Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 02 Desember 2025

Ketika Lidah Pemuka Agama Menghalangi Cahaya Rahmat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di dalam sejarah panjang agama, lidah sering kali lebih tajam dari pedang. Ia bisa menjadi jembatan menuju surga, namun juga bisa menjadi tembok penghalang yang menutup pintu-pintu rahmat. Betapa sering agama jatuh terjerembab kedalam lorong gelap sejarah, bukan karena kekurangan ajaran yang luhur, melainkan karena watak retak pemuka agama yang pongoah.

 

Dalam beberapa tayangan video dan siara berita kita menyaksikan seorang habib, dengan suara lantang dan penuh arogan meneriakan seruan perang kepada jama’ahnya. Seolah-olah mimbar adalah gelanggang adu kekuatan, bukan taman ilmu dan kasih. Seolah-olah agama adalah sebilah pedang yang harus dihunus setiap saat, bukan pelita yang menuntun manusia menuju cahaya kedamaian.

 

Kisah para sufi memperingatkan kita akan bahaya lidah yang kehilangan kesejukan. Diceritakan, seorang non-muslim yang hatinya nyaris mekar dalam keindahan iman—hendak memeluk Islam. Ia tertarik oleh kelembutan para salik, oleh keramahan para darwis yang wajahnya selalu bercahaya. Namun, ketika ia hadir dalam majelis seorang pemuka agama yang keras dan pongah, ia mendengar caci maki, ancaman, dan kata-kata yang dipenuhi bara amarah. Seketika bunga iman yang nyaris mekar di hatinya itu layu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memeluk Islam.

 

Para sufi menafsirkan kisah ini dengan mata berair: pemuka agama itu, tanpa sadar, telah menjadi penghalang antara rahmat Allah dan hamba-Nya. Ia telah menutup jalan yang hendak dibuka Tuhan sendiri. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah pernah menulis, “Rahmat Ilahi itu seluas semesta, tidak satu pun manusia dapat membatasinya. Namun manusia, dengan kebodohannya, sering menjadikan dirinya penghalang bagi pancaran rahmat itu.”

 

Pemuka agama yang gagal menahan lidahnya, sejatinya hanyalah tawanan egonya sendiri. Ia adalah budak hawa nafsu meski ia mengaku paling suci. Tetapi mereka yang merasa paling suci itu justru sering kali yang paling haus akan kuasa. Kenyataan ini seperti teguran yang menembus zaman: betapa agama bisa ternodai oleh mereka yang menggunakannya sebagai senjata kekuasaan.

 

Agama, pada hakikatnya, adalah samudera kasih yang tak bertepi. Nabi Muhammad sendiri diutus tak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Namun, ketika para pewarisnya memamerkan wajah bengis, maka mereka bukan sekadar mengkhianati akhlak, melainkan menghalangi manusia dari rahmat Tuhan itu sendiri. Ibn ‘Arabi mengibaratkan manusia sebagai cermin. Jika cermin itu bersih, ia akan memantulkan cahaya Ilahi. Tetapi jika cermin itu dipenuhi debu amarah dan noda ego, maka yang tampak hanyalah bayangan kelam.

 

Di sini kita patut mengakukan pertanyaan: Apakah kita rela wajah Islam dikenal melalui suara yang lantang mengajak perang, ataukah kita ingin agama ini dikenang lewat kelembutan yang merangkul? Apakah kita hendak menjadi jalan bagi rahmat Tuhan, atau justru menjadi penghalangnya?

 

Di hadapan pertanyaan-pertanyaan itu, suara Rumi kembali bergema, “Agama tanpa cinta hanyalah tubuh tanpa jiwa.” Maka, ketika lidah para pemuka agama digunakan untuk menebar amarah, sebenarnya mereka bukan sedang membela agama, melainkan merobek wajah agama itu sendiri. Rahmat Tuhan tidak bisa dicemari, tetapi manusia bisa menghalangi dirinya sendiri dari rahmat itu. Dan tragisnya, dengan lidahnya, ia juga bisa menghalangi orang lain.

 

Inilah dosa yang amat berat: menutup jalan cinta Ilahi dengan tembok amarah. Dan setiap kita, dengan hati yang masih bergetar, mesti bertanya: apakah lidah kita menjadi pelita yang menuntun, atau pedang yang membunuh cahaya?

Tidak ada komentar: