Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di antara gemuruh suara pembaruan Islam
Indonesia, tiga sosok telah lama menjadi mercusuar yang hingga kini nama mereka
sering kali dikenang: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, di
lorong-lorong sunyi pemikiran, dan di antara lembaran-lembaran catatan yang
lebih banyak berbisik daripada berseru, ada satu nama yang tak boleh kita hilangkan
dalam renungan sejarah pemikiran Islam Indonesia, yaitu Ahmad Wahib.
Ia adalah nyala yang tak menyala dengan gegap, tetapi membakar dalam pribadi yang sunyi. Ia adalah anak zaman yang gelisah, yang enggan tunduk pada dogma tanpa tanya, yang merayakan setiap renungan sebagai ziarah menuju kebenaran. Ia, dengan segala kegelisahannya, menjelma menjadi potret seorang pencari yang tak pernah lelah menyusuri lorong-lorong keimanan dan rasionalitas. Ia bukan pemikir yang mengekor, melainkan api yang menyala dalam malam yang gelap, membakar sekat-sekat kebekuan berpikir yang dikultuskan.
Seluruh percikan pemikirannya ia catat dalam Pergolakan
Pemikiran Islam, sebuah kitab renungan yang lebih dari sekadar memoar,
tetapi juga jeritan dari seorang jiwa yang mendamba kebebasan berpikir. "Tuhan
belum selesai didekati," tulisnya, seakan ia ingin berkata bahwa
pencarian akan kebenaran adalah perjalanan yang tak berujung. Baginya,
keyakinan bukanlah bangunan yang selesai dibangun, melainkan rumah yang harus
terus direnovasi agar tetap hidup dalam setiap zaman. Ia mempertanyakan,
menggugat, tetapi tak pernah meninggalkan jejaknya dari medan iman.
Dalam catatan hariannya itu, yang kemudian
menjelma menjadi kitab perenungan, Ahmad Wahib menampilkan wajah Islam yang
gelisah, yang tak puas pada jawaban-jawaban usang, yang terus menggali makna
dari setiap serpihan wahyu. Ia menggugat ketidaktulusan, menantang kedangkalan,
dan menghidupkan kembali semangat bertanya yang menjadi inti dari pencarian
intelektual sejati. Baginya, iman tidak boleh membatu; ia harus berdenyut,
harus berdialog dengan realitas, harus siap dipertanyakan agar tetap bernyawa. Iman
harus bertegur sapa dengan akal.
Namun, kegelisahan yang dirasakannya itu bukanlah
tanda keingkaran, melainkan cinta yang mendalam. Seperti Layla yang dipuja Majnun
pada setiap waktu, Ahmad Wahib mencintai Islam dengan cara yang mungkin tak
dipahami oleh mereka yang hanya ingin mengawetkan keyakinan dalam bejana
kebekuan. Baginya, Tuhan bukanlah monumen yang bisu, melainkan suara yang terus
berbisik dalam setiap hembusan angin, dalam setiap pertanyaan yang mengguncang
batin. "Tuhan janganlah dibuat untuk kepentingan manusia,"
tulisnya, sebuah seruan yang mengguncang, sebuah gugatan yang menuntut
kejujuran dalam beragama.
Greg Barton, dalam “Gagasan Islam Liberal
di Indonesia”, menyebut Ahmad Wahib sebagai salah satu pemikir yang berani
membongkar tembok konservatisme. Ia melihat Ahmad Wahib sebagai sosok yang
menolak kemapanan berpikir, yang memaknai Islam bukan sebagai doktrin mati,
tetapi sebagai ruh yang terus bergerak, menari di antara realitas sosial dan
tuntutan zaman. Bagi Greg Barton, Ahmad Wahib adalah suara muda yang nyaring
dalam tradisi Islam Indonesia, suara yang kadang dianggap bising, tetapi justru
menjadi alarm bagi kebekuan tradisi yang dari masa ke masa jadi keyakinan yang
kukuh.
Dalam halaman-halaman catatan hariannya, Ahmad
Wahib menulis: "Kita harus berani menengok ke dalam, merobek selubung
yang menghalangi kita dari kenyataan." Ia mengajarkan bahwa iman
sejati lahir dari keberanian menanyakan segala hal, bahkan hal yang paling
sakral sekalipun. Baginya, Islam bukanlah penjara bagi akal, tetapi kebun luas
tempat pemikiran bebas tumbuh subur. Beragama haruslah dengan akal bukan
menaggalkannya. Ketika para nabi diberi wahyu sebagai sumber kebenaran, maka
manusia lain dianugerahi Tuhan akal sebagai pelita yang menerangi jiwa yang
resah tak tau arah.
Para tokoh pun menatap pemikiran Ahmad Wahib dengan
berbagai sorot pandang. Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sang lokomotif Islam
modern, melihat Wahib sebagai manifestasi dari Islam yang dinamis, Islam yang
tak takut pada perubahan, Islam yang berani menatap masa depan dengan mata
terbuka. Gus Dur, dengan kebijaksanaan khasnya, memahami Wahib sebagai anak
zaman yang menghidupkan kembali semangat kebebasan berpikir dalam Islam,
semangat yang telah lama ditindas oleh ketakutan akan perbedaan.
Seperti halnya pohon yang terus bergoyang
melawan angin, demikian pula Ahmad Wahib menghadapi badai penolakan dari banyak
penjuru. Ia dicemooh, dijauhi, bahkan dipandang sebagai ancaman bagi ketenangan
dogma. Namun, bukankah setiap pembaharu selalu dianggap asing di tanah
kelahirannya? Seperti Socrates yang harus menenggak racun, seperti Al-Hallaj
yang terhukum karena ucapannya, Wahib juga berjalan di jalan sunyi yang penuh
luka.
Tapi di sinilah keindahan seorang Ahmad
Wahib. Ia adalah puisi yang tak selesai ditulis, nyala api yang tak bisa
dipadamkan, gelombang yang terus bergulung tanpa akhir. Ia tidak menawarkan
jawaban, melainkan membuka pintu-pintu pertanyaan. Ia tidak membawa kebenaran
yang beku, tetapi mengajarkan bahwa kebenaran harus selalu diuji, direnungi,
dan diselami. Satu hal yang harus kita
yakini bahwa sejarah selalu mencatat bahwa setiap kebangkitan dimulai dari
kegelisahan? Bahwa setiap revolusi pemikiran lahir dari nyala api yang menolak
padam?
Dan kini, Ahmad Wahib telah tiada, namun
suaranya masih menggema dalam benak mereka yang berani berpikir. Di era ini,
ketika kebebasan berpikir sering dibayang-bayangi oleh bayang-bayang
ekstremisme dan dogmatisme baru, pemikirannya tetap menjadi mercusuar bagi
mereka yang haus akan kebenaran yang lebih luas. Dalam era digital, di mana
informasi mengalir deras namun sering kali dangkal, Ahmad Wahib mengajarkan
pentingnya refleksi mendalam dan keberanian untuk mempertanyakan yang sudah
mapan.
Pemikirannya adalah undangan untuk terus
merajut dialog antara iman dan akal, antara tradisi dan pembaruan, sehingga
Islam tetap menjadi cahaya yang membimbing, bukan sekadar warisan yang beku.
Kata-katanya masih hidup dalam jiwa mereka yang menolak diperbudak oleh
kejumudan. Ia adalah angin yang mengguncang, gelombang yang meruntuhkan tembok
keangkuhan dogma. Dan seperti api yang berkobar di malam gelap, ia telah
menerangi jalan bagi mereka yang berani mencari.
Maka, dalam riuh zaman yang semakin gemuruh,
suara Ahmad Wahib tetap menggema. Ia mengajarkan bahwa kegelisahan adalah tanda
kehidupan, bahwa iman dan akal bukanlah musuh, melainkan dua sayap yang harus
terbang bersama menuju cakrawala kebenaran. Ia adalah pribadi yang selalu
gelisah, dan dalam kegelisahannya itulah, ia terus mencari seperti yang ia
tulis dalam catatan hariannya:
“Aku bukan Hatta, bukan Soekarno,
bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan...aku
bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari,
menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus
menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakaratul maut!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar