Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 05 Februari 2008

Tugas Intelektual Menuntaskan Reformasi
Dimuat di Suara Karya (
Senin, 3 September 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta

Tak terasa sudah sembilan tahun usia reformasi di negeri ini. Namun sampai detik ini belum terlihat tanda-tanda yang dapat dibanggakan masyarakat dari cita-cita ideal reformasi '98.

Masih segar dalam ingatan kita beberapa agenda reformasi yang telah ditawarkan para tokoh elite bangsa kita sejak tahun 1998, seperti pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), amendemen UUD 45, penghapusan dwifungsi ABRI, kesejahteraan rakyat, pengadilan Soeharto, penegakan hukum, dan penuntasan krisis di berbagai bidang. Akan tetapi, sejauh ini agenda reformasi tersebut telah mengalami kegagalan, karena pemerintah kita belum melaksanakan egenda reformasi tersebut secara tuntas, berarti, dan tepat guna.

Bila kita perhatikan, masih banyak masalah sosial yang kian hari kian menghimpit kehidupan bangsa kita. Kadar dan intensitasnya semakin menyesakkan dada hingga memperkecil palung harapan untuk menggapai masa depan yang lebih cerah. Mulai dari krisis ekonomi yang sampai saat ini belum jelas kapan terselesaikan, konflik horizontal yang terus memanas, meningkatnya tingkat korupsi dan kurangnya stabilitas politik dan keamanan dalam negeri kita. Semua itu menambah daftar kelam bangsa ini sebagai bangsa yang tak becus mengurusi rumah tangganya sendiri.

Parahnya, konflik sosial yang merebak di berbagai daerah sulit dideteksi, dan berada di luar jangkauan nalar. Bahkan, konflik dan kekerasan itu sulit diurai dan rumuskan secara jelas. Belum lagi soal KKN yang hampir tak tertangani oleh para aparat dan pemerintahan kita. Sejak reformasi, pemberantasan korupsi tak lebih hanya menjadi jargon populis lagi populer. Tapi, bukannya berkurang, korupsi malah merebak di sendi-sendi kehidupan. Fenomena sosial demikian ini meski sulit dicerna akal sehat, faktanya memang demikian, sulit untuk diungkap dan disingkap.

Kehidupan karut-marut politik juga menjadi tantangan berat bagi negeri ini. Dinamika politik yang dibingkai dalam kerangka modern sebagaimana yang telah dikumandangkan kebanyakan ilmuwan sosial, ternyata banyak membuahkan perilaku politik aneh dan membingungkan. Simak saja saat hari-hari menjelang pemilu akan dimulai, keanehan dalam fenomena dunia perpolitikan kita makin jelas dan nyata. Sulit dibayangkan dalam format politik modern dan rasional, masih ada sekelompok orang rela berdarah-darah dan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah partai dan tokoh politik yang diidamkannya. Sulit dicerna akal sehat jika berpartai bagaikan memeluk sebuah agama, sehingga pindah partai bagai bentuk kemurtadan yang mencemaskan.

Dalam kodisi negeri tak karuan, sebagai buah dari kegagalan reformasi '98, diperlukan figur yang dapat meretas kemelut tersebut sekaligus menguak misteri di balik fenomena asal kejadiannya. Dengan demikian, dengan kehadiran dan perannya negeri yang berada di ujung kehancuran ini bisa pulih kembali, paling tidak ada secercah harapan kita bisa menghirup udara segar kembali.

Figur tersebut adalah kaum intelektual. Karena merekalah yang mampu mengemban amanah berat ini: menuntaskan agenda reformasi yang kehilangan momentumnya ke arah kebangkitan, sekaligus meminimalisasi problem-problem sosial bangsa yang terus menggumpal.

Kaum intelektual bagaikan seorang dokter, ia akan mampu mendiagnosa "penyakit sosial" bangsa ini, mampu melacak penyebab penyakit itu timbul, apa risikonya bila hal itu dibiarkan dan bagaimana seharusnya penyakit itu dapat disembuhkan. Mereka paham betul bagaimana penyakit itu harus dicegah dan diobati agar tidak merambat dan merasuk ke sekujur tubuh dan tidak menimbulkan komplikasi yang akhirnya sulit dicegah. Andaipun komplikasi itu terjadi dan harus dicegah, seorang intelektual mengerti obat apa yang secara proporsional harus diberikan kepada pasien bersangkutan atau obat mana dulu yang diberikan, sehingga satu persatu atau dalam waktu yang hampir bersamaan penyakit itu dapat disembuhkan.

Namun demikian, upaya kaum intelektual di negeri ini tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan.

Hal ini karena pasien yang bernama Indonesia ini sudah terserang penyakit yang amat akut dan kronis, sehingga dengan sendirinya kaum intelektual akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa dengan cermat penyakit apa yang sesungguhnya dalam tubuh bangsa ini. Akibatnya mereka mengalami kesulitan untuk memberikan obat yang paling mujarab.

Dalam kenyataannya, tidak dapat dimungkiri, kaum inteletual kita sering mendapati penyakit yang kadang sulit dicerna akal sehat yang kedatangannya tak terduga sebelumnya, dan tak terdiagnosa dengan baik penyebabnya, maka wajar bila kemudian tidak ditemukan solusi akhirnya. Karena itu, jalan yang mungkin untuk dilalui kaum intelektual dalam kondisi seperti ini adalah menggandeng para penguasa negeri. Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa ini lebih banyak dikendalikan oleh penguasa-penguasa negeri dan masih didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri, mencari popularitas, jabatan, keserakahan diri serta tidak memikirkan nasib hidup orang banyak. Akibatnya, keadilan, kemerataan, dan kesejahteraan bersama yang merupakan janji-janji pemilu mereka menjadi terabaikan.

Dengan cara menggandeng penguasa bangsa dan menundukannya di bawah kendali kaum intelektual diharapkan para penguasa negeri dalam mengambil keputusannya tidak semata-mata berdasarkan pada pertimbangan subjektif kekuasaan itu sendiri, yang selalu berdimensi pendek dan berorientasi kekuasaan semata. Sebaliknya, dengan koalisi kaum intelektual dan penguasa, mereka dapat terus-menerus bernalar secara objektif dan bernalar secara kalkulasi ilmiah. Dengan demikian, pilihan-pilihannya memiliki justifikasi ilmiah, bukan justifikasi politis. Mementingkan kehidupan rakyat, bangsa dan negara.
Bukan malah sebaliknya, kaum intelektual takluk di hadapan penguasa. Idealismenya runtuh dan lebih tunduk pada tahta, jabatan dan iming-iming kekuasaan. Inilah pengkhianatan intelektual yang paling keji.

Dalam rangka memperingati sembilan tahun reformasi yang sampai saat ini dianggap telah kehilangan momentumnya, kaum intelektual harus menjadi juru bicara publik selama penguasa masih tak berdaya dan negara belum menjalankan fungsinya sebagai welfare state (negara kesejahteraan) dalam menuntaskan agenda besar reformasi. Dengan segala kapasitas dan kejeniusannya, mereka harus mampu mengartikulasikan kepentingan publik dan menerjemahkannya ke dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Karena akal, pikiran, teori dan konsep sudah saatnya untuk berkaki dan berpijak di atas Bumi Pertiwi untuk menuju jejak langkah masa depan bangsa yang lebih baik.

Tidak ada komentar: