada Tuhannya, apalagi menerima keselamatan di akhirat nanti. Karena itu, syariat harus terperinci dan pasti sehingga ketika seorang muslim menaatinya, dengan begitu ia akan mendapatkan keselamatan di akhirat nanti, masuk ke surga yang telah dijanjikan. 

Mengomentari konsepsi kaum puritan, mengenai hubungan Tuhan dan manusia, hemat penulis, tampaknya lebih bercorak 'matematis' dan 'hitung-hitungan', siapa yang tunduk ia akan mendapatkan pahala, dan siapa yang mengingkari Tuhan akan mendapatkan dosa dan siksa. 

Di lain pihak, pendekatan kaum moderat dalam memahami hubungan antara manusia dan Tuhannya secara substansial sangat berbeda dengan kelompok di atas. Dalam pandangan kaum moderat, Tuhan itu bermoral dan etis. Karena itu, mereka mengkritik kaum puritan yang memahami sifat-sifat Tuhan dengan tidak masuk akal, dikatakan bahwa Tuhan itu adil, tetapi keadilan adalah apa pun yang Tuhan inginkan menjadi keadilan. Karena itu, ketika di hari akhirat nanti Tuhan ingin memasukkan seluruh manusia ke neraka, itu akan dinilai adil dan baik karena semata-mata lantaran Tuhan menginginkannya. Pandangan seperti ini, bagi kaum moderat, jelas, telah menempatkan Tuhan pada wilayah tidak etis dan tak bermoral.

Tuhan tidak seperti itu karena itu akan sangat mustahil bagi Tuhan sendiri. Dikatakan, Tuhan itu bermoral dan etis karena Tuhan juga memiliki penilaian, pengalaman, dan perasaan yang sama dengan manusia menyangkut standar objektif kebaikan, moralitas, dan keindahan. Maka Tuhan tidak akan semena-mena memasukan seluruh manusia ke dalam surga atau neraka-Nya. Tuhan juga pasti mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan untuk hamba-Nya. Bukankah Tuhan Mahapengasih dan Penyayang? Dan bukankah kasih sayang Tuhan melebihi murka-Nya? Keagungan kasih Tuhan tidak akan menjadikan hamba-Nya menderita di dunia dan di akhirat. 

Moralitas Tuhan tidak selalu tertuju pada sesuatu yang berbau vertikal atau illahiyah, tapi juga pada persoalan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan. Maka, di sini dapat dipahami bahwa untuk membangun peradaban di dunia tidak berarti harus membangun gedung-gedung yang tinggi dan menjulang atau menyulap perumahan kumuh menjadi istana. Tapi, bagaimana kita dapat mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan seperi adil, kasih sayang, baik, ramah, dan seterusnya ke seluruh muka bumi ini. Apalagi dunia yang tengah kita hadapi sekarang ini penuh dengan gejolak kekerasan.

Karena itu, bagi kaum moderat, dengan membuat kerusakan di muka bumi seperti kekerasan, anarki, membabat hutan, melumpuhkan gunung, menghancurkan lautan, dan membajak kekayaan alam lainnya dengan tidak manusiawi dapat dikategorikan sebagai dosa besar yang harus dijauhi. Karena, itu berarti telah merusak citra dan ciptaan Tuhan dan itu dianggap sebagai penghujatan terburuk pada Tuhan itu sendiri.

Di sini dapat dipahami bahwa orang yang menghujat Tuhan dan agama-Nya tidak sebatas mereka yang meninggalkan salat, puasa, zakat, dan ibadah formal lainnya saja. Tapi juga, mereka yang telah melakukan perusakan, penghancuran, dan mengeksploitasi alam ini hanya untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri.

Implikasi logis
Mengenai pandangan kaum puritan di atas, soal hubungan manusia dan Tuhan, dapat kita simpulkan bahwa hubungan keduanya (manusia-Tuhan) bersifat formal dan berjarak, hubungan yang terjalin kaku antara yang superior dan inferior. Karena itu, mendekati Tuhan hanya dapat dilalui dengan perasaan takut, gemetar, dan penuh kengerian, bukan cinta dan kelembutan.

Ketika agama dipandang sebagai antagonis, setiap pemeluknya tak segan-segan meneriakkan perang atas nama Tuhan. Terhadap agama dan kelompok lain, mereka akan mengklaim sesat, murtad, dan kafir. Pemukulan, penganiayaan, pembakaran rumah ibadah, bahkan pengusiran jemaah akan sering terjadi di mana-mana. Itulah fakta sosial yang banyak terjadi di sekeliling kita.

Ketundukan dan ketaatan pada Tuhan melalui cinta dan kasih sayang akan lebih berarti bagi kita sebagai umat Islam Indonesia yang plural dan beragam.

Tidak ada komentar: