Oleh Mohamad Asrori Mulky
Nahdlatul
Ulama berdiri tegak di atas lintasan sejarah yang panjang dan
berliku—dibesarkan oleh kesabaran waktu, ditempa oleh pergulatan zaman, dan
dijaga oleh doa-doa yang mengalir dari mimbar hingga bilik pesantren. Ia telah
melewati badai ideologi, gelombang politik, dan perubahan sosial yang silih
berganti, tanpa kehilangan wajah dasarnya sebagai jam’iyah khidmah.
Namun pada titik sejarah ini, NU berhadapan dengan sebuah ujian yang jauh lebih
halus sekaligus lebih mengguncang: bukan serangan dari luar, melainkan tarikan
dari dalam.
Seutas
tali, kini menegang di tubuh organisasi itu, ditarik dari dua arah yang
sama-sama menyimpan klaim kebaikan. Di satu sisi, ada khidmah—jalan
sunyi pengabdian yang merendah, yang menakar langkah dengan adab dan kehati-hatian.
Di sisi lain, ada kuasa—daya yang menjanjikan percepatan, efektivitas, dan
pengaruh. Di antara hikmah yang menuntut kebeningan nurani dan harta yang
menawarkan kemudahan duniawi; di antara niat menyejahterakan umat dan godaan
halus untuk menaklukkan dunia atas nama maslahat, NU berada dalam ketegangan
yang tidak mudah diurai.
Inilah
Tarik Tambang NU:
sebuah drama batin kolektif yang bekerja di lapisan terdalam kesadaran
organisasi. Ia tidak selalu hadir dalam sorotan wacana atau gemuruh polemik,
tetapi bergetar perlahan hingga ke akar identitas—mengajukan pertanyaan
filosofis yang mendasar: sampai di mana pengabdian boleh bersentuhan dengan
kekuasaan, dan pada titik mana kekuasaan mulai menggerus makna pengabdian itu
sendiri.
Tali itu tidak kasatmata, namun tegangannya nyata. Di
satu ujung, ada keyakinan lama: NU adalah rumah para penjaga makna, khādim
al-ummah, yang mengolah ilmu dan akhlak agar umat selamat meniti waktu. Di
ujung lain, ada bisikan zaman: NU harus kuat secara material, mandiri secara
ekonomi, lincah mengelola sumber daya—agar khidmah tak berhenti pada niat baik.
Dua ujung ini sama-sama mengaku benar. Keduanya sama-sama mengangkat dalil. Dan
di tengah, tubuh NU tertarik, diuji, ditanya: sampai di mana batas kebolehan
bersekutu dengan dunia?
Tarik-menarik ini bukan sekadar soal kebijakan, bukan
pula semata konflik personal. Ia adalah pertarungan paradigma. Ketika agama
berjumpa dengan kapital, yang diuji bukan hanya prosedur, melainkan kejernihan
tujuan. Filsuf-filsuf moral mengingatkan: alat yang kuat akan selalu menuntut
legitimasi; sementara tujuan yang luhur akan selalu diuji oleh alat yang
dipilih. Dalam tarikan itu, pertanyaannya bukan “siapa menang,” melainkan “apa
yang berubah.”
Ada yang memandang tali itu sebagai jalan keluar: jika
umat ingin sejahtera, organisasi harus berani masuk ke medan ekonomi. Ada pula
yang melihatnya sebagai jalan licin: semakin kuat tarikan dunia, semakin besar
risiko tergelincir dari ethos. Di sinilah etika publik diuji. Sebab kekuatan
ekonomi tanpa etika adalah percepatan tanpa rem; sementara etika tanpa kekuatan
kerap tinggal harapan.
Namun NU bukan organisasi yang lahir kemarin. Ia
tumbuh dari kebijaksanaan pesantren yang paham ritme: kapan melangkah, kapan
berhenti. Tradisi fiqh-nya mengajarkan tahqīq al-manāṭ—menakar
konteks sebelum menetapkan sikap. Tradisi tasawufnya menekankan tazkiyat
al-nafs—membersihkan niat sebelum memetik hasil. Dalam kearifan itu, Tarik
Tambang seharusnya tidak berakhir pada putusnya tali, melainkan pada
temu-tarik: keseimbangan yang adil, bukan kemenangan sepihak.
Yang paling rapuh dalam tarik-menarik adalah marwah.
Ia tak bisa ditambal oleh angka, tak bisa dibeli oleh keuntungan. Marwah hidup
dari kepercayaan—dan kepercayaan tumbuh dari konsistensi. Sekali publik membaca
NU sebagai entitas yang berubah wajah dari jama’ah menjadi korporasi,
luka itu sulit sembuh. Sebaliknya, jika NU menutup diri dari realitas ekonomi,
khidmah bisa melemah, pesan keadilan sosial kehilangan daya.
Maka, Tarik Tambang NU seharusnya dibaca
sebagai ujian kedewasaan institusional. Dewasa bukan berarti anti-dunia,
melainkan mampu menundukkan dunia pada nilai. Dewasa bukan berarti steril dari
konflik, melainkan sanggup mengelolanya dengan adab. Dalam filsafat
Aristoteles, kebajikan adalah jalan tengah—bukan kompromi lemah,
melainkan puncak ketepatan. Jalan tengah NU bukan di tengah tali, tetapi di
tengah nilai: manfaat yang terukur, risiko yang dikendalikan, dan niat yang
diawasi.
Di akhirnya, tali itu akan tetap ada. Zaman tak pernah
berhenti menarik. Pertanyaannya: siapa yang memegang simpul? Jika simpul
dipegang oleh etika, tali menjadi penopang. Jika simpul dikuasai ambisi, tali
menjadi jerat. NU—dengan sejarah panjang kebijaksanaannya—ditantang untuk
mengikat simpul itu dengan benang yang paling kuat: amanah.
Sebab yang paling menentukan bukan seberapa keras
tarikan, melainkan ke mana NU melangkah setelah tarikan reda. Apakah ia berdiri
lebih tegak, atau justru terseret? Di sanalah Tarik Tambang NU menemukan
maknanya: bukan sebagai pertarungan untuk menang, melainkan sebagai pelajaran
untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah dunia yang gemar menguji.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar