Oleh Mohamad Asrori Mulky
Fajar belum juga
sempurna menyingsing, ketika angin pagi menelusup sunyi di lorong-lorong pasar
yang beku oleh ketakutan. Kota Baghdad kala itu, tepatnya 27 Maret 933 M,
benar-benar hening tak bersuara, seakan waktu menahan napasnya demi menyaksikan
drama agung yang akan menggetarkan langit dan bumi, kelak dicatat dalam tinta
sejarah tentang nyala cinta yang menyebut namanya sendiri, namun harus
dieksekusi di tiang gantungan.
Di antara
dinding-dinding yang menghitam oleh kabut sejarah yang dikendalikan ulama
ortodoks, seorang lelaki berjubah putih melangkah perlahan. Wajahnya tenang namun
teduh, matanya tajam namun membara. Dialah Husayn ibn Manshur al-Hallaj,
sang kekasih Tuhan yang akan dipersiapkan untuk perjamuan terakhirnya. Ia akan
dihukum gantung sebagai martir oleh tuduhan yang sama sekali tidak masuk akal.
Ia tidak
memberontak. Tidak meratap. Tidak pula berkhutbah sebagaimana lazimnya para
sufi yang dituduh sesat. Ia berjalan seakan menari dalam diam, seolah
langkahnya adalah ayat-ayat sunyi yang mengalir dari Lauh al-Mahfuz. Di
sekelilingnya, pasukan bersenjata mendampingi tanpa kata. Umat ramai berkerumun
di kejauhan, mulut mereka terkunci oleh keraguan, oleh rasa takut pada
penguasa, atau mungkin oleh kekaguman yang tak sanggup mereka jelaskan.
Di hadapan
tiang gantungan yang siap menyergap, langit menggantung kelabu. Burung-burung
enggan terbang, dan waktu seakan merunduk dalam keheningan suci. Dari arah
berlawanan, datanglah Abu al-Harits al-Sayyaf—algojo bertubuh kekar dan kasar,
wajahnya keras bak batu karang, matanya seperti baja dingin yang tak mengenal
ampun. Ia melangkah pongah, mengira dirinya akan mengeksekusi seorang durjana. Padahal
ia adalah sang pecinta, kekasih Tuhan yang nyalanya kembali ke Api.
Namun di
hadapan Al Hallaj, kesombongan dan kepongahan sang algojo ibarat debu di
hadapan mahkota raja. Ia mengangkat tangannya, lalu menampar pipi sang sufi
dengan kasar. Seketika darah mengucur dari hidung Al Hallaj. Jubahnya, putih
seperti bulan, kini berwarna merah saga. Tapi ia tidak berseru. Tidak membalas.
Ia hanya menunduk, lalu perlahan bersujud di atas tanah yang dingin dan
berkata, dengan suara lirih namun mengguncang arasy:
اِلهِى
اَصْبَحْتُ فِى دَارِ الرَّغَائِبِ أَنْظُرُ اِلَى الْعَجَائِبِ
“Tuhanku, kini aku telah berada
di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan”.
Lalu
ia meneruskan: “Ya Ilahi, di tengah arus darah ini, aku tidak memohon
keselamatan dari mereka yang menganiayaku, melainkan keselamatan bagi mereka
dari murka-Mu. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku tidak
melihat kecuali wajah-Mu dalam diri mereka.”
Langit pun
tampak mengerutkan keningnya. Para saksi mencatat bahwa bumi bergetar halus
kala sujud itu terjadi, seolah turut bersujud bersama tubuh yang akan
dipatahkan oleh kekuasaan dan kesombongan. Dalam luka, Al Hallaj tetap
bercahaya. Ia tidak gentar apalagi gemetar. Dalam cercaan, ia tetap bercinta.
Ia bukan lagi tubuh yang akan digantung, melainkan nyala yang hendak kembali ke
Api Asal-Nya.
Dan dalam
bening matanya yang terakhir, para pencinta melihat cermin rahasia: bahwa dalam
kematian, seorang sufi bisa lebih hidup dari seribu orang yang hidup. Bahwa
dalam penderitaan, cinta kepada Tuhan bisa menemukan puncak-puncaknya yang
paling murni—di tempat di mana kata-kata berhenti, dan hanya diam yang mampu
berbicara.
Beberapa saat sebelum eksekusi mati dimulai, Al Hallaj berdo’a:
إلهِى
هَؤُلاَءِ عِبَادُكَ قَدِ اجْتَمَعُوا لِقَتْلِى تَعَصُّبًا لِدِينِكَ
وَتَقَرُّبًا اِلَيْكَ, فَاغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ لَوْ كَشَفْتَ لَهُمْ مَا
كَشَفْتَ لِى لَمَا فَعَلُوا مَا فَعَلُوا. وَلَوْ سَتَرْتَ عَنِّى مَا سَتَرْتَ
عَنْهُمْ لَمَا ابْتُلِيْتُ مَا ابْتُلِيْتُ. فَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تَفْعَلُ
وَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تُرِيْدُ.
“O, Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah berkumpul
untuk membunuhku, karena semangat yang menggebu-gebu untuk membela agama-Mu dan
ingin dekat dengan-Mu. Ampunilah mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada
mereka seperti apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak
akan melakukannya. Andai saja Engkau membutakan mata-hatiku, seperti membutakan
mata-hati mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti ini. Hanya
bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau putuskan, dan hanya bagi-Mu lah
segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.
Nyala yang Kembali ke Api
Al-Hallaj adalah bara cinta yang menyala
dalam gelap zaman. Ia bukan sekadar sufi, melainkan pecinta yang mabuk, yang
rela digantung di tiang eksekusi demi cinta-Nya yang begitu dalam kepada Sang
Kekasih: Allah SWT. Seperti dikisahkan oleh Annemarie Schimmel dalam Mystical
Dimensions of Islam, “Al Hallaj bukan hanya seorang mistikus, tapi juga martir
yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada cinta Ilahi, sampai titik di mana
identitas pribadinya lenyap dalam Ketuhanan.”
Dalam jerit sunyi yang menggema melampaui
waktu, ia melantunkan kata-kata yang membuat langit menahan nafas: “Ana
al-Haqq!” – Akulah Kebenaran. Suara itu benar-benar mengguncang ortodoksi.
Sebuah konsep bernama ḥulūl, yakni penjelmaan atau "inkarnasi"
Tuhan dalam diri manusia, dikenal di kemudian hari. Tapi hulul bukan
sekadar teori metafisika, melainkan pengalaman ruhani seorang sufi, ketika sang
pecinta menyatu dengan Yang Dicinta, hingga batas-batas lenyap, hingga
"aku" menjadi "Dia".
Dalam syair-syairnya yang memabukkan, Al
Hallaj menulis:
أنا من أهوى و من أهوى أنا #
نحن روحاني حللنا بدنا
فإذا أبصرتني أبصرته # فإذا
أبصرته أبصرتنا
“Aku adalah Dia yang kucinta, dan
Dia yang kucinta adalah aku.
Kami adalah dua ruh yang melebur
dalam satu.
Bila kau memandangku, kau
memandang-Nya.
Bila kau memandang-Nya, kau
memandang Kami”
Para fuqaha mengutuknya, para penguasa
mengkhawatirkannya, tapi para sufi meneteskan air mata: karena mereka tahu, Al Hallaj
telah sampai pada maqam fana yang hakiki, ketika eksistensi pribadi
luluh dalam Keberadaan Mutlak. Ibn Arabi, sang mahaguru wahdatul wujud,
berkata: “Al Hallaj dibunuh bukan karena mengatakan ‘Ana al-Haqq’, tetapi
karena orang-orang tidak memahaminya.” Atau, seperti dikatakan Louis Massignon,
karena alasan politik yang membuatnya harus meregang nyawa.
Sahl Al Tustari, Al Junaid dan Al Syibli
sahabatnya, seperti dikutip KH. Husain Muhammad dalam Mengaji Pluralisme
kepada Mahaguru Pencerahan, terpana dan shock berat. “Oh, Al Hallaj, seharusnya
kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata
itu menjadi milik hati kita saja. Mereka belum mengerti dan belum sampai.”
Warisan Al Hallaj bukan hanya darah yang
tumpah di tiang gantungan Baghdad. Ia meninggalkan “Kitab al-Tawasin”,
karya yang berlapis makna dan penuh simbol mistik. Dalam bagian "Tasin
al-Azal", ia melukis kemegahan Iblis yang memilih tidak sujud karena
hanya ingin menyembah satu Tuhan — tafsir cinta yang kontroversial namun
menggugah.
Kitab ini bukan risalah logika, melainkan
madah cinta yang melompat dari huruf ke langit. Seorang orientalis, Louis
Massignon—yang sepanjang hidupnya mencintai Al Hallaj sebagaimana Al Hallaj
mencintai Tuhan—menulis dalam The Passion of Al-Hallaj, “Setiap kata
dalam karya Al Hallaj adalah luka dan doa. Ia menulis bukan dengan tinta, tapi
dengan darah cintanya.”
Kisah Al Hallaj adalah tragedi yang agung,
opera kosmik tentang manusia yang terlalu mencintai Tuhan. Ia mati dieksekusi bukan
karena mengaku Tuhan, tetapi karena menelanjangi cinta yang terlalu murni untuk
diterima dunia. Dalam malam-malam saat di penjara, ia masih bersyair, masih
tersenyum, karena ia tahu: tiang gantungan bukan akhir, tapi gerbang menuju
pelukan Kekasih.
Jalaluddin Rumi, sang matahari dari Balkh,
berkata tentang Hallaj: “Siapa yang mengerti rahasia ‘Ana al-Haqq’ akan
meletakkan kepalanya di atas palu hukum,
karena di sanalah cinta menemukan bentuk yang paling sempurna.” Bagi
Rumi, “Ana Al Haqq” adalah puncak kerendahan hati seorang Al Hallaj seperti ia
rekam dalam Fihi Ma Fihi berikut:
يقول أنا الحق: أنا عدم وهو
الكل, لا وجود إلا الله, أنا بكليتي عدم, أنا لست شيئا
Ucapan “Ana Al Haqq” sama dengan
“Ana ‘Adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa Al
Kulliyyah). Tak ada eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku
adalah tiada. “Ana Lastu Syai’an” (aku bukanlah apa-apa).
Al Hallaj tidak
pernah sekalipun menyatakan dirinya sebagai Tuhan—sebagaimana telah lama
disalahpahami oleh lidah-lidah yang tergesa menafsir, dan hati-hati yang enggan
menenggelamkan diri ke kedalaman samudra makna. Ia tidak pernah mengaku sebagai
Rabb (Tuhan), melainkan ia larut dalam Cinta-Nya, luluh dalam Lautan
Ketunggalan yang tak bertepi.
Apa yang
diucapkannya—"Ana al-Haqq"—bukanlah teriakan kesombongan
seorang manusia yang hendak menyetarakan diri dengan Sang Pencipta, tetapi
rintihan makhluk fana yang telah terbakar seluruh dirinya oleh Cahaya
Yang Mahasuci, hingga yang tersisa hanyalah pantulan-Nya semata. Seperti cermin
yang bersinar karena menangkap cahaya matahari, bukan karena ia memiliki cahaya
itu sendiri.
Dalam syairnya
yang tenang namun mengguncang, Al Hallaj pernah berkata:
أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
“Aku adalah rahasia Yang Mahabesar,
dan bukanlah Yang Mahabenar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka
bedakanlah antara kami.”
Bagi para arif,
kata-kata Al Hallaj bukan untuk diperdebatkan di ruang-ruang dingin para hakim
duniawi. Ia adalah bahasa langit, yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang
hatinya telah dibakar oleh rindu. Maka, jika kau mendengarnya berkata “Ana
al-Haqq”, jangan buru-buru menghunus pedang fatwa. Tunggulah sejenak, dan
dengarkan dengan mata batinmu. Karena bisa jadi, itu bukan suara Al Hallaj—melainkan
gema dari Kekasih yang sedang berseru lewat lidah kekasih-Nya.
Al Hallaj kini telah tiada, tubuhnya terurai
dalam debu Baghdad. Tapi kata-katanya hidup, membakar jiwa-jiwa yang merindukan
Tuhan. Ia adalah martir suci dalam altar cinta, syahid dalam peperangan melawan
ego dan dunia. Dalam setiap getar tasbih yang tulus, dalam setiap airmata yang
jatuh saat malam sunyi, Al Hallaj hidup. Ia adalah burung yang terbakar demi
terbang menuju matahari, dan justru dalam terbakar itu, ia mencapai kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar