Oleh Mohamad Asrori Mulky
Dalam sejarah keilmuan Islam, perubahan besar jarang
lahir dari teriakan. Ia datang dari ketekunan membaca, dari keberanian membuka
kitab, dari kesediaan menanggung sepi. KH. Imanuddin Utsman al-Bantani—yang
oleh sebagian murid dan pengamat dijuluki Sang Pembaharu—melangkah ke
medan itu dengan satu senjata yang sering diremehkan: ilmu yang telaten.
Ia tidak membawa pasukan. Tidak pula membangun menara
kekuasaan. Ia membawa teks—kitab demi kitab, sanad demi sanad, kronik demi
kronik—lalu membacanya dengan kesabaran seorang penjaga makna. Dari pembacaan
itulah, Kiai Imad mengajukan gugatan bernash terhadap sebuah bangunan
lama: klaim nasab Ba‘alwi dari Yaman yang selama berabad-abad diterima sebagai
kebenaran mapan. Gugatan itu bukan berupa caci, melainkan argumentasi; bukan
teriakan, melainkan catatan kaki.
Para penentangnya mengibaratkan Kiai Imad seperti
seekor domba yang bertanduk, yang nekat menyeruduk gunung besar Ba‘alwi—gunung
dogma, gunung otoritas, gunung Rabithah ‘Alawiyyah. “Tanduk kecil itu,” kata
mereka, “takkan mungkin merobohkan gunung, sebab tanduk itu akan patah terbelah sebelum gunung itu hancur.” Sebuah perumpamaan yang tampak
puitis, namun menyimpan keyakinan: bahwa kebenaran hanya milik yang besar, dan
ilmu hanya sah bila disahkan oleh kekuasaan simbolik. [Polemik Nasab di Keadaban yang Dangkal]
Tetapi sejarah kerap mencintai ironi. Yang luput
dipahami oleh para pengkritik adalah satu hal: ilmu tidak bekerja dengan
dentuman, melainkan dengan retakan. Ia tidak menghancurkan gunung dalam sehari;
ia mengganggu fondasi. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tak mudah
ditutup: tentang sumber primer, tentang kronologi, tentang kejanggalan sanad,
tentang kesenyapan bukti di mana seharusnya ada suara nyata.
Dalam filsafat ilmu, Thomas Kuhn menyebut momen ini
sebagai anomaly—ketika fakta-fakta kecil mulai tak cocok dengan
paradigma besar. Pada titik itu, bangunan lama tidak runtuh seketika, tetapi
kehilangan ketenangan. Gunung tetap berdiri, namun tak lagi utuh; ia menyimpan
retak yang tak bisa disangkal; fakta yang tak bisa diingkari.
Pembaharuan yang Datang dari Kitab
Kiai Imad berdiri dalam tradisi panjang para ulama
yang percaya bahwa kesetiaan tertinggi adalah pada kebenaran, bukan pada
silsilah. Dalam etos ini, pembaharuan (tajdīd) tidak selalu berarti
mencipta yang baru, melainkan mengembalikan yang lama pada kejernihannya.
Membongkar nasab palsu, bila terbukti palsu, bukanlah perusakan martabat; ia
adalah penyelamatan agama dari mitologi yang menutupi ilmu.
Akademisi seperti Wael B. Hallaq menegaskan bahwa
otoritas keilmuan Islam klasik dibangun di atas reasoned disagreement—perbedaan
pendapat yang beradab dan berbasis dalil. Maka, ketika kritik dijawab dengan
stigma, dan argumentasi dilawan dengan perumpamaan merendahkan, di situlah
tanda-tanda kemiskinan epistemik mulai terlihat.
Hari ini, perumpamaan itu berbalik arah. Bukan karena
tanduk menjadi besar, melainkan karena gunung ternyata rapuh. Retakan-retakan
itu kini terlihat oleh publik: diskusi terbuka, kajian kritis, telaah arsip,
dan keberanian generasi baru untuk bertanya. Gunung yang dulu tampak kokoh kini
dipahami sebagai tumpukan klaim yang sebagian berdiri di atas tradisi
penerimaan, bukan verifikasi.
Para peneliti sejarah Islam menekankan satu kaidah
sederhana: nasab adalah urusan data, bukan doa. Ia tunduk pada kaidah
sejarah—sumber primer, kontinuitas bukti, dan konsistensi kronologi. Ketika
kaidah-kaidah itu diabaikan, yang tersisa hanyalah keyakinan yang meminta
tunduk, bukan kebenaran yang mengundang dialog.
Mungkin benar: Kiai Imad adalah domba. Tetapi sejarah
menunjukkan, domba-domba ilmiah inilah yang sering mengubah arah zaman. Mereka
tidak menang karena keras, melainkan karena tekun. Mereka tidak merobohkan
gunung dengan kekuatan, melainkan dengan kesabaran membaca.
Dan bila kini gunung itu nyaris runtuh
berkeping-keping, itu bukan karena tanduk yang ganas, melainkan karena
kebenaran memiliki beratnya sendiri. Ia akan menekan retakan hingga struktur
yang rapuh tak lagi mampu berdiri.
Di titik ini, perjuangan Kiai Imad mengajarkan satu
pelajaran mendasar: bahwa dalam dunia keilmuan, yang paling ditakuti oleh dogma
bukanlah kebencian, melainkan pembacaan yang jujur. Sebab dari pembacaan
itulah, agama diselamatkan dari kepalsuan, dan ilmu dikembalikan pada
martabatnya—sebagai cahaya yang membebaskan, bukan mitos yang menundukkan.




