Oleh Mohamad Asrori Mulky
Idul fitri telah berlalu. Jalan-jalan kembali
sepi dari gema takbir, meja-meja kembali kosong dari hantaran silaturahmi, dan
langit tidak lagi dihiasi letupan kembang api yang menyemai harap. Hari-hari besar
sering datang sebagai puncak, tapi sesungguhnya idul fitri adalah muara yang
membuka jalan baru—bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan jiwa yang lebih
sunyi dan mendalam.
Selama sebulan penuh, kita telah ditempa oleh
Ramadhan: menahan lapar, amarah, kesia-siaan, dan segala bentuk ketergesaan
diri. Lalu datanglah idul fitri sebagai kemenangan spiritual, penanda bahwa kita
telah tiba di titik bersih, atau paling tidak, telah berusaha menuju ke sana.
Tapi sesudahnya, pertanyaan paling penting justru lahir: apakah yang akan
terjadi setelah semua ini berlalu?
Jalaluddin Rumi, penyair sufi ternama,
menyampaikan dalam salah satu bait puisinya bahwa, “Usai kau bersihkan rumah
jiwamu, jangan izinkan siapa pun mengotori lantainya dengan ego.” Ini adalah
peringatan bahwa spiritualitas tidak berhenti pada ritual, melainkan pada
penjagaan berkelanjutan terhadap kualitas batin yang telah diperoleh.
Dalam kehidupan spiritual, momentum tak boleh
berhenti pada simbol. Idul fitri adalah simbol kemenangan, tapi makna
sesungguhnya terletak pada keberlanjutan dari nilai-nilai Ramadhan dalam
hari-hari berikutnya. Puasa telah selesai, tapi pengendalian diri tidak boleh
selesai. Salat tarawih telah usai, namun keintiman dengan Tuhan seharusnya
tidak ikut pergi. Kita telah saling bermaafan, tetapi kerja menjaga hati tetap saja
harus diupayakan.
Hari-hari pasca-idul fitri adalah cermin bagi
kesungguhan kita. Saat tak ada lagi suasana religius yang mendukung, saat
masjid tak lagi seramai di bulan Ramadhan, dan ketika godaan dunia kembali
hadir dalam bentuk-bentuk paling halus, di situlah terlihat siapa yang
benar-benar menang.
Kita kembali bekerja, berdagang, berkendara,
berinteraksi dengan hiruk-pikuk dunia. Dunia tidak menunggu kita menjaga
kebeningan hati. Ia akan datang dengan segala kebisingan dan kepalsuan yang
kerap mengintai kita. Maka, menjaga kebersihan jiwa setelah Idulfitri adalah
tugas paling berat, karena dilakukan dalam zaman yang gemerlap tapi gamang, di
tengah rutinitas yang menggoda untuk kembali pada pola-pola lama.
Fitrah yang kita rayakan bukanlah kondisi
alami yang pasif, melainkan capaian spiritual yang menuntut upaya untuk terus
dijaga. Seperti dikatakan oleh Ibn Athaillah, “Janganlah engkau bergembira
hanya karena telah selesai berpuasa, tetapi bergembiralah jika engkau
diterima.” Maka esensi kemenangan bukan pada selebrasi, melainkan pada
perubahan diri.
Sesudah takbir usai, dunia kembali seperti
semula. Tapi kita tidak boleh kembali seperti kita yang lama. Kita telah diberi
kesempatan untuk memulai ulang, dan kesempatan itu tidak datang setiap hari.
Maka menjaga ruh idul fitri dalam hari-hari biasa adalah bentuk ibadah
tersunyi, sekaligus paling agung.
Sebagaimana Rabindranath Tagore pernah
menulis, “Faith is the bird that feels the light when the dawn is still dark”
(iman seumpama burung yang merasakan cahaya saat fajar masih diselimuti gelap).
Maka iman yang lahir dari Ramadhan dan dirayakan di idul fitri, seharusnya
tetap berkicau meski cahaya tidak lagi terang, dan langit kembali abu-abu.
Idulfitri telah pergi. Tapi nilainya belum.
Ia tinggal, tersembunyi di dalam kita, menanti untuk diteguhkan dalam kerja,
dalam kesabaran, dalam kejujuran, dalam kasih. Dan siapa tahu, dalam diam-diam
itu, kita sedang benar-benar pulang menuju fitrah. Menuju kemenangan yang
hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar