Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 28 Desember 2025

Gen Z dan Ikhtiar Mencari Kesadaran Gender


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Pada mulanya, manusia tidak lahir dengan label. Ia lahir sebagai kemungkinan. Sebagai tubuh yang bernapas, jiwa yang mencari, dan kesadaran yang perlahan belajar menamai dunia.

 

Namun sejarah—yang ditulis oleh kekuasaan, budaya, dan tafsir keagamaan—datang membawa penamaan: laki-laki dan perempuan, kuat dan lemah, rasional dan emosional. Sejak saat itu, manusia tidak lagi sekadar menjadi, melainkan diatur untuk menjadi.

 

Di sinilah gender bermula: bukan dari rahim biologi, melainkan dari rahim sejarah. Direktur Pusat Studi Agama, Anak, dan Disabilitas (PSGAD) STISNU Tangerang, Dr. Inda Kartika, MA.Pol., melalui diskusi NGOPI (Ngobrol Pagi), memberi garis tegas antara seks dan gender. 

 

Menurutnya seks adalah fakta biologis—ia tak lebih dari anatomi yang diberikan alam. Namun gender adalah kisah panjang tentang bagaimana tubuh itu dimaknai, ditafsirkan, dan didisiplinkan oleh masyarakat. Mansour Fakih dengan jernih mengingatkan: gender bukan kodrat Tuhan, melainkan konstruksi sosial yang disepakati, diajarkan, dan diwariskan lintas generasi.

 

Simone de Beauvoir, jauh sebelum istilah “Gen Z” dikenal dunia, telah menuliskan kalimat yang mengguncang fondasi peradaban patriarkal: “One is not born, but rather becomes, a woman.” Perempuan—dan sesungguhnya juga laki-laki—tidak dilahirkan dengan takdir sosialnya. Mereka dibentuk.

 

Dibingkai. Diajari bagaimana harus bersikap, bermimpi, bahkan mencintai. Di titik ini, gender tidak lagi sekadar kategori analitis, melainkan arena politik makna. Proses panjang sosialisasi gender—melalui keluarga, agama, pendidikan, dan negara—perlahan mengeras menjadi sesuatu yang tampak suci dan tak tergugat.

 

Peran-peran sosial yang sejatinya cair dan dapat dipertukarkan justru dipaku sebagai “kodrat”. Perempuan dilekatkan pada kelembutan dan pengorbanan; laki-laki dibebani kekuatan dan dominasi. Siapa pun yang keluar dari garis ini dianggap menyimpang, bahkan berdosa.

 

Nawal El Saadawi menyebut kondisi ini sebagai bentuk kekerasan epistemik: ketika tafsir budaya dan agama digunakan untuk membungkam tubuh dan kesadaran perempuan. Baginya, ketidakadilan gender bukan sekadar persoalan relasi antarindividu, melainkan hasil dari sistem pengetahuan yang timpang, yang menjadikan perempuan sebagai “yang lain”, the other, sebagaimana dikatakan Beauvoir.

Gen Z: Generasi yang Retak dan Reflektif

Gen Z hadir di tengah reruntuhan narasi lama. Mereka adalah generasi yang lahir dari kabel, sinyal, dan layar—penduduk asli dunia digital. Namun justru karena itu, mereka memiliki keistimewaan: kemampuan untuk meretas makna, menyeberangi batas, dan mempersoalkan apa yang dulu diterima tanpa tanya.

 

Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai riset mutakhir, termasuk penelitian Rahmah dkk. (2024), Gen Z tidak hanya menjadi konsumen wacana gender, tetapi juga produsen dan aktivisnya. Media sosial menjadi ruang baru bagi perlawanan simbolik—tempat pengalaman personal bertemu dengan kesadaran kolektif.

 

Namun di sinilah paradoksnya: dunia digital yang membebaskan juga dapat melahirkan bentuk-bentuk baru kekerasan dan diskriminasi gender. Tubuh kembali menjadi komoditas. Identitas kembali dipertontonkan. Kesetaraan sering tereduksi menjadi tren, bukan etika.

 

Maka, kesadaran gender Gen Z membutuhkan lebih dari sekadar keberanian berekspresi; ia membutuhkan kedalaman refleksi.

 

Negara, melalui berbagai instrumen hukum—dari CEDAW hingga UU TPKS—telah menyediakan payung normatif bagi keadilan gender. Namun hukum tanpa kesadaran hanyalah teks; dan teks tanpa keberanian hanyalah arsip. Keadilan gender tidak tumbuh dari undang-undang semata, melainkan dari kesediaan manusia untuk melihat sesamanya sebagai subjek, bukan fungsi sosial.

 

Dalam konteks ini, diskusi seperti NGOPI yang diinisiasi PSGAD STISNU menjadi ruang penting untuk merawat nalar kritis dan empati intelektual. Ia bukan sekadar forum akademik, melainkan upaya membangun kesadaran bahwa sebelum kita menjadi laki-laki atau perempuan, kita adalah manusia.

 

Gender, pada akhirnya, bukan tentang meniadakan perbedaan, melainkan tentang memanusiakan perbedaan. Gen Z memiliki peluang historis untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu: untuk tidak mengubah sejarah menjadi penjara, dan tradisi menjadi borgol.

 

Sebagaimana diingatkan Nawal El Saadawi, kebebasan sejati lahir ketika manusia berani membebaskan pikirannya lebih dahulu. Dan sebagaimana diyakini Simone de Beauvoir, masa depan tidak ditentukan oleh kodrat, melainkan oleh pilihan. Maka pertanyaannya bukan lagi: siapa kita sebagai laki-laki atau perempuan? Melainkan: apakah kita cukup berani menjadi manusia yang adil?

Tidak ada komentar: