Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 17 Desember 2025

Alam Bernafas dan Tuhan Tidak Pergi

 


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Alam semesta tidak pernah benar-benar diam. Ia bergerak, berdenyut, dan seakan memiliki hukum-hukum yang setia menuntunnya. Namun pertanyaan klasik, bahkan paling purba, terus menggema di lorong-lorong pemikiran manusia:

 

Apakah alam ini berdiri sendiri, ataukah ia hidup karena setiap saat “dihidupkan” oleh Tuhan?

 

Pertanyaan inilah yang menjadi poros perenungan dalam perdebatan panjang tentang dependensi dan otonomi alam.

 

Dependensi Dan Otonomi Alam

Dalam pandangan okasionalisme Asy‘ariyah, alam bukanlah bangunan kokoh yang berdiri dengan sendirinya, melainkan rangkaian peristiwa rapuh yang setiap detiknya bergantung pada kehendak Tuhan.

 

Atom-atom, menurut teori ini, tidak bertahan lama; ia lenyap dan diciptakan kembali dalam sekejap mata. Sehingga ketika Tuhan berhenti mencipta—walau hanya sesaat—maka runtuhlah semesta tanpa suara.

 

Di sini, alam bukan aktor utama, melainkan panggung yang terus dibangun ulang oleh Sang Sutradara Ilahi. Al-Baqillani dan al-Ghazali memeluk gagasan ini dengan keyakinan teologis yang mendalam: segala sebab hanyalah ilusi, dan apa yang kita sebut hukum alam hanyalah kebiasaan Tuhan yang berulang-ulang kita saksikan

 

Al-Ghazali, dalam Tahāfut al-Falāsifah, bahkan berani meruntuhkan bangunan kausalitas yang selama ini dianggap sakral. Api tidak membakar karena kodratnya, tetapi karena Tuhan menghendaki pembakaran terjadi pada saat itu. Jika Tuhan berkehendak lain, api bisa menjadi sejuk—seperti yang dialami Nabi Ibrahim pada dahulu kala.

 

Di sini, keajaiban, dalam hal ini mukjizat, bukan pelanggaran hukum alam, melainkan penyingkapan hakikat alam yang sejati: tidak memiliki kuasa apa pun. Ia tidak berdiri sendiri, tak terpisah dari kehendak Tuhan yang Perkasa.

 

Mawlana Jalaluddin Rumi memperhalus gagasan ini dengan bahasa cinta dan metafora yang menakjubkan. Baginya, sebab–akibat hanyalah ilusi persepsi manusia—seperti bara api yang diputar cepat hingga tampak membentuk lingkaran cahaya. Yang bekerja sesungguhnya bukanlah api, melainkan gerak Tuhan yang terlalu cepat ditangkap mata.

 

Namun sejarah pemikiran tidak berhenti di sana. Ketika Newton datang dengan mekanika alamnya, semesta berubah wajah: ia menjadi mesin raksasa. Planet bergerak, benda jatuh, dan energi bekerja mengikuti hukum-hukum pasti. Alam tampak matang, dewasa, dan—dalam batas tertentu—mandiri.

 

Dari sinilah lahir Deisme: Tuhan sebagai pembuat jam kosmik. Setelah mencipta dan mengatur roda-roda hukum alam, Tuhan seolah mundur ke kejauhan, membiarkan semesta berputar sendiri. Alam pun memperoleh otonomi, dan Tuhan perlahan tersingkir dari ruang pengalaman sehari-hari manusia

 

Berdiri di Antara Dua Ekstrem

Tulisan reflektif ini tidak mengajak kita memilih salah satu ekstrem secara simplistik. Kita diajak merenung di antara dua kutub: antara alam yang sepenuhnya bergantung dan alam yang sepenuhnya otonom dari kehendak Tuhan.

 

Jika alam dipahami terlalu otonom, Tuhan tereduksi menjadi konsep abstrak yang tidak lagi hadir dalam pengalaman hidup. Hukum alam menjadi penjelasan final, bukan lagi sebagai tanda (āyah) dari kehendak yang lebih dalam. Akibatnya, Tuhan hadir secara konseptual, tetapi absen secara eksistensial—tidak lagi dialami sebagai sumber makna, tujuan, dan orientasi hidup.

 

Jelasnya, otonomi alam yang absolut berisiko melahirkan deisme fungsional atau bahkan ateisme praktis: Tuhan mungkin diakui secara teoritis, tetapi tidak lagi relevan dalam pengalaman manusia sehari-hari.

 

Sebaliknya, jika alam dipahami sebagai sepenuhnya pasif dan tidak memiliki hukum kausal apa pun, maka setiap peristiwa dianggap terjadi langsung karena kehendak Tuhan tanpa perantaraan sebab alamiah. Dalam pandangan ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai agen yang efektif.

 

Konsekuensinya, tanggung jawab moral dan sosial melemah. Usaha manusia kehilangan signifikansinya, karena keberhasilan maupun kegagalan dipahami bukan sebagai hasil tindakan, melainkan sebagai keputusan mutlak dari luar dirinya. Alam berubah menjadi panggung pasif, dan manusia menjadi penonton dalam sejarahnya sendiri.

 

Dependensi alam yang absolut dengan demikian berisiko melahirkan fatalisme religius, di mana kebebasan manusia hanya bersifat semu dan akal tidak lagi berfungsi sebagai instrumen etis maupun praktis.

 

Di sinilah filsafat dan tasawuf bertemu. Ibn ‘Arabi pernah menulis bahwa alam adalah tajalli—penampakan Tuhan—bukan Tuhan itu sendiri. Alam memiliki pola, keteraturan, dan hukum, tetapi wujudnya tetap pinjaman. Ia nyata, namun tidak berdiri sendiri.

 

Sejalan dengan itu, Whitehead, filsuf proses modern, menyebut Tuhan bukan sebagai penguasa mekanik, melainkan “the poet of the world”—penyair semesta yang senantiasa hadir dalam setiap peristiwa.

 

Alam semesta, jika kita dengarkan dengan keheningan batin, sedang bersujud tanpa suara. Geraknya adalah doa, keteraturannya adalah tasbih. Ia tidak sepenuhnya bebas, tetapi juga tidak mati. Ia hidup dalam ketergantungan yang penuh makna.

 

Maka pertanyaan terakhir bukan lagi: apakah alam bergantung pada Tuhan atau otonom dari-Nya? Melainkan: Apakah kita masih mampu melihat Tuhan yang hadir dalam hukum, dan hukum yang hidup dalam kehendak Tuhan?

 

Di sanalah iman, rasio, dan keindahan bertemu—bukan dalam kepastian matematis, melainkan dalam kesadaran eksistensial yang rendah hati

 

Tidak ada komentar: