Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 13 April 2025

Ahmad Wahib: Pribadi yang Selalu Gelisah


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di antara gemuruh suara pembaruan Islam Indonesia, tiga sosok telah lama menjadi mercusuar yang hingga kini nama mereka sering kali dikenang: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).  Namun, di lorong-lorong sunyi pemikiran, dan di antara lembaran-lembaran catatan yang lebih banyak berbisik daripada berseru, ada satu nama yang tak boleh kita hilangkan dalam renungan sejarah pemikiran Islam Indonesia, yaitu Ahmad Wahib.

 

Ia adalah nyala yang tak menyala dengan gegap, tetapi membakar dalam pribadi yang sunyi. Ia adalah anak zaman yang gelisah, yang enggan tunduk pada dogma tanpa tanya, yang merayakan setiap renungan sebagai ziarah menuju kebenaran. Ia, dengan segala kegelisahannya, menjelma menjadi potret seorang pencari yang tak pernah lelah menyusuri lorong-lorong keimanan dan rasionalitas. Ia bukan pemikir yang mengekor, melainkan api yang menyala dalam malam yang gelap, membakar sekat-sekat kebekuan berpikir yang dikultuskan.

 

Seluruh percikan pemikirannya ia catat dalam Pergolakan Pemikiran Islam, sebuah kitab renungan yang lebih dari sekadar memoar, tetapi juga jeritan dari seorang jiwa yang mendamba kebebasan berpikir. "Tuhan belum selesai didekati," tulisnya, seakan ia ingin berkata bahwa pencarian akan kebenaran adalah perjalanan yang tak berujung. Baginya, keyakinan bukanlah bangunan yang selesai dibangun, melainkan rumah yang harus terus direnovasi agar tetap hidup dalam setiap zaman. Ia mempertanyakan, menggugat, tetapi tak pernah meninggalkan jejaknya dari medan iman.

 

Dalam catatan hariannya itu, yang kemudian menjelma menjadi kitab perenungan, Ahmad Wahib menampilkan wajah Islam yang gelisah, yang tak puas pada jawaban-jawaban usang, yang terus menggali makna dari setiap serpihan wahyu. Ia menggugat ketidaktulusan, menantang kedangkalan, dan menghidupkan kembali semangat bertanya yang menjadi inti dari pencarian intelektual sejati. Baginya, iman tidak boleh membatu; ia harus berdenyut, harus berdialog dengan realitas, harus siap dipertanyakan agar tetap bernyawa. Iman harus bertegur sapa dengan akal.

 

Namun, kegelisahan yang dirasakannya itu bukanlah tanda keingkaran, melainkan cinta yang mendalam. Seperti Layla yang dipuja Majnun pada setiap waktu, Ahmad Wahib mencintai Islam dengan cara yang mungkin tak dipahami oleh mereka yang hanya ingin mengawetkan keyakinan dalam bejana kebekuan. Baginya, Tuhan bukanlah monumen yang bisu, melainkan suara yang terus berbisik dalam setiap hembusan angin, dalam setiap pertanyaan yang mengguncang batin. "Tuhan janganlah dibuat untuk kepentingan manusia," tulisnya, sebuah seruan yang mengguncang, sebuah gugatan yang menuntut kejujuran dalam beragama.

 

Greg Barton, dalam “Gagasan Islam Liberal di Indonesia”, menyebut Ahmad Wahib sebagai salah satu pemikir yang berani membongkar tembok konservatisme. Ia melihat Ahmad Wahib sebagai sosok yang menolak kemapanan berpikir, yang memaknai Islam bukan sebagai doktrin mati, tetapi sebagai ruh yang terus bergerak, menari di antara realitas sosial dan tuntutan zaman. Bagi Greg Barton, Ahmad Wahib adalah suara muda yang nyaring dalam tradisi Islam Indonesia, suara yang kadang dianggap bising, tetapi justru menjadi alarm bagi kebekuan tradisi yang dari masa ke masa jadi keyakinan yang kukuh.

 

Dalam halaman-halaman catatan hariannya, Ahmad Wahib menulis: "Kita harus berani menengok ke dalam, merobek selubung yang menghalangi kita dari kenyataan." Ia mengajarkan bahwa iman sejati lahir dari keberanian menanyakan segala hal, bahkan hal yang paling sakral sekalipun. Baginya, Islam bukanlah penjara bagi akal, tetapi kebun luas tempat pemikiran bebas tumbuh subur. Beragama haruslah dengan akal bukan menaggalkannya. Ketika para nabi diberi wahyu sebagai sumber kebenaran, maka manusia lain dianugerahi Tuhan akal sebagai pelita yang menerangi jiwa yang resah tak tau arah.

 

Para tokoh pun menatap pemikiran Ahmad Wahib dengan berbagai sorot pandang. Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sang lokomotif Islam modern, melihat Wahib sebagai manifestasi dari Islam yang dinamis, Islam yang tak takut pada perubahan, Islam yang berani menatap masa depan dengan mata terbuka. Gus Dur, dengan kebijaksanaan khasnya, memahami Wahib sebagai anak zaman yang menghidupkan kembali semangat kebebasan berpikir dalam Islam, semangat yang telah lama ditindas oleh ketakutan akan perbedaan.

 

Seperti halnya pohon yang terus bergoyang melawan angin, demikian pula Ahmad Wahib menghadapi badai penolakan dari banyak penjuru. Ia dicemooh, dijauhi, bahkan dipandang sebagai ancaman bagi ketenangan dogma. Namun, bukankah setiap pembaharu selalu dianggap asing di tanah kelahirannya? Seperti Socrates yang harus menenggak racun, seperti Al-Hallaj yang terhukum karena ucapannya, Wahib juga berjalan di jalan sunyi yang penuh luka.

 

Tapi di sinilah keindahan seorang Ahmad Wahib. Ia adalah puisi yang tak selesai ditulis, nyala api yang tak bisa dipadamkan, gelombang yang terus bergulung tanpa akhir. Ia tidak menawarkan jawaban, melainkan membuka pintu-pintu pertanyaan. Ia tidak membawa kebenaran yang beku, tetapi mengajarkan bahwa kebenaran harus selalu diuji, direnungi, dan diselami.  Satu hal yang harus kita yakini bahwa sejarah selalu mencatat bahwa setiap kebangkitan dimulai dari kegelisahan? Bahwa setiap revolusi pemikiran lahir dari nyala api yang menolak padam?

 

Dan kini, Ahmad Wahib telah tiada, namun suaranya masih menggema dalam benak mereka yang berani berpikir. Di era ini, ketika kebebasan berpikir sering dibayang-bayangi oleh bayang-bayang ekstremisme dan dogmatisme baru, pemikirannya tetap menjadi mercusuar bagi mereka yang haus akan kebenaran yang lebih luas. Dalam era digital, di mana informasi mengalir deras namun sering kali dangkal, Ahmad Wahib mengajarkan pentingnya refleksi mendalam dan keberanian untuk mempertanyakan yang sudah mapan.


Pemikirannya adalah undangan untuk terus merajut dialog antara iman dan akal, antara tradisi dan pembaruan, sehingga Islam tetap menjadi cahaya yang membimbing, bukan sekadar warisan yang beku. Kata-katanya masih hidup dalam jiwa mereka yang menolak diperbudak oleh kejumudan. Ia adalah angin yang mengguncang, gelombang yang meruntuhkan tembok keangkuhan dogma. Dan seperti api yang berkobar di malam gelap, ia telah menerangi jalan bagi mereka yang berani mencari.

 

Maka, dalam riuh zaman yang semakin gemuruh, suara Ahmad Wahib tetap menggema. Ia mengajarkan bahwa kegelisahan adalah tanda kehidupan, bahwa iman dan akal bukanlah musuh, melainkan dua sayap yang harus terbang bersama menuju cakrawala kebenaran. Ia adalah pribadi yang selalu gelisah, dan dalam kegelisahannya itulah, ia terus mencari seperti yang ia tulis dalam catatan hariannya:

 

“Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan...aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakaratul maut!”

Tidak ada komentar: