Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 08 Februari 2008

Mengkaji Ulang Rencana Kunjungan Presiden ke Iran
Dimuat di Suara Pembaharuan (26 Desember 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Penulis adalah peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Dalam pertemuan empat mata antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di ruang kerja Presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (31/10), tersingkap kemudian oleh para wartawan bahwa isi pertemuan itu yang paling penting adalah keinginan Presiden untuk berkunjung ke Iran pada Desember 2007.

Kepada Wapres, Presiden menjelaskan pentingnya kunjungan ke Iran di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah. Kini, keinginan kunjungan itu sudah tidak relevan lagi karena isu Timur Tengah tidak lagi memanas. Oleh karena itu, para analis politik menyatakan agar rencana kunjungan ke Iran sebaiknya ditunda atau bahkan dibatalkan karena kehilangan relevansinya.

Namun, berbagai sumber politik di istana menyingkapkan kemungkinan lawatan presiden ke Teheran akan dilaksanakan karena konon akibat desakan inner circle presiden berhubung ada ''agenda'' lain. Agenda itu menyangkut kemungkinan rencana pembangunan kilang minyak di Banten, dimana pengusaha Iran dan konglomerat RI akan berpatungan bersama membangun kilang tersebut Di sini, muncul pertanyaan lagi, apakah kunjungan Presiden ke Iran itu riil untuk kepentingan rakyat atau justru untuk kepentingan sesaat oleh para konglomerat yang cuma bisa memanfaatkan kunjungan presiden untuk mencari keuntungan?

Iran adalah negeri yang pendapatan nasionalnya tinggi. GDP per kapita US$ 8.900 (2006) dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2006. Republik Islam Iran dengan ibu kota Teheran itu terdiri dari 30 provinsi dengan luas wilayah 1.648 km2 dan penduduk 65.397.521 jiwa (Juli 2007). Potensi pertanian Iran utamanya gandum, beras, serealia lainnya, biang gula, buah-buahan, kacang, kapuk, produk gandum, wool, dan caviar.

Total perdagangan Indonesia-Iran (untuk semua sektor) pada 2005 sebesar US$ 368.756.200, dengan ekspor Indonesia sebesar US$ 289.540.200 dan impor US$ 79.216.000, sehingga Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 210.324.200. Jumlah perdagangan pada 2005 merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir di mana pada 2005 telah terjadi peningkatan sebesar 42 persen dari 2004.

Perdagangan antara RI dan Iran pada 2006 sampai September mencapai US$ 293.486.200, naik sekitar 8.75 persen, dibandingkan 2005.

Produk pertanian Indonesia yang diekspor ke Iran utamanya sawit dan karet. Beberapa komoditas lain yang juga diekspor, yaitu kopi, teh kakao, buah- buahan (pisang, nanas), namun pangsa produk tersebut cukup kecil dibanding nilai impor Iran. Beberapa peluang pasar yang belum dimanfaatkan oleh Indonesia adalah peluang pasar produk mete, kayu manis, jahe dan rempah lainnya, produk susu, serta tanaman hias.

Teka-teki
Sejauh ini, memang masih ''teka-teki'' mengenai jadi tidaknya presiden berkunjung ke Teheran karena tidak adanya transparansi dan kejelasan informasi dari pihak istana. Dalam hal ini, sesuai iklim demokrasi, publik boleh meminta informasi selengkapnya mengapa presiden ingin berkunjung ke Teheran. Adakah pesan penting yang ingin disampaikan kepada Presiden Iran Ahmadinejad, misalnya? Ataukah hanya sekadar kunjungan sesaat yang hanya menguntungkan konglomerat?

Publik belum lupa bahwa sikap pemerintah yang mendukung Resolusi DK PBB No 1747 tentang persoalan nuklir Iran menuai protes keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Bahkan di DPR, Oktober lalu, lebih dari seratus orang telah menandatangani interpelasi mempertanyakan keputusan tersebut, meskipun kalau dikaji lebih jauh, resolusi yang didukung RI itu cukup berimbang dan adil. Bahkan, negara-negara Arab ikut mendukung, termasuk Qatar, yang menjadi anggota DK-PBB.

Mengapa mereka mendukung? Sebab, atas tekanan RI dalam resolusi tersebut berhasil dimasukkan klausul yang menyerukan dibentuknya wilayah Timur Tengah yang bebas senjata pemusnah massal berikut alat pengirimnya, yang otomatis termasuk bebas dari senjata nuklir Israel. Akibatnya, Amerika sempat meminta klausul tersebut dihapuskan dan memang sempat hilang sehari sebelum disahkan. Hanya, berkat kerja keras para diplomat RI di PBB, klausul itu masuk lagi.

Prinsip dasar dalam soal nuklir bagi RI adalah mendukung pengembangan nuklir untuk tujuan damai, tetapi menolak pengembangan nuklir untuk tujuan militer. Indonesia mendukung penuh posisi Iran yang ingin menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Namun, nyatanya, Iran tidak transparan terhadap IAEA, yakni Badan Pengawas Atom Internasional, yang memonitor perkembangan nuklir.

Iran adalah salah satu negara yang meneken perjanjian NPT (Non Proliferation Treaty) atau negara yang berjanji tidak akan menyebarkan senjata nuklir. Fakta bahwa Iran tidak tunduk dan tidak menurut atas inspeksi yang dilakukan IAEA, telah memaksa RI tidak punya alternatif lain kecuali mendukung Resolusi 1747. Mungkin, Presiden Yudhoyono ke Iran mau menjelaskan soal ini, sesuatu yang tidak urgen lagi.

Selain isu nuklir, masih ada isu lain, yakni soal tekanan para aktivis perburuhan RI terhadap Teheran agar berbagai organisasi serikat buruh di Iran tidak dikekang. Selain itu, media internasional sering menyingkapkan represi Teheran terhadap para aktivis HAM dan demokrasi di Iran. Masalah ini mungkin tidak akan disinggung presiden jika berkunjung ke Iran karena bisa dianggap mencampuri urusan dalam negeri Teheran.

Kembali kepada keinginan Presiden untuk berkunjung ke Teheran, penulis melihat urgensinya amat lemah dan tidak mendesak. Apalagi masih banyak masalah dalam negeri yang harus dibenahi dan diselesaikan, seperti, kemiskinan massal, pengangguran, korupsi, penuntasan skandal BLBI, diversifikasi dan konversi energi, melambungnya harga sembako, ketidakpastian hukum, buruknya infrastruktur, dan birokrasi yang lamban.

Mengenai isu korupsi, sungguh masalah ini merupakan yang paling pelik di era SBY-JK. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) 2007 menunjukkan, institusi kepolisian (4,2) merupakan lembaga paling korup di Indonesia. Disusul lembaga peradilan (4,1) serta parlemen dan partai politik (4,0). Dalam hal ini, Transparency International (TI) juga mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007 untuk Indonesia yang justru mengalami penurunan sebesar 0,1 dari IPK 2,4 tahun lalu menjadi 2,3. Meski bukan penurunan yang signifikan, hasil survei itu merupakan rapor merah pertama yang harus diberikan kepada SBY-JK karena reformasi birokrasi ternyata belum berjalan baik. Survei itu juga membuktikan masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum selama ini.

Belum efektif dan maksimalnya pemberantsan korupsi itu sungguh telah mengganjal pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi acap terjegal oleh perilaku "ujung tombak" presiden sendiri, yakni kepolisian dan lembaga peradilan, yang notabene inner circle atau lingkaran dalam kekuasaan.

Oleh karena itu, presiden sebaiknya berkonsentrasi di dalam negeri untuk memimpin reformasi ekonomi, politik, hukum, dan sosial di semua lini dengan inovasi dan kreasi agar tidak terus dituding hanya pintar tebar pesona oleh Megawati/PDI-Perjuangan dan oposisi lainnya.

Semua itu membutuhkan konsentrasi total presiden untuk memimpin perubahan agar taraf hidup rakyat minimal tidak terpuruk lagi, kalaupun tidak bisa lebih baik lagi, di tengah sempitnya waktu karena tinggal setahun (2008) masa jabatan yang efektif bisa didayagunakan.

Dengan melihat uraian di atas, maka kunjungan presiden ke Iran sangatlah tidak urgen dan tidak relevan. Pada akhirnya, keputusan Presiden soal kunjungan ke Iran ini bergantung pada hati nuraninya. Dan itu merupakan keputusan moral yang niscaya berdampak terhadap kepemimpinannya sebagai seorang negarawan di negeri yang rakyatnya menderita dirundung dampak gejolak harga minyak bumi.

Tidak ada komentar: