Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 14 Juli 2008

Kepentingan di Balik Krisis Tibet

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul Buku: Revolusi Tibet;
Fakta, Intrik dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat

Penulis : Nurani Soyomukti

Penerbit : Garasi, Yogyakarta

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : 136 halaman

Tibet adalah negeri para biksu yang kerap mengajarkan kedamaian dan cinta-kasih. Namun, kali ini, dunia dikejutkan oleh sikap anarkisme para biksu, 10 Maret 2008 lalu. Para biksu yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian, malah justru membuat onar di negeri yang mendapat julukan ”negeri atap dunia” itu.

Fenomena tersebut akhirnya mengundang pertanyaan besar, ada apa di balik aksi para biksu Tibet? Apakah aksi mereka murni untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat Tibet sendiri, yang selama ini tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Cina? Atau memang, aksi mereka sepenuhnya ditunggangi kepentingan pihak lain, seperti AS dan Cina, di mana keduanya sejak lama berhasrat memiliki kekayaan dan keasrian bumi Tibet?

Buku Revolusi Tibet: Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet, Cina, dan Amerika Serikat” karya Nurani Soyomukti ini menganalisa berbagai kekuatan politik dan kepentingan yang bermain di negeri para biksu itu, khususnya AS dan Cina sendiri. Oleh karenanya, buku ini memberikan analisa yang objektif dan menyeluruh mengenai kasus Tibet, yaitu dengan cara melihat Tibet dari berbagai aspek, kepentingan dan kekuatan politik yang bermain di sana.

Sejak peristiwa 10 Maret 2008 lalu, bahkan 49 tahun sebelumnya (1959) tarik menarik kepentingan antara AS dan Cina terlihat begitu jelas dan memanas. Ketika terjadi demonstrasi peringatan Pemberontakan Tibet yang dilakukan sebagian besar biksu, secara spontan Cina memberikan reaksi yang cukup keras. Pada saat itulah AS membesar-besarkan perlakuan Cina dan menganggapnya bentuk ”represif” dan ”melanggar HAM”.

Selain itu, AS juga diduga telah mempelopori kampanye ”Boikot Olimpiade Beijing” 2008. Hal ini dilakukan agar Olimpiade 2008 Beijing gagal hingga mencoreng reputasi Cina di hadapan masyarakat internasional. Dengan begitu, Cina akan mendapat cemoohan dan kritikan.

Dalam kasus Tibet ini, media juga ikut memblow-up secara besar-besaran. Dalam pemberitaanya, Cina lebih ditempatkan sebagai pihak tertuduh, sementara pihak demonstran Tibet mendapatkan simpati dari berbagai pihak. Padahal, para demonstran sendiri dalam aksinya melakukan tindakan anarkis; pembakaran, penganiayaan, dan pengrusakan terhadap sejumlah rumah dan toko milik non-etnis Tibet. Bahkan aksi tersebut berujung pada penyerangan etnis non Tibet pada tanggal 14 Maret.

Dalam konteks ini, peran media dalam pemberitaan sangat merugikan pihak Cina. Sehingga muncul keyakinan dogmatis bahwa dalam sejarah Tibet, mereka selalu ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Cina. Bila citra ini yang muncul di permukaan, maka AS dengan sendirinya mendapat keuntungan. Seakan-akan AS dengan sepenuh idealismenya membantu dan membela HAM di Tibet. Padahal dalam sejarah perjuangan HAM AS selalu bermakna standar ganda. Pasti teselip kepentingan yang keji di dalamnya.

Sebagai negara yang menjadi raksasa di kawasan Asia, Cina dianggap sebagai negara yang mengancam mada depan AS. Maka kasus tibet ini dijadikan momen oleh AS untuk menggulingkan pamor Cina dalam kancah dunia. Karenanya, AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.

Yang menjadi kekhawatiran penulis buku ini, bahwa hak menentukan nasib sendiri (self-determination) yang diupayakan rakyat Tibet adalah harga mati dalam politik pergaulan antar bangsa. Tetapi apakah setelah Tibet merdeka akan terjadi pemenuhan hak-hak rakyat Tibet. Atau jangan-jangan setelah Tibet lepas dari Cina, modal AS akan masuk sehingga segala kandungan bumi Tibet menjadi milik modal internasional, aset medis tradisional Tibet akan menjadi hak paten kapitalis farmasi, atau kedepannya pandangan ekologis Buddhisme akan enyah oleh ideologi ekploitatif kapitalisme neoliberal yang akan dipaksakan Amerika Serikat.

Singkatnya, kemungkinan-kemungkinan terburuk inilah yang harus diwaspadai masyarakat Tibet. Jangan sampai keluar dari mulut macam, masuk mulut buaya.

Tidak ada komentar: