Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Juli 2008

Subtansialisasi Pesan Agama


Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Dimuat di Media Indonesia (Jumat, 06 Juni 2008)

 

Beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi kekerasan berlatar agama.

Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang yang sinis terhadap agama, bahwa agama tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan intra-agama sendiri. Agama sudah tak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan agama dan kelompok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancurkan kelompok di luar dirinya.

Padahal, dalam catatan sejarah agama-agama dunia, sejatinya agama membawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan perselisihan dan pertarungan (Karen Amstrong, The History of God). 

Munculnya fenomena kekerasan agama ini tentunya melahirkan pertanyaan besar bagi seluruh umat beragama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan lainnya. Apakah agama untuk saat ini sudah kehilangan perannya sebagai alat penyemai damai? Lalu bagaimana sikap setiap umat beragama agar agamanya tetap relevan dengan zamannya dan tidak menimbulkan asumsi negatif pada agama?

Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat bersamaan pula ia berada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat.

 

Substansi Agama

Menanggapi hal di atas, sebagai umat beragama kita harus menangkap substansi agama dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Jangan sampai kita memahami agama hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual keagamaan, dan menghamba pada ucapan ulama. Sekali lagi, hakikat terdalam dari agamalah yang harus kita tangkap.

Jika selama ini umat beragama menghamba dan memuja sabda para ulama dan teks literal dari sebuah kitab suci. Maka, sesungguhnya mereka telah terjebak ke dalam apa yang disebut dengan praktik bibliolatry, yaitu sebuah sikap di mana para pemeluk agamanya hanya memuja 'aksara', tanpa ada proses kritis dan analitis untuk menyibak hakikat di balik aksara itu sendiri. Bila ini terjadi maka agama akan menjadi monster yang menakutkan bagi pemeluknya dan kekerasan atas nama agama akan selalu muncul di permukaan.

Media Indonesia

Oleh karena itu, Muhammad Said Al-Asymawi, cendekiawan asal Mesir, menyeru seluruh umat beragama untuk kembali pada apa yang ia sebut dengan Jauhar ad-Din (substansi agama). Menurutnya, substansi agama adalah cinta, kasih, dan damai. Tiga elemen ini lazim terkandung di dalam setiap agama-agama dunia. Tradisi saling memaafkan di Hari Raya Idul Fitri (dalam Islam), misalnya, merupakan momen penting di mana setiap muslim saling bertegur sapa, berkunjung, berbagi, dan mengasihi.

Artinya, ketika agama diejawantahkan dalam ruang lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan, di mana setiap individu dan kelompok saling bertemu dan berinteraksi, maka penegakan spirit penghormatan akan yang lain dan penghargaan terhadap kelompok di luar dirinya harus dikedepankan. Karena pesan substantif agama tidak melulu terpusat pada yang transenden (Tuhan), tapi juga tertuju pada yang imanen (manusia). Atau dalam istilah Hassan Hanafi, agama tidak hanya Illahiyah, tapi juga Insaniyyah.

Keterpusatan agama pada yang transenden lebih menitikberatkan pada hubungan personal hamba dengan Tuhannya. Sehingga, hubungan itu hanya terbatas pada ritual formal saja, seperti salat, haji, dan puasa. Pada titik ini keimanan dan spiritualitas manusia, kata Goenawan Mohamad, coba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh, yang sebenarnya fantasi tentang Yang Kekal. Atau yang menjulang, yang sebenarnya fantasi tentang Yang Mahaluhur dan Bijaksana. Tuhanlah yang berhak menilai ritual seseorang itu benar atau salah. Dan Ia juga yang berhak untuk memvonis seseorang itu sesat atau tidak.

Sementara itu, ketertujuan agama pada yang imanen merupakan refleksi manusia atas seluruh keimanan dan kenyataan hidup yang ia alami untuk menyapa dan merangkul sesamanya. Karena agama adalah tindakan dan perbuatan yang bersifat sosial. Pada tahap ini agama sudah berpijak pada takhtanya di bumi, tidak menjulang dan mengawang-awang di langit yang hampa.

Begitu penting relasi manusia dengan manusia lainnya dalam menjalankan hidup, maka Allah SWT dalam sebagian besar firman-Nya lebih memusatkan perhatian-Nya pada kepentingan dan kebaikan umat manusia di muka bumi. Perintah saling mengasihi antarsesama, membela kaum lemah/tertindas (mustadh'afin), tolong-menolong, persahabatan, saling menghargai dan cinta kasih selalu Ia (Allah) ulang-ulang.

Bahkan, demi tercipta kerukunan yang abadi, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Irham' Man fî al-Ardh Yarhamukum Man fii as-Samaa, kasihilah yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi oleh Dia yang ada di langit (Tuhan). Senada dengan itu, Nabi Isa as juga pernah mengatakan hal yang serupa: kasihilah orang di sekelilingmu sebagaimana kalian mengasihi keluargamu sendiri.

Mencermati pesan substantif agama sebagaimana diuraikan di atas tadi, maka dapat dipahami bahwa munculnya fenomena kekerasan seperti bom bunuh diri, terorisme, dan kekerasan berlatar agama lainnya tidak harus sepenuhnya dialamatkan pada agama, lebih dari itu, pada umat beragama yang keliru memahami hakikat agama itu sendiri. Mereka lebih mengedepankan bentuk bukan isi, asumsi bukan substansi.

Dalam tasawuf parenial, agama adalah cinta, sebagaimana ditegaskan Maulana Jalaluddin Rumi dan Rabi'ah Adawiyah. Sehingga dalam mengamalkannya pun kita harus menggunakan cara-cara yang santun, ramah, dan beradab. Bukan melalui teror, kebengisan, dan kebiadaban.

 

Agama dan Paham Agama

Untuk lebih memperjelas lagi, agar tidak terjadi kebingungan yang mendalam dalam tubuh umat, kenapa agama lebih diasumsikan sebagai sumber kekerasan. Maka, langkah yang harus kita lakukan adalah membedakan agama dan paham agama. Karena terkadang kita terkecoh dalam memahami keduanya, padahal satu sama lain memiliki maknanya sendiri-sendiri.

Agama bersifat kekal, abadi, dan permanen karena ia langsung datang dari Tuhan. Ia (Tuhan) mengajarkan hamba-Nya untuk bertauhid, berbuat baik, cinta dan kasih. Sementara paham agama bersifat temporal, punah, dan berwaktu. Karena ia datang dari nalar dan pemahaman manusia dalam menangkap substansi agama. Oleh sebab itu, kemungkinan benar dan salah menjadi niscaya, sejauh mana kemampuan nalar/watak manusia memahami pesan agama.

Oleh karenanya, hemat penulis, beragam aksi kekerasan yang berlatar agama dengan segala bentuk teror dan horornya lebih mengarah pada paham agama. Umat agamalah yang salah memahami substansi agama itu sendiri. Sampai kapan pun agama tak akan pernah mengajarkan kekerasan. Watak retak umatlah yang menjadikan kekerasan agama itu muncul. Dan watak umatlah yang menjadikan agama seperti monster yang menakutkan pemeluknya.

Akhirnya, dalam merefleksikan agama yang kita anut, substansi dan makna terdalam dari agamalah yang harus kita tangkap. Sehingga upaya untuk mewujudkannya dalam sebuah tatanan yang penuh damai, cinta, dan kasih, dalam konteks keberagamaan di Indonesia yang plural, bukanlah keinginan yang utopis apalagi mengada-ada. Justru, ini akan menjadi sumbangan yang berharga untuk masa depan agama-agama di negeri yang mendapat julukan negeri zamrud khatulistiwa ini. Tanpa menangkap substansinya dan membedakan mana agama dan paham agama, maka keretakan-keretakan dalam tubuh umat akan terus terjadi.

Tidak ada komentar: