Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 24 Desember 2025

Tanduk yang Retakkan Gunung: Refleksi atas Perjuangan Ilmiah KH. Imanuddin Utsman al-Bantani

Rabu, Desember 24, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Dalam sejarah keilmuan Islam, perubahan besar jarang lahir dari teriakan. Ia datang dari ketekunan membaca, dari keberanian membuka kitab, dari kesediaan menanggung sepi. KH. Imanuddin Utsman al-Bantani—yang oleh sebagian murid dan pengamat dijuluki Sang Pembaharu—melangkah ke medan itu dengan satu senjata yang sering diremehkan: ilmu yang telaten.

 

Ia tidak membawa pasukan. Tidak pula membangun menara kekuasaan. Ia membawa teks—kitab demi kitab, sanad demi sanad, kronik demi kronik—lalu membacanya dengan kesabaran seorang penjaga makna. Dari pembacaan itulah, Kiai Imad mengajukan gugatan bernash terhadap sebuah bangunan lama: klaim nasab Ba‘alwi dari Yaman yang selama berabad-abad diterima sebagai kebenaran mapan. Gugatan itu bukan berupa caci, melainkan argumentasi; bukan teriakan, melainkan catatan kaki.

 

Para penentangnya mengibaratkan Kiai Imad seperti seekor domba yang bertanduk, yang nekat menyeruduk gunung besar Ba‘alwi—gunung dogma, gunung otoritas, gunung Rabithah ‘Alawiyyah. “Tanduk kecil itu,” kata mereka, “takkan mungkin merobohkan gunung, sebab tanduk itu akan patah terbelah sebelum gunung itu hancur.” Sebuah perumpamaan yang tampak puitis, namun menyimpan keyakinan: bahwa kebenaran hanya milik yang besar, dan ilmu hanya sah bila disahkan oleh kekuasaan simbolik. [Polemik Nasab di Keadaban yang Dangkal]

 

Tetapi sejarah kerap mencintai ironi. Yang luput dipahami oleh para pengkritik adalah satu hal: ilmu tidak bekerja dengan dentuman, melainkan dengan retakan. Ia tidak menghancurkan gunung dalam sehari; ia mengganggu fondasi. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tak mudah ditutup: tentang sumber primer, tentang kronologi, tentang kejanggalan sanad, tentang kesenyapan bukti di mana seharusnya ada suara nyata.

 

Dalam filsafat ilmu, Thomas Kuhn menyebut momen ini sebagai anomaly—ketika fakta-fakta kecil mulai tak cocok dengan paradigma besar. Pada titik itu, bangunan lama tidak runtuh seketika, tetapi kehilangan ketenangan. Gunung tetap berdiri, namun tak lagi utuh; ia menyimpan retak yang tak bisa disangkal; fakta yang tak bisa diingkari.

 

Pembaharuan yang Datang dari Kitab

Kiai Imad berdiri dalam tradisi panjang para ulama yang percaya bahwa kesetiaan tertinggi adalah pada kebenaran, bukan pada silsilah. Dalam etos ini, pembaharuan (tajdīd) tidak selalu berarti mencipta yang baru, melainkan mengembalikan yang lama pada kejernihannya. Membongkar nasab palsu, bila terbukti palsu, bukanlah perusakan martabat; ia adalah penyelamatan agama dari mitologi yang menutupi ilmu.

 

Akademisi seperti Wael B. Hallaq menegaskan bahwa otoritas keilmuan Islam klasik dibangun di atas reasoned disagreement—perbedaan pendapat yang beradab dan berbasis dalil. Maka, ketika kritik dijawab dengan stigma, dan argumentasi dilawan dengan perumpamaan merendahkan, di situlah tanda-tanda kemiskinan epistemik mulai terlihat.

 

Hari ini, perumpamaan itu berbalik arah. Bukan karena tanduk menjadi besar, melainkan karena gunung ternyata rapuh. Retakan-retakan itu kini terlihat oleh publik: diskusi terbuka, kajian kritis, telaah arsip, dan keberanian generasi baru untuk bertanya. Gunung yang dulu tampak kokoh kini dipahami sebagai tumpukan klaim yang sebagian berdiri di atas tradisi penerimaan, bukan verifikasi.

 

Para peneliti sejarah Islam menekankan satu kaidah sederhana: nasab adalah urusan data, bukan doa. Ia tunduk pada kaidah sejarah—sumber primer, kontinuitas bukti, dan konsistensi kronologi. Ketika kaidah-kaidah itu diabaikan, yang tersisa hanyalah keyakinan yang meminta tunduk, bukan kebenaran yang mengundang dialog.

 

Mungkin benar: Kiai Imad adalah domba. Tetapi sejarah menunjukkan, domba-domba ilmiah inilah yang sering mengubah arah zaman. Mereka tidak menang karena keras, melainkan karena tekun. Mereka tidak merobohkan gunung dengan kekuatan, melainkan dengan kesabaran membaca.

 

Dan bila kini gunung itu nyaris runtuh berkeping-keping, itu bukan karena tanduk yang ganas, melainkan karena kebenaran memiliki beratnya sendiri. Ia akan menekan retakan hingga struktur yang rapuh tak lagi mampu berdiri.

 

Di titik ini, perjuangan Kiai Imad mengajarkan satu pelajaran mendasar: bahwa dalam dunia keilmuan, yang paling ditakuti oleh dogma bukanlah kebencian, melainkan pembacaan yang jujur. Sebab dari pembacaan itulah, agama diselamatkan dari kepalsuan, dan ilmu dikembalikan pada martabatnya—sebagai cahaya yang membebaskan, bukan mitos yang menundukkan.

 

Minggu, 21 Desember 2025

Dari Menjaga ke Mencipta

Minggu, Desember 21, 2025 0



Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ada jargon yang terlalu lama kita ulangi hingga kehilangan daya gugatnya:المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح, menjaga tradisi lama yang baik,dan mengambil hal baru yang lebih baik.

Jargon ini terdengar seperti mantera yang bijak dan menenangkan. Namun justru karena itu, ia telah menjadi kalimat yang meninabobokan, bahkan ia kini, telah kehilangan daya magisnya di tengah zaman yang terus mencipta. Ia membuat kita merasa telah melakukan sesuatu, padahal sejatinya kita hanya bertahan—bukan bergerak.

 

Mustafa Akyol, dalam Reopening Muslim Minds, menelanjangi kemunduran umat Islam dengan nada getir sekaligus jujur. Ia menunjukkan bahwa penderitaan umat bukan semata akibat tekanan eksternal, melainkan lahir dari konflik teologis dan ideologis yang terus bersarang di tubuh Islam sendiri, diperparah oleh cara berpikir dogmatis, eksklusif, dan alergi terhadap perbedaan.

 

Ketika akal dikurung oleh klaim kebenaran tunggal, tradisi berubah menjadi benteng pertahanan, bukan jembatan peradaban. Di titik inilah Akyol seakan menyerukan sebuah jalan keluar: tradisi tidak cukup dijaga, ia harus dibuka kembali, dibongkar secara kritis, dan dibangun ulang agar mampu melahirkan horizon baru bagi umat.

 

Tanpa rekonstruksi cara berpikir dan keberanian mentransformasikan warisan intelektual Islam ke dalam bahasa zaman, umat akan terus terjebak dalam konflik internal, sementara dunia bergerak tanpa menunggu. Membangun peradaban baru, dengan demikian, bukanlah soal kembali ke masa lalu, melainkan menghidupkan kembali nalar Islam agar sanggup mencipta masa depan.

 

Menjaga, betapapun pentingnya, adalah bahasa orang yang takut kehilangan, bukan bahasa mereka yang berani mencipta. Dan peradaban tidak pernah dibangun oleh mereka yang sekadar menjaga. Peradaban lahir dari keberanian merombak, membangun ulang, dan melahirkan yang baru.

 

Karena itu, sudah waktunya kita menggeser orientasi epistemik dan peradaban menuju satu pernyataan yang lebih jujur dan lebih berdaya terhadap tantangan zaman: إعادةُ بناءِ القديمِ الصالح، وإنتاجُ الجديدِ الأَصلح, membangun ulang tradisi yang baik, dan memproduksi tradisi baru yang lebih baik.

 

Tradisi dan Artefak Museum

Dalam praktik keseharian umat, jargon lama telah menjelma menjadi etos pelestarian yang kering, nyaris tanpa makna. Tradisi diperlakukan seperti artefak museum: boleh dikagumi, tidak boleh disentuh. Kitab-kitab dibaca, tetapi tidak diolah; mazhab dihormati, tetapi tidak ditransformasikan; ulama dikutip, tetapi tidak dilanjutkan proyek intelektualnya.

 

Akibatnya, umat Islam menjadi ahli waris yang miskin: mewarisi istana pengetahuan, tetapi hidup di beranda sejarah tanpa kuasa membangunnya kembali. Kita menghafal kemenangan masa lalu seperti doa yang diulang tanpa penghayatan; kita menyebut nama-nama besar peradaban sebagaimana silsilah leluhur, tetapi gagal menurunkannya menjadi kerja intelektual yang hidup. Kita kaya akan memori—kitab, kisah, dan nostalgia—namun miskin produksi makna, miskin keberanian melahirkan gagasan baru.

 

Kita tahu apa yang telah terjadi, bahkan dengan detail yang nyaris sakral, tetapi gagap menjawab apa yang sedang berdenyut di hadapan kita. Sejarah dipuja sebagai altar, bukan dijadikan cermin. Masa lalu dijaga dengan kecemburuan, tetapi masa depan dibiarkan yatim tanpa panduan. Di titik inilah ingatan berubah menjadi beban: ia mengikat, bukan menggerakkan; menghibur, tetapi tidak membebaskan.

 

Pengetahuan berhenti menjadi pencarian, lalu menjelma menjadi pengulangan. Tradisi tidak lagi ditafsirkan, hanya dipertahankan. Teks tidak lagi diajak berdialog, melainkan dikunci dalam tafsir tunggal yang menolak waktu. Maka umat hidup dalam paradoks yang sunyi: merasa paling dekat dengan kebenaran, tetapi paling jauh dari kenyataan; merasa paling setia pada warisan, tetapi paling abai pada amanat kreatifnya.

 

Dalam keadaan demikian, Islam tidak kekurangan jawaban, tetapi kehilangan pertanyaan yang hidup. Dan tanpa pertanyaan, wahyu kehilangan ruang untuk berbicara kepada zaman. Yang tersisa hanyalah gema—bukan suara; hafalan—bukan hikmah; kepatuhan—tanpa kesadaran.

 

Ibn Khaldun telah lama mengingatkan bahwa peradaban runtuh bukan karena kekurangan nilai, melainkan karena hilangnya daya produktif. Dalam al-Muqaddimah, ia menulis bahwa ilmu yang tidak lagi relevan dengan realitas sosial akan kehilangan fungsi historisnya. Tradisi yang tidak dibangun ulang akan menjadi beban sejarah, bukan sumber kekuatan.

 

Produksi, Bukan Repetisi

Pemikir kontemporer Malik Bennabi menyebut krisis umat sebagai krisis produksi peradaban. Umat Islam, menurutnya, terlalu lama menjadi konsumen ide dan sistem yang diciptakan orang lain. Mereka sibuk menjaga identitas, tetapi gagal menciptakan masa depan.

 

Fazlur Rahman melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan kumpulan jawaban siap pakai, melainkan sumber nilai moral yang menuntut kreativitas historis. Tanpa keberanian memproduksi yang baru, teks suci akan berubah menjadi dokumen beku—suci tetapi tidak lagi berbicara kepada zaman.

 

Sementara Wael Hallaq mengingatkan bahwa ilmu modern yang hegemonik hari ini kehilangan fondasi etikanya. Di sinilah Islam seharusnya tampil bukan sebagai peniru, tetapi sebagai arsitek epistemologi alternatif—namun itu hanya mungkin jika tradisi dibangun ulang, bukan sekadar dijaga.

 

Jargon إعادةُ بناءِ القديمِ الصالح، وإنتاجُ الجديدِ الأَصلح  bukan sekadar permainan kata. Ia adalah pernyataan sikap revolusioner: Membangun ulang berarti berani membongkar struktur lama, memilah nilai dari beban sejarah. Memproduksi yang baru berarti menempatkan umat sebagai subjek pencipta, bukan pengulang yang pasif. Ini adalah seruan untuk mengubah fiqh menjadi etika publik, turāth menjadi epistemologi produktif, pendidikan menjadi laboratorium masa depan.

 

Menjaga memang perlu. Tetapi menjaga saja adalah bentuk lain dari menyerah. Peradaban menuntut lebih: ia menuntut keberanian untuk membangun ulang dan melahirkan yang baru. Tradisi yang tidak kita bangun ulang akan membangun penjara bagi kita. Dan masa depan hanya akan lahir dari mereka yang berani mencipta. Kita harus berani mencipta lebih dari sekedar menjaga.

Rabu, 17 Desember 2025

Alam Bernafas dan Tuhan Tidak Pergi

Rabu, Desember 17, 2025 0

 


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Alam semesta tidak pernah benar-benar diam. Ia bergerak, berdenyut, dan seakan memiliki hukum-hukum yang setia menuntunnya. Namun pertanyaan klasik, bahkan paling purba, terus menggema di lorong-lorong pemikiran manusia:

 

Apakah alam ini berdiri sendiri, ataukah ia hidup karena setiap saat “dihidupkan” oleh Tuhan?

 

Pertanyaan inilah yang menjadi poros perenungan dalam perdebatan panjang tentang dependensi dan otonomi alam.

 

Dependensi Dan Otonomi Alam

Dalam pandangan okasionalisme Asy‘ariyah, alam bukanlah bangunan kokoh yang berdiri dengan sendirinya, melainkan rangkaian peristiwa rapuh yang setiap detiknya bergantung pada kehendak Tuhan.

 

Atom-atom, menurut teori ini, tidak bertahan lama; ia lenyap dan diciptakan kembali dalam sekejap mata. Sehingga ketika Tuhan berhenti mencipta—walau hanya sesaat—maka runtuhlah semesta tanpa suara.

 

Di sini, alam bukan aktor utama, melainkan panggung yang terus dibangun ulang oleh Sang Sutradara Ilahi. Al-Baqillani dan al-Ghazali memeluk gagasan ini dengan keyakinan teologis yang mendalam: segala sebab hanyalah ilusi, dan apa yang kita sebut hukum alam hanyalah kebiasaan Tuhan yang berulang-ulang kita saksikan

 

Al-Ghazali, dalam Tahāfut al-Falāsifah, bahkan berani meruntuhkan bangunan kausalitas yang selama ini dianggap sakral. Api tidak membakar karena kodratnya, tetapi karena Tuhan menghendaki pembakaran terjadi pada saat itu. Jika Tuhan berkehendak lain, api bisa menjadi sejuk—seperti yang dialami Nabi Ibrahim pada dahulu kala.

 

Di sini, keajaiban, dalam hal ini mukjizat, bukan pelanggaran hukum alam, melainkan penyingkapan hakikat alam yang sejati: tidak memiliki kuasa apa pun. Ia tidak berdiri sendiri, tak terpisah dari kehendak Tuhan yang Perkasa.

 

Mawlana Jalaluddin Rumi memperhalus gagasan ini dengan bahasa cinta dan metafora yang menakjubkan. Baginya, sebab–akibat hanyalah ilusi persepsi manusia—seperti bara api yang diputar cepat hingga tampak membentuk lingkaran cahaya. Yang bekerja sesungguhnya bukanlah api, melainkan gerak Tuhan yang terlalu cepat ditangkap mata.

 

Namun sejarah pemikiran tidak berhenti di sana. Ketika Newton datang dengan mekanika alamnya, semesta berubah wajah: ia menjadi mesin raksasa. Planet bergerak, benda jatuh, dan energi bekerja mengikuti hukum-hukum pasti. Alam tampak matang, dewasa, dan—dalam batas tertentu—mandiri.

 

Dari sinilah lahir Deisme: Tuhan sebagai pembuat jam kosmik. Setelah mencipta dan mengatur roda-roda hukum alam, Tuhan seolah mundur ke kejauhan, membiarkan semesta berputar sendiri. Alam pun memperoleh otonomi, dan Tuhan perlahan tersingkir dari ruang pengalaman sehari-hari manusia

 

Berdiri di Antara Dua Ekstrem

Tulisan reflektif ini tidak mengajak kita memilih salah satu ekstrem secara simplistik. Kita diajak merenung di antara dua kutub: antara alam yang sepenuhnya bergantung dan alam yang sepenuhnya otonom dari kehendak Tuhan.

 

Jika alam dipahami terlalu otonom, Tuhan tereduksi menjadi konsep abstrak yang tidak lagi hadir dalam pengalaman hidup. Hukum alam menjadi penjelasan final, bukan lagi sebagai tanda (āyah) dari kehendak yang lebih dalam. Akibatnya, Tuhan hadir secara konseptual, tetapi absen secara eksistensial—tidak lagi dialami sebagai sumber makna, tujuan, dan orientasi hidup.

 

Jelasnya, otonomi alam yang absolut berisiko melahirkan deisme fungsional atau bahkan ateisme praktis: Tuhan mungkin diakui secara teoritis, tetapi tidak lagi relevan dalam pengalaman manusia sehari-hari.

 

Sebaliknya, jika alam dipahami sebagai sepenuhnya pasif dan tidak memiliki hukum kausal apa pun, maka setiap peristiwa dianggap terjadi langsung karena kehendak Tuhan tanpa perantaraan sebab alamiah. Dalam pandangan ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai agen yang efektif.

 

Konsekuensinya, tanggung jawab moral dan sosial melemah. Usaha manusia kehilangan signifikansinya, karena keberhasilan maupun kegagalan dipahami bukan sebagai hasil tindakan, melainkan sebagai keputusan mutlak dari luar dirinya. Alam berubah menjadi panggung pasif, dan manusia menjadi penonton dalam sejarahnya sendiri.

 

Dependensi alam yang absolut dengan demikian berisiko melahirkan fatalisme religius, di mana kebebasan manusia hanya bersifat semu dan akal tidak lagi berfungsi sebagai instrumen etis maupun praktis.

 

Di sinilah filsafat dan tasawuf bertemu. Ibn ‘Arabi pernah menulis bahwa alam adalah tajalli—penampakan Tuhan—bukan Tuhan itu sendiri. Alam memiliki pola, keteraturan, dan hukum, tetapi wujudnya tetap pinjaman. Ia nyata, namun tidak berdiri sendiri.

 

Sejalan dengan itu, Whitehead, filsuf proses modern, menyebut Tuhan bukan sebagai penguasa mekanik, melainkan “the poet of the world”—penyair semesta yang senantiasa hadir dalam setiap peristiwa.

 

Alam semesta, jika kita dengarkan dengan keheningan batin, sedang bersujud tanpa suara. Geraknya adalah doa, keteraturannya adalah tasbih. Ia tidak sepenuhnya bebas, tetapi juga tidak mati. Ia hidup dalam ketergantungan yang penuh makna.

 

Maka pertanyaan terakhir bukan lagi: apakah alam bergantung pada Tuhan atau otonom dari-Nya? Melainkan: Apakah kita masih mampu melihat Tuhan yang hadir dalam hukum, dan hukum yang hidup dalam kehendak Tuhan?

 

Di sanalah iman, rasio, dan keindahan bertemu—bukan dalam kepastian matematis, melainkan dalam kesadaran eksistensial yang rendah hati

 

Rabu, 10 Desember 2025

Tarik Tambang NU

Rabu, Desember 10, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Nahdlatul Ulama berdiri tegak di atas lintasan sejarah yang panjang dan berliku—dibesarkan oleh kesabaran waktu, ditempa oleh pergulatan zaman, dan dijaga oleh doa-doa yang mengalir dari mimbar hingga bilik pesantren. Ia telah melewati badai ideologi, gelombang politik, dan perubahan sosial yang silih berganti, tanpa kehilangan wajah dasarnya sebagai jam’iyah khidmah. Namun pada titik sejarah ini, NU berhadapan dengan sebuah ujian yang jauh lebih halus sekaligus lebih mengguncang: bukan serangan dari luar, melainkan tarikan dari dalam.

 

Seutas tali, kini menegang di tubuh organisasi itu, ditarik dari dua arah yang sama-sama menyimpan klaim kebaikan. Di satu sisi, ada khidmah—jalan sunyi pengabdian yang merendah, yang menakar langkah dengan adab dan kehati-hatian. Di sisi lain, ada kuasa—daya yang menjanjikan percepatan, efektivitas, dan pengaruh. Di antara hikmah yang menuntut kebeningan nurani dan harta yang menawarkan kemudahan duniawi; di antara niat menyejahterakan umat dan godaan halus untuk menaklukkan dunia atas nama maslahat, NU berada dalam ketegangan yang tidak mudah diurai.

 

Inilah Tarik Tambang NU: sebuah drama batin kolektif yang bekerja di lapisan terdalam kesadaran organisasi. Ia tidak selalu hadir dalam sorotan wacana atau gemuruh polemik, tetapi bergetar perlahan hingga ke akar identitas—mengajukan pertanyaan filosofis yang mendasar: sampai di mana pengabdian boleh bersentuhan dengan kekuasaan, dan pada titik mana kekuasaan mulai menggerus makna pengabdian itu sendiri.

 

Tali itu tidak kasatmata, namun tegangannya nyata. Di satu ujung, ada keyakinan lama: NU adalah rumah para penjaga makna, khādim al-ummah, yang mengolah ilmu dan akhlak agar umat selamat meniti waktu. Di ujung lain, ada bisikan zaman: NU harus kuat secara material, mandiri secara ekonomi, lincah mengelola sumber daya—agar khidmah tak berhenti pada niat baik. Dua ujung ini sama-sama mengaku benar. Keduanya sama-sama mengangkat dalil. Dan di tengah, tubuh NU tertarik, diuji, ditanya: sampai di mana batas kebolehan bersekutu dengan dunia?

 

Tarik-menarik ini bukan sekadar soal kebijakan, bukan pula semata konflik personal. Ia adalah pertarungan paradigma. Ketika agama berjumpa dengan kapital, yang diuji bukan hanya prosedur, melainkan kejernihan tujuan. Filsuf-filsuf moral mengingatkan: alat yang kuat akan selalu menuntut legitimasi; sementara tujuan yang luhur akan selalu diuji oleh alat yang dipilih. Dalam tarikan itu, pertanyaannya bukan “siapa menang,” melainkan “apa yang berubah.”

 

Ada yang memandang tali itu sebagai jalan keluar: jika umat ingin sejahtera, organisasi harus berani masuk ke medan ekonomi. Ada pula yang melihatnya sebagai jalan licin: semakin kuat tarikan dunia, semakin besar risiko tergelincir dari ethos. Di sinilah etika publik diuji. Sebab kekuatan ekonomi tanpa etika adalah percepatan tanpa rem; sementara etika tanpa kekuatan kerap tinggal harapan.

 

Namun NU bukan organisasi yang lahir kemarin. Ia tumbuh dari kebijaksanaan pesantren yang paham ritme: kapan melangkah, kapan berhenti. Tradisi fiqh-nya mengajarkan tahqīq al-manā—menakar konteks sebelum menetapkan sikap. Tradisi tasawufnya menekankan tazkiyat al-nafs—membersihkan niat sebelum memetik hasil. Dalam kearifan itu, Tarik Tambang seharusnya tidak berakhir pada putusnya tali, melainkan pada temu-tarik: keseimbangan yang adil, bukan kemenangan sepihak.

 

Yang paling rapuh dalam tarik-menarik adalah marwah. Ia tak bisa ditambal oleh angka, tak bisa dibeli oleh keuntungan. Marwah hidup dari kepercayaan—dan kepercayaan tumbuh dari konsistensi. Sekali publik membaca NU sebagai entitas yang berubah wajah dari jama’ah menjadi korporasi, luka itu sulit sembuh. Sebaliknya, jika NU menutup diri dari realitas ekonomi, khidmah bisa melemah, pesan keadilan sosial kehilangan daya.

 

Maka, Tarik Tambang NU seharusnya dibaca sebagai ujian kedewasaan institusional. Dewasa bukan berarti anti-dunia, melainkan mampu menundukkan dunia pada nilai. Dewasa bukan berarti steril dari konflik, melainkan sanggup mengelolanya dengan adab. Dalam filsafat Aristoteles, kebajikan adalah jalan tengah—bukan kompromi lemah, melainkan puncak ketepatan. Jalan tengah NU bukan di tengah tali, tetapi di tengah nilai: manfaat yang terukur, risiko yang dikendalikan, dan niat yang diawasi.

 

Di akhirnya, tali itu akan tetap ada. Zaman tak pernah berhenti menarik. Pertanyaannya: siapa yang memegang simpul? Jika simpul dipegang oleh etika, tali menjadi penopang. Jika simpul dikuasai ambisi, tali menjadi jerat. NU—dengan sejarah panjang kebijaksanaannya—ditantang untuk mengikat simpul itu dengan benang yang paling kuat: amanah.

 

Sebab yang paling menentukan bukan seberapa keras tarikan, melainkan ke mana NU melangkah setelah tarikan reda. Apakah ia berdiri lebih tegak, atau justru terseret? Di sanalah Tarik Tambang NU menemukan maknanya: bukan sebagai pertarungan untuk menang, melainkan sebagai pelajaran untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah dunia yang gemar menguji.

Selasa, 02 Desember 2025

Ketika Lidah Pemuka Agama Menghalangi Cahaya Rahmat

Selasa, Desember 02, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di dalam sejarah panjang agama, lidah sering kali lebih tajam dari pedang. Ia bisa menjadi jembatan menuju surga, namun juga bisa menjadi tembok penghalang yang menutup pintu-pintu rahmat. Betapa sering agama jatuh terjerembab kedalam lorong gelap sejarah, bukan karena kekurangan ajaran yang luhur, melainkan karena watak retak pemuka agama yang pongoah.

 

Dalam beberapa tayangan video dan siara berita kita menyaksikan seorang habib, dengan suara lantang dan penuh arogan meneriakan seruan perang kepada jama’ahnya. Seolah-olah mimbar adalah gelanggang adu kekuatan, bukan taman ilmu dan kasih. Seolah-olah agama adalah sebilah pedang yang harus dihunus setiap saat, bukan pelita yang menuntun manusia menuju cahaya kedamaian.

 

Kisah para sufi memperingatkan kita akan bahaya lidah yang kehilangan kesejukan. Diceritakan, seorang non-muslim yang hatinya nyaris mekar dalam keindahan iman—hendak memeluk Islam. Ia tertarik oleh kelembutan para salik, oleh keramahan para darwis yang wajahnya selalu bercahaya. Namun, ketika ia hadir dalam majelis seorang pemuka agama yang keras dan pongah, ia mendengar caci maki, ancaman, dan kata-kata yang dipenuhi bara amarah. Seketika bunga iman yang nyaris mekar di hatinya itu layu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memeluk Islam.

 

Para sufi menafsirkan kisah ini dengan mata berair: pemuka agama itu, tanpa sadar, telah menjadi penghalang antara rahmat Allah dan hamba-Nya. Ia telah menutup jalan yang hendak dibuka Tuhan sendiri. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah pernah menulis, “Rahmat Ilahi itu seluas semesta, tidak satu pun manusia dapat membatasinya. Namun manusia, dengan kebodohannya, sering menjadikan dirinya penghalang bagi pancaran rahmat itu.”

 

Pemuka agama yang gagal menahan lidahnya, sejatinya hanyalah tawanan egonya sendiri. Ia adalah budak hawa nafsu meski ia mengaku paling suci. Tetapi mereka yang merasa paling suci itu justru sering kali yang paling haus akan kuasa. Kenyataan ini seperti teguran yang menembus zaman: betapa agama bisa ternodai oleh mereka yang menggunakannya sebagai senjata kekuasaan.

 

Agama, pada hakikatnya, adalah samudera kasih yang tak bertepi. Nabi Muhammad sendiri diutus tak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Namun, ketika para pewarisnya memamerkan wajah bengis, maka mereka bukan sekadar mengkhianati akhlak, melainkan menghalangi manusia dari rahmat Tuhan itu sendiri. Ibn ‘Arabi mengibaratkan manusia sebagai cermin. Jika cermin itu bersih, ia akan memantulkan cahaya Ilahi. Tetapi jika cermin itu dipenuhi debu amarah dan noda ego, maka yang tampak hanyalah bayangan kelam.

 

Di sini kita patut mengakukan pertanyaan: Apakah kita rela wajah Islam dikenal melalui suara yang lantang mengajak perang, ataukah kita ingin agama ini dikenang lewat kelembutan yang merangkul? Apakah kita hendak menjadi jalan bagi rahmat Tuhan, atau justru menjadi penghalangnya?

 

Di hadapan pertanyaan-pertanyaan itu, suara Rumi kembali bergema, “Agama tanpa cinta hanyalah tubuh tanpa jiwa.” Maka, ketika lidah para pemuka agama digunakan untuk menebar amarah, sebenarnya mereka bukan sedang membela agama, melainkan merobek wajah agama itu sendiri. Rahmat Tuhan tidak bisa dicemari, tetapi manusia bisa menghalangi dirinya sendiri dari rahmat itu. Dan tragisnya, dengan lidahnya, ia juga bisa menghalangi orang lain.

 

Inilah dosa yang amat berat: menutup jalan cinta Ilahi dengan tembok amarah. Dan setiap kita, dengan hati yang masih bergetar, mesti bertanya: apakah lidah kita menjadi pelita yang menuntun, atau pedang yang membunuh cahaya?