Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 10 Desember 2025

Tarik Tambang NU


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Nahdlatul Ulama berdiri tegak di atas lintasan sejarah yang panjang dan berliku—dibesarkan oleh kesabaran waktu, ditempa oleh pergulatan zaman, dan dijaga oleh doa-doa yang mengalir dari mimbar hingga bilik pesantren. Ia telah melewati badai ideologi, gelombang politik, dan perubahan sosial yang silih berganti, tanpa kehilangan wajah dasarnya sebagai jam’iyah khidmah. Namun pada titik sejarah ini, NU berhadapan dengan sebuah ujian yang jauh lebih halus sekaligus lebih mengguncang: bukan serangan dari luar, melainkan tarikan dari dalam.

 

Seutas tali, kini menegang di tubuh organisasi itu, ditarik dari dua arah yang sama-sama menyimpan klaim kebaikan. Di satu sisi, ada khidmah—jalan sunyi pengabdian yang merendah, yang menakar langkah dengan adab dan kehati-hatian. Di sisi lain, ada kuasa—daya yang menjanjikan percepatan, efektivitas, dan pengaruh. Di antara hikmah yang menuntut kebeningan nurani dan harta yang menawarkan kemudahan duniawi; di antara niat menyejahterakan umat dan godaan halus untuk menaklukkan dunia atas nama maslahat, NU berada dalam ketegangan yang tidak mudah diurai.

 

Inilah Tarik Tambang NU: sebuah drama batin kolektif yang bekerja di lapisan terdalam kesadaran organisasi. Ia tidak selalu hadir dalam sorotan wacana atau gemuruh polemik, tetapi bergetar perlahan hingga ke akar identitas—mengajukan pertanyaan filosofis yang mendasar: sampai di mana pengabdian boleh bersentuhan dengan kekuasaan, dan pada titik mana kekuasaan mulai menggerus makna pengabdian itu sendiri.

 

Tali itu tidak kasatmata, namun tegangannya nyata. Di satu ujung, ada keyakinan lama: NU adalah rumah para penjaga makna, khādim al-ummah, yang mengolah ilmu dan akhlak agar umat selamat meniti waktu. Di ujung lain, ada bisikan zaman: NU harus kuat secara material, mandiri secara ekonomi, lincah mengelola sumber daya—agar khidmah tak berhenti pada niat baik. Dua ujung ini sama-sama mengaku benar. Keduanya sama-sama mengangkat dalil. Dan di tengah, tubuh NU tertarik, diuji, ditanya: sampai di mana batas kebolehan bersekutu dengan dunia?

 

Tarik-menarik ini bukan sekadar soal kebijakan, bukan pula semata konflik personal. Ia adalah pertarungan paradigma. Ketika agama berjumpa dengan kapital, yang diuji bukan hanya prosedur, melainkan kejernihan tujuan. Filsuf-filsuf moral mengingatkan: alat yang kuat akan selalu menuntut legitimasi; sementara tujuan yang luhur akan selalu diuji oleh alat yang dipilih. Dalam tarikan itu, pertanyaannya bukan “siapa menang,” melainkan “apa yang berubah.”

 

Ada yang memandang tali itu sebagai jalan keluar: jika umat ingin sejahtera, organisasi harus berani masuk ke medan ekonomi. Ada pula yang melihatnya sebagai jalan licin: semakin kuat tarikan dunia, semakin besar risiko tergelincir dari ethos. Di sinilah etika publik diuji. Sebab kekuatan ekonomi tanpa etika adalah percepatan tanpa rem; sementara etika tanpa kekuatan kerap tinggal harapan.

 

Namun NU bukan organisasi yang lahir kemarin. Ia tumbuh dari kebijaksanaan pesantren yang paham ritme: kapan melangkah, kapan berhenti. Tradisi fiqh-nya mengajarkan tahqīq al-manā—menakar konteks sebelum menetapkan sikap. Tradisi tasawufnya menekankan tazkiyat al-nafs—membersihkan niat sebelum memetik hasil. Dalam kearifan itu, Tarik Tambang seharusnya tidak berakhir pada putusnya tali, melainkan pada temu-tarik: keseimbangan yang adil, bukan kemenangan sepihak.

 

Yang paling rapuh dalam tarik-menarik adalah marwah. Ia tak bisa ditambal oleh angka, tak bisa dibeli oleh keuntungan. Marwah hidup dari kepercayaan—dan kepercayaan tumbuh dari konsistensi. Sekali publik membaca NU sebagai entitas yang berubah wajah dari jama’ah menjadi korporasi, luka itu sulit sembuh. Sebaliknya, jika NU menutup diri dari realitas ekonomi, khidmah bisa melemah, pesan keadilan sosial kehilangan daya.

 

Maka, Tarik Tambang NU seharusnya dibaca sebagai ujian kedewasaan institusional. Dewasa bukan berarti anti-dunia, melainkan mampu menundukkan dunia pada nilai. Dewasa bukan berarti steril dari konflik, melainkan sanggup mengelolanya dengan adab. Dalam filsafat Aristoteles, kebajikan adalah jalan tengah—bukan kompromi lemah, melainkan puncak ketepatan. Jalan tengah NU bukan di tengah tali, tetapi di tengah nilai: manfaat yang terukur, risiko yang dikendalikan, dan niat yang diawasi.

 

Di akhirnya, tali itu akan tetap ada. Zaman tak pernah berhenti menarik. Pertanyaannya: siapa yang memegang simpul? Jika simpul dipegang oleh etika, tali menjadi penopang. Jika simpul dikuasai ambisi, tali menjadi jerat. NU—dengan sejarah panjang kebijaksanaannya—ditantang untuk mengikat simpul itu dengan benang yang paling kuat: amanah.

 

Sebab yang paling menentukan bukan seberapa keras tarikan, melainkan ke mana NU melangkah setelah tarikan reda. Apakah ia berdiri lebih tegak, atau justru terseret? Di sanalah Tarik Tambang NU menemukan maknanya: bukan sebagai pertarungan untuk menang, melainkan sebagai pelajaran untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah dunia yang gemar menguji.

Tidak ada komentar: