Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 29 November 2008

Melestarikan Dialog Umat Beragama


-->
Dimuat di Media Indonesia Jumat, 28 Nopember 2008

Oleh Mohamad Asrori Mulky,
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

PARA pemimpin dunia, Rabu (12/11) dan Kamis (13/11) di Markas Besar PBB New York, menyerukan dialog umat beragama. Dialog agama yang diprakarsai Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Arab Saudi itu dihadiri 80 perwakilan negara-negara dunia. Semua peserta sepakat mendukung dialog umat agama, mengutuk kekerasan atas nama agama, dan menyerukan sikap toleransi pada pemeluk agama lain.

Munculnya radikalisme agama belakangan ini dengan segala bentuk dan manifestasinya telah menodai citra agama itu sendiri sebagai pembawa kedamaian bagi umat manusia. Karena itu, upaya dialog antaragama, sebagaimana yang diprakarsai Raja Abdullah, itu harus senantiasa dipelihara. Sebagai raja di tempat kelahiran para nabi, Raja Abdullah tentunya mengemban tanggung jawab cukup besar untuk mempersatukan umat beragama, seperti halnya Nabi Muhammad SAW pada beberapa abad silam.

Memang, semua agama, apapun dan bagaimanapun agamanya, memiliki potensi untuk menciptakan kekerasan dan bahkan pernah memiliki masa lalu yang cukup mengerikan (Abou el-Fadl, Great Theft, 2005).

Karena itu, fenomena kekerasan dan terorisme bisa muncul dari agama mana saja, bisa Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan Konghucu. Namun begitu, setiap pemeluk agama-agama meyakini inti ajaran agamanya adalah cinta dan perdamaian. Lalu bisakah kita meraih dan mempraktikkan cinta dan perdamaian itu dalam kehidupan beragama?

Di saat dunia disesaki ragam gejolak dan pertikaian yang dibungkus atas nama agama, umat beragama harus mencari solusi yang nantinya dapat menguntungkan masa depan umat dan agama itu sendiri. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah saling mengerti dan memahamiantarumat agama lainnya. Upaya itu perlu dilakukan dan jauh lebih bermakna daripada lebih mengedepankan konflik kekerasan dan menyimpan dendam masa lalu.

Media Indonesia
Saling Memahami
Sikap saling mengerti dan memahami antarumat beragama merupakan modal utama dalam menciptakan perdamaian dan memupuk kerukunan. Untuk itu, umat beragama sudah saatnya melihat agama lain bukan sebagai 'agama terorisme' atau agama yang menghalalkan kekerasan. Mereka harus memahami sebenar-benarnya bahwa kekerasan dalam terorisme bukanlah ajaran agama tertentu, melainkan suatu penyimpangan dan kesalahan yang cukup fatal. Tiap-tiap umat beragama harus berjiwa besar melihat agama lain sebagai saudara, bukan musuh yang harus diperangi.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerang umat Kristen, dan tentu juga berlaku sebaliknya. Bila ada umat Islam yang menyakiti umat Kristen, begitu juga sebaliknya, itu dikarenakan mereka tidak memahami substansi dari ajaran agamanya sebagai cinta, kasih, dan perdamaian. Aksi kekerasan yang selama ini terjadi, baik di panggung dunia nasional maupun internasional tidak semata-mata disebabkan sentimen agama, tapi lebih pada persoalan kepentingan politik atau ekonomi yang kemudian melebar pada konflik agama.

Survei yang dilakukan Gallup, yang melibatkan John Esposito, pengkaji Islam tersohor dunia mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi di belahan dunia bukan karena didasari sentimen agama, tapi didasari kepentingan dan tujuan politis. Maka dari itu, kita harus meluruskan pandangan yang salah mengenai hal tersebut. Agama pada dirinya tidak pernah melegalkan permusuhan, apalagi saling membunuh sesama manusia. Kendatipun ada pihak-pihak yang melakukan kekerasan dengan cara bom bunuh diri dengan mengatasnamakan agama, sesungguhnya si pelaku tidak memahami betul substansi agama yang dianut.

Untuk menghindari kecurigaan dan kesalahpahaman antaragama dan intraagama, dialog yang benar dan tulus serta saling memahami dan mengerti harus dilakukan. Dengan dilakukannya dialog dan saling memahami inilah akan tercipta dunia baru yang dilandasi nilai-nilai kesamaan, keadilan, dan kemanusiaan. Nilai-nilai itu harus dijadikan fokus dalam menciptakan keberagamaan yang otentik.

Selama ini sudah banyak pikiran dan tenaga yang tercurahkan demi tercapainya dialog, komunikasi, dan kerja sama antarumat beragama. Namun, ironisnya, dialog hanya dapat dilakukan pada tataran pemuka agama dan pejabat pemerintah, sedangkan dialog yang sehat tidak pernah terjadi dan menyentuh tataran bawah yang secara kultural masih awam dan secara struktural masih lemah.

Karena itu, apa yang dilakukan para pemimpin dunia di Markas Besar PBB sebaiknya juga dipraktikkan pada tataran bawah. Kemesraan dialog antarpara pemuka agama tidak cukup berhenti pada kepuasan personal semata. Namun lebih dari itu, mereka harus bisa menyampaikan pada masyarakat sesuai dengan bahasa mereka demi kepentingan bersama. Para pemuka agama harus memberikan pemahaman dan pendampingan pada masyarakat mengenai agama yang mereka anut. Jangan sampai masyarakat awam dibiarkan begitu saja, sebab sejauh ini kekerasan agama sering terjadi pada tataran bawah sebagai orang awam.

Membumikan Hasil Dialog
Dialog antaragama tidak boleh berhenti sebatas formalitas belaka, hanya kata-kata, dan berhenti di mulut. Pembumian dan pengontekstualisasian makna dialog harus menyentuh semangat dan rohnya. Di samping itu, pembumian makna dialog juga berarti bagaimana masyarakat bawah menerima cahaya kedamaian ini guna menjalankan kehidupan dalam suasana yang tenang tanpa ketakutan dan kecemasan.

Oleh karena itu, cara beragama kita mestinya tidak sekadar berwajah kesalehan individual, tetapi juga mengarah pada akhlak sosial (kesalehan sosial). Akhlak sosial, selain bermakna kepedulian di bidang ekonomi, juga kepedulian untuk tidak menghardik umat dari agama lain, memaksa mereka untuk mengikuti agama kita, dan menganggapnya sebagai musuh yang harus diperangi.

Jika agama dipahami sebagai penyapaan pada sesama manusia, alangkah indahnya dunia ini. Kebersamaan, kerukunan, dan solidaritas agama akan selalu kita temukan sehingga dalam tiap ibadat pun lebih dilandasi sikap hati yang tulus untuk memberi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan dan kebersamaan. Persembahan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha, misalnya, yang beberapa minggu lagi akan dirayakan umat Islam, bukan hal utama dalam beragama, tetapi pemihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk itulah dalam syariat Islam daging kurban harus didistribusikan kepada mereka yang berhak, dan tidak boleh untuk dikonsumsi sendiri oleh si empunya kurban karena itu akan mencederai makna kurban itu sendiri. Singkatnya, ibadah kurban tidak semata-mata ketundukan dan kepatuhan yang dipraktikkan Nabi Ibrahim pada sang Pencipta, tapi maknanya juga sebagai pengorbanan dan kerelaan untuk hidup bersama dan bermasyarakat.

Alangkah hinanya bila kita beribadah kepada Tuhan, sementara hati dan perilaku kita masih menindas dan tidak memedulikan nasib orang lain. Sebagai umat beragama kita harus menyucikan dunia dan membawanya kepada kedamaian abadi, menegakkan kemanusiaan dan keadilan yang bermoral. Karena itu, dialog umat beragama yang telah dilakukan di Markas Besar PBB harus senantiasa kita lakukan, dengan tidak lupa mendiskusikannya kembali kepada masyarakat awam yang tidak memahami betul hakikat ajaran agamanya.

Tidak ada komentar: