Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 12 April 2025

Sesudah Idul Fitri Pergi


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Idul fitri telah berlalu. Jalan-jalan kembali sepi dari gema takbir, meja-meja kembali kosong dari hantaran silaturahmi, dan langit tidak lagi dihiasi letupan kembang api yang menyemai harap. Hari-hari besar sering datang sebagai puncak, tapi sesungguhnya idul fitri adalah muara yang membuka jalan baru—bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan jiwa yang lebih sunyi dan mendalam.

 

Selama sebulan penuh, kita telah ditempa oleh Ramadhan: menahan lapar, amarah, kesia-siaan, dan segala bentuk ketergesaan diri. Lalu datanglah idul fitri sebagai kemenangan spiritual, penanda bahwa kita telah tiba di titik bersih, atau paling tidak, telah berusaha menuju ke sana. Tapi sesudahnya, pertanyaan paling penting justru lahir: apakah yang akan terjadi setelah semua ini berlalu?

 

Jalaluddin Rumi, penyair sufi ternama, menyampaikan dalam salah satu bait puisinya bahwa, “Usai kau bersihkan rumah jiwamu, jangan izinkan siapa pun mengotori lantainya dengan ego.” Ini adalah peringatan bahwa spiritualitas tidak berhenti pada ritual, melainkan pada penjagaan berkelanjutan terhadap kualitas batin yang telah diperoleh.

 

Dalam kehidupan spiritual, momentum tak boleh berhenti pada simbol. Idul fitri adalah simbol kemenangan, tapi makna sesungguhnya terletak pada keberlanjutan dari nilai-nilai Ramadhan dalam hari-hari berikutnya. Puasa telah selesai, tapi pengendalian diri tidak boleh selesai. Salat tarawih telah usai, namun keintiman dengan Tuhan seharusnya tidak ikut pergi. Kita telah saling bermaafan, tetapi kerja menjaga hati tetap saja harus diupayakan.

 

Hari-hari pasca-idul fitri adalah cermin bagi kesungguhan kita. Saat tak ada lagi suasana religius yang mendukung, saat masjid tak lagi seramai di bulan Ramadhan, dan ketika godaan dunia kembali hadir dalam bentuk-bentuk paling halus, di situlah terlihat siapa yang benar-benar menang.

 

Kita kembali bekerja, berdagang, berkendara, berinteraksi dengan hiruk-pikuk dunia. Dunia tidak menunggu kita menjaga kebeningan hati. Ia akan datang dengan segala kebisingan dan kepalsuan yang kerap mengintai kita. Maka, menjaga kebersihan jiwa setelah Idulfitri adalah tugas paling berat, karena dilakukan dalam zaman yang gemerlap tapi gamang, di tengah rutinitas yang menggoda untuk kembali pada pola-pola lama.

 

Fitrah yang kita rayakan bukanlah kondisi alami yang pasif, melainkan capaian spiritual yang menuntut upaya untuk terus dijaga. Seperti dikatakan oleh Ibn Athaillah, “Janganlah engkau bergembira hanya karena telah selesai berpuasa, tetapi bergembiralah jika engkau diterima.” Maka esensi kemenangan bukan pada selebrasi, melainkan pada perubahan diri.

 

Sesudah takbir usai, dunia kembali seperti semula. Tapi kita tidak boleh kembali seperti kita yang lama. Kita telah diberi kesempatan untuk memulai ulang, dan kesempatan itu tidak datang setiap hari. Maka menjaga ruh idul fitri dalam hari-hari biasa adalah bentuk ibadah tersunyi, sekaligus paling agung.

 

Sebagaimana Rabindranath Tagore pernah menulis, “Faith is the bird that feels the light when the dawn is still dark” (iman seumpama burung yang merasakan cahaya saat fajar masih diselimuti gelap). Maka iman yang lahir dari Ramadhan dan dirayakan di idul fitri, seharusnya tetap berkicau meski cahaya tidak lagi terang, dan langit kembali abu-abu.

 

Idulfitri telah pergi. Tapi nilainya belum. Ia tinggal, tersembunyi di dalam kita, menanti untuk diteguhkan dalam kerja, dalam kesabaran, dalam kejujuran, dalam kasih. Dan siapa tahu, dalam diam-diam itu, kita sedang benar-benar pulang menuju fitrah. Menuju kemenangan yang hakiki.

Tidak ada komentar: