Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 15 April 2025

Al Hallaj: Saat Cinta Menyebut Namanya Sendiri


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Fajar belum juga sempurna menyingsing, ketika angin pagi menelusup sunyi di lorong-lorong pasar yang beku oleh ketakutan. Kota Baghdad kala itu, tepatnya 27 Maret 933 M, benar-benar hening tak bersuara, seakan waktu menahan napasnya demi menyaksikan drama agung yang akan menggetarkan langit dan bumi, kelak dicatat dalam tinta sejarah tentang nyala cinta yang menyebut namanya sendiri, namun harus dieksekusi di tiang gantungan.

 

Di antara dinding-dinding yang menghitam oleh kabut sejarah yang dikendalikan ulama ortodoks, seorang lelaki berjubah putih melangkah perlahan. Wajahnya tenang namun teduh, matanya tajam namun membara. Dialah Husayn ibn Manshur al-Hallaj, sang kekasih Tuhan yang akan dipersiapkan untuk perjamuan terakhirnya. Ia akan dihukum gantung sebagai martir oleh tuduhan yang sama sekali tidak masuk akal.

 

Ia tidak memberontak. Tidak meratap. Tidak pula berkhutbah sebagaimana lazimnya para sufi yang dituduh sesat. Ia berjalan seakan menari dalam diam, seolah langkahnya adalah ayat-ayat sunyi yang mengalir dari Lauh al-Mahfuz. Di sekelilingnya, pasukan bersenjata mendampingi tanpa kata. Umat ramai berkerumun di kejauhan, mulut mereka terkunci oleh keraguan, oleh rasa takut pada penguasa, atau mungkin oleh kekaguman yang tak sanggup mereka jelaskan.

 

Di hadapan tiang gantungan yang siap menyergap, langit menggantung kelabu. Burung-burung enggan terbang, dan waktu seakan merunduk dalam keheningan suci. Dari arah berlawanan, datanglah Abu al-Harits al-Sayyaf—algojo bertubuh kekar dan kasar, wajahnya keras bak batu karang, matanya seperti baja dingin yang tak mengenal ampun. Ia melangkah pongah, mengira dirinya akan mengeksekusi seorang durjana. Padahal ia adalah sang pecinta, kekasih Tuhan yang nyalanya kembali ke Api.

 

Namun di hadapan Al Hallaj, kesombongan dan kepongahan sang algojo ibarat debu di hadapan mahkota raja. Ia mengangkat tangannya, lalu menampar pipi sang sufi dengan kasar. Seketika darah mengucur dari hidung Al Hallaj. Jubahnya, putih seperti bulan, kini berwarna merah saga. Tapi ia tidak berseru. Tidak membalas. Ia hanya menunduk, lalu perlahan bersujud di atas tanah yang dingin dan berkata, dengan suara lirih namun mengguncang arasy:

 

اِلهِى اَصْبَحْتُ فِى دَارِ الرَّغَائِبِ أَنْظُرُ اِلَى الْعَجَائِبِ

“Tuhanku, kini aku telah berada di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan”.


Lalu ia meneruskan: “Ya Ilahi, di tengah arus darah ini, aku tidak memohon keselamatan dari mereka yang menganiayaku, melainkan keselamatan bagi mereka dari murka-Mu. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku tidak melihat kecuali wajah-Mu dalam diri mereka.”

 

Langit pun tampak mengerutkan keningnya. Para saksi mencatat bahwa bumi bergetar halus kala sujud itu terjadi, seolah turut bersujud bersama tubuh yang akan dipatahkan oleh kekuasaan dan kesombongan. Dalam luka, Al Hallaj tetap bercahaya. Ia tidak gentar apalagi gemetar. Dalam cercaan, ia tetap bercinta. Ia bukan lagi tubuh yang akan digantung, melainkan nyala yang hendak kembali ke Api Asal-Nya.

 

Dan dalam bening matanya yang terakhir, para pencinta melihat cermin rahasia: bahwa dalam kematian, seorang sufi bisa lebih hidup dari seribu orang yang hidup. Bahwa dalam penderitaan, cinta kepada Tuhan bisa menemukan puncak-puncaknya yang paling murni—di tempat di mana kata-kata berhenti, dan hanya diam yang mampu berbicara.

 

Beberapa saat sebelum eksekusi mati dimulai, Al Hallaj berdo’a:

 

إلهِى هَؤُلاَءِ عِبَادُكَ قَدِ اجْتَمَعُوا لِقَتْلِى تَعَصُّبًا لِدِينِكَ وَتَقَرُّبًا اِلَيْكَ, فَاغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ لَوْ كَشَفْتَ لَهُمْ مَا كَشَفْتَ لِى لَمَا فَعَلُوا مَا فَعَلُوا. وَلَوْ سَتَرْتَ عَنِّى مَا سَتَرْتَ عَنْهُمْ لَمَا ابْتُلِيْتُ مَا ابْتُلِيْتُ. فَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تَفْعَلُ وَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تُرِيْدُ.


“O, Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah berkumpul untuk membunuhku, karena semangat yang menggebu-gebu untuk membela agama-Mu dan ingin dekat dengan-Mu. Ampunilah mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada mereka seperti apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Andai saja Engkau membutakan mata-hatiku, seperti membutakan mata-hati mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti ini. Hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau putuskan, dan hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.

 

Nyala yang Kembali ke Api

Al-Hallaj adalah bara cinta yang menyala dalam gelap zaman. Ia bukan sekadar sufi, melainkan pecinta yang mabuk, yang rela digantung di tiang eksekusi demi cinta-Nya yang begitu dalam kepada Sang Kekasih: Allah SWT. Seperti dikisahkan oleh Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, “Al Hallaj bukan hanya seorang mistikus, tapi juga martir yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada cinta Ilahi, sampai titik di mana identitas pribadinya lenyap dalam Ketuhanan.”

 

Dalam jerit sunyi yang menggema melampaui waktu, ia melantunkan kata-kata yang membuat langit menahan nafas: “Ana al-Haqq!” – Akulah Kebenaran. Suara itu benar-benar mengguncang ortodoksi. Sebuah konsep bernama ḥulūl, yakni penjelmaan atau "inkarnasi" Tuhan dalam diri manusia, dikenal di kemudian hari. Tapi hulul bukan sekadar teori metafisika, melainkan pengalaman ruhani seorang sufi, ketika sang pecinta menyatu dengan Yang Dicinta, hingga batas-batas lenyap, hingga "aku" menjadi "Dia".

 

Dalam syair-syairnya yang memabukkan, Al Hallaj menulis:

 

أنا من أهوى و من أهوى أنا # نحن روحاني حللنا بدنا

فإذا أبصرتني أبصرته # فإذا أبصرته أبصرتنا

 

“Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia yang kucinta adalah aku. 

Kami adalah dua ruh yang melebur dalam satu.

Bila kau memandangku, kau memandang-Nya.

Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami”

 

Para fuqaha mengutuknya, para penguasa mengkhawatirkannya, tapi para sufi meneteskan air mata: karena mereka tahu, Al Hallaj telah sampai pada maqam fana yang hakiki, ketika eksistensi pribadi luluh dalam Keberadaan Mutlak. Ibn Arabi, sang mahaguru wahdatul wujud, berkata: “Al Hallaj dibunuh bukan karena mengatakan ‘Ana al-Haqq’, tetapi karena orang-orang tidak memahaminya.” Atau, seperti dikatakan Louis Massignon, karena alasan politik yang membuatnya harus meregang nyawa.


Sahl Al Tustari, Al Junaid dan Al Syibli sahabatnya, seperti dikutip KH. Husain Muhammad dalam Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, terpana dan shock berat. “Oh, Al Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita saja. Mereka belum mengerti dan belum sampai.”

 

Warisan Al Hallaj bukan hanya darah yang tumpah di tiang gantungan Baghdad. Ia meninggalkan “Kitab al-Tawasin”, karya yang berlapis makna dan penuh simbol mistik. Dalam bagian "Tasin al-Azal", ia melukis kemegahan Iblis yang memilih tidak sujud karena hanya ingin menyembah satu Tuhan — tafsir cinta yang kontroversial namun menggugah.

 

Kitab ini bukan risalah logika, melainkan madah cinta yang melompat dari huruf ke langit. Seorang orientalis, Louis Massignon—yang sepanjang hidupnya mencintai Al Hallaj sebagaimana Al Hallaj mencintai Tuhan—menulis dalam The Passion of Al-Hallaj, “Setiap kata dalam karya Al Hallaj adalah luka dan doa. Ia menulis bukan dengan tinta, tapi dengan darah cintanya.”

 

Kisah Al Hallaj adalah tragedi yang agung, opera kosmik tentang manusia yang terlalu mencintai Tuhan. Ia mati dieksekusi bukan karena mengaku Tuhan, tetapi karena menelanjangi cinta yang terlalu murni untuk diterima dunia. Dalam malam-malam saat di penjara, ia masih bersyair, masih tersenyum, karena ia tahu: tiang gantungan bukan akhir, tapi gerbang menuju pelukan Kekasih.

 

Jalaluddin Rumi, sang matahari dari Balkh, berkata tentang Hallaj: “Siapa yang mengerti rahasia ‘Ana al-Haqq’ akan meletakkan kepalanya di atas palu hukum,  karena di sanalah cinta menemukan bentuk yang paling sempurna.” Bagi Rumi, “Ana Al Haqq” adalah puncak kerendahan hati seorang Al Hallaj seperti ia rekam dalam Fihi Ma Fihi berikut:

 

يقول أنا الحق: أنا عدم وهو الكل, لا وجود إلا الله, أنا بكليتي عدم, أنا لست شيئا

Ucapan “Ana Al Haqq” sama dengan “Ana ‘Adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa Al Kulliyyah). Tak ada eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai’an” (aku bukanlah apa-apa).

 

Al Hallaj tidak pernah sekalipun menyatakan dirinya sebagai Tuhan—sebagaimana telah lama disalahpahami oleh lidah-lidah yang tergesa menafsir, dan hati-hati yang enggan menenggelamkan diri ke kedalaman samudra makna. Ia tidak pernah mengaku sebagai Rabb (Tuhan), melainkan ia larut dalam Cinta-Nya, luluh dalam Lautan Ketunggalan yang tak bertepi.

 

Apa yang diucapkannya—"Ana al-Haqq"—bukanlah teriakan kesombongan seorang manusia yang hendak menyetarakan diri dengan Sang Pencipta, tetapi rintihan makhluk fana yang telah terbakar seluruh dirinya oleh Cahaya Yang Mahasuci, hingga yang tersisa hanyalah pantulan-Nya semata. Seperti cermin yang bersinar karena menangkap cahaya matahari, bukan karena ia memiliki cahaya itu sendiri.

 

Dalam syairnya yang tenang namun mengguncang, Al Hallaj pernah berkata:

 

أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا

“Aku adalah rahasia Yang Mahabesar, dan bukanlah Yang Mahabenar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.”

 

Bagi para arif, kata-kata Al Hallaj bukan untuk diperdebatkan di ruang-ruang dingin para hakim duniawi. Ia adalah bahasa langit, yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang hatinya telah dibakar oleh rindu. Maka, jika kau mendengarnya berkata “Ana al-Haqq”, jangan buru-buru menghunus pedang fatwa. Tunggulah sejenak, dan dengarkan dengan mata batinmu. Karena bisa jadi, itu bukan suara Al Hallaj—melainkan gema dari Kekasih yang sedang berseru lewat lidah kekasih-Nya.

 

Al Hallaj kini telah tiada, tubuhnya terurai dalam debu Baghdad. Tapi kata-katanya hidup, membakar jiwa-jiwa yang merindukan Tuhan. Ia adalah martir suci dalam altar cinta, syahid dalam peperangan melawan ego dan dunia. Dalam setiap getar tasbih yang tulus, dalam setiap airmata yang jatuh saat malam sunyi, Al Hallaj hidup. Ia adalah burung yang terbakar demi terbang menuju matahari, dan justru dalam terbakar itu, ia mencapai kebebasan.

 

Tidak ada komentar: