Oleh Mohamad
Asrori Mulky
Alam semesta tidak pernah benar-benar diam. Ia
bergerak, berdenyut, dan seakan memiliki hukum-hukum yang setia menuntunnya.
Namun pertanyaan klasik, bahkan paling purba, terus menggema di lorong-lorong
pemikiran manusia:
Apakah alam ini berdiri sendiri, ataukah ia hidup
karena setiap saat “dihidupkan” oleh Tuhan?
Pertanyaan inilah yang menjadi poros perenungan dalam
perdebatan panjang tentang dependensi dan otonomi alam.
Dependensi Dan Otonomi Alam
Dalam pandangan okasionalisme Asy‘ariyah, alam
bukanlah bangunan kokoh yang berdiri dengan sendirinya, melainkan rangkaian
peristiwa rapuh yang setiap detiknya bergantung pada kehendak Tuhan.
Atom-atom, menurut teori ini, tidak bertahan lama; ia
lenyap dan diciptakan kembali dalam sekejap mata. Sehingga ketika Tuhan
berhenti mencipta—walau hanya sesaat—maka runtuhlah semesta tanpa suara.
Di sini, alam bukan aktor utama, melainkan panggung
yang terus dibangun ulang oleh Sang Sutradara Ilahi. Al-Baqillani dan
al-Ghazali memeluk gagasan ini dengan keyakinan teologis yang mendalam: segala
sebab hanyalah ilusi, dan apa yang kita sebut hukum alam hanyalah kebiasaan
Tuhan yang berulang-ulang kita saksikan
Al-Ghazali, dalam Tahāfut al-Falāsifah, bahkan
berani meruntuhkan bangunan kausalitas yang selama ini dianggap sakral. Api
tidak membakar karena kodratnya, tetapi karena Tuhan menghendaki pembakaran
terjadi pada saat itu. Jika Tuhan berkehendak lain, api bisa menjadi
sejuk—seperti yang dialami Nabi Ibrahim pada dahulu kala.
Di sini, keajaiban, dalam hal ini mukjizat, bukan
pelanggaran hukum alam, melainkan penyingkapan hakikat alam yang sejati: tidak
memiliki kuasa apa pun. Ia tidak berdiri sendiri, tak terpisah dari kehendak
Tuhan yang Perkasa.
Mawlana Jalaluddin Rumi memperhalus gagasan ini dengan
bahasa cinta dan metafora yang menakjubkan. Baginya, sebab–akibat hanyalah
ilusi persepsi manusia—seperti bara api yang diputar cepat hingga tampak
membentuk lingkaran cahaya. Yang bekerja sesungguhnya bukanlah api, melainkan
gerak Tuhan yang terlalu cepat ditangkap mata.
Namun sejarah pemikiran tidak berhenti di sana. Ketika
Newton datang dengan mekanika alamnya, semesta berubah wajah: ia menjadi mesin
raksasa. Planet bergerak, benda jatuh, dan energi bekerja mengikuti hukum-hukum
pasti. Alam tampak matang, dewasa, dan—dalam batas tertentu—mandiri.
Dari sinilah lahir Deisme: Tuhan sebagai pembuat jam
kosmik. Setelah mencipta dan mengatur roda-roda hukum alam, Tuhan seolah mundur
ke kejauhan, membiarkan semesta berputar sendiri. Alam pun memperoleh otonomi,
dan Tuhan perlahan tersingkir dari ruang pengalaman sehari-hari manusia
Berdiri di
Antara Dua Ekstrem
Tulisan reflektif ini tidak mengajak kita memilih
salah satu ekstrem secara simplistik. Kita diajak merenung di antara dua kutub:
antara alam yang sepenuhnya bergantung dan alam yang sepenuhnya otonom dari
kehendak Tuhan.
Jika alam dipahami terlalu otonom, Tuhan tereduksi
menjadi konsep abstrak yang tidak lagi hadir dalam pengalaman hidup. Hukum alam
menjadi penjelasan final, bukan lagi sebagai tanda (āyah) dari kehendak
yang lebih dalam. Akibatnya, Tuhan hadir secara konseptual, tetapi absen secara
eksistensial—tidak lagi dialami sebagai sumber makna, tujuan, dan orientasi
hidup.
Jelasnya, otonomi alam yang absolut berisiko
melahirkan deisme fungsional atau bahkan ateisme praktis: Tuhan mungkin diakui
secara teoritis, tetapi tidak lagi relevan dalam pengalaman manusia
sehari-hari.
Sebaliknya, jika alam dipahami sebagai sepenuhnya
pasif dan tidak memiliki hukum kausal apa pun, maka setiap peristiwa dianggap
terjadi langsung karena kehendak Tuhan tanpa perantaraan sebab alamiah. Dalam
pandangan ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai agen yang efektif.
Konsekuensinya, tanggung jawab moral dan sosial
melemah. Usaha manusia kehilangan signifikansinya, karena keberhasilan maupun
kegagalan dipahami bukan sebagai hasil tindakan, melainkan sebagai keputusan
mutlak dari luar dirinya. Alam berubah menjadi panggung pasif, dan manusia
menjadi penonton dalam sejarahnya sendiri.
Dependensi alam yang absolut dengan demikian berisiko
melahirkan fatalisme religius, di mana kebebasan manusia hanya bersifat semu
dan akal tidak lagi berfungsi sebagai instrumen etis maupun praktis.
Di sinilah filsafat dan tasawuf bertemu. Ibn ‘Arabi
pernah menulis bahwa alam adalah tajalli—penampakan Tuhan—bukan Tuhan
itu sendiri. Alam memiliki pola, keteraturan, dan hukum, tetapi wujudnya tetap
pinjaman. Ia nyata, namun tidak berdiri sendiri.
Sejalan dengan itu, Whitehead, filsuf proses modern,
menyebut Tuhan bukan sebagai penguasa mekanik, melainkan “the poet of the
world”—penyair semesta yang senantiasa hadir dalam setiap peristiwa.
Alam semesta, jika kita dengarkan dengan keheningan
batin, sedang bersujud tanpa suara. Geraknya adalah doa, keteraturannya adalah
tasbih. Ia tidak sepenuhnya bebas, tetapi juga tidak mati. Ia hidup dalam
ketergantungan yang penuh makna.
Maka pertanyaan terakhir bukan lagi: apakah alam
bergantung pada Tuhan atau otonom dari-Nya? Melainkan: Apakah kita masih
mampu melihat Tuhan yang hadir dalam hukum, dan hukum yang hidup dalam kehendak
Tuhan?
Di sanalah iman, rasio, dan keindahan bertemu—bukan
dalam kepastian matematis, melainkan dalam kesadaran eksistensial yang rendah
hati

Tidak ada komentar:
Posting Komentar