Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di
dalam sejarah panjang agama, lidah sering kali lebih tajam dari pedang. Ia bisa
menjadi jembatan menuju surga, namun juga bisa menjadi tembok penghalang yang menutup
pintu-pintu rahmat. Betapa sering agama jatuh terjerembab kedalam lorong gelap
sejarah, bukan karena kekurangan ajaran yang luhur, melainkan karena watak
retak pemuka agama yang pongoah.
Dalam
beberapa tayangan video dan siara berita kita menyaksikan seorang habib, dengan
suara lantang dan penuh arogan meneriakan seruan perang kepada jama’ahnya.
Seolah-olah mimbar adalah gelanggang adu kekuatan, bukan taman ilmu dan kasih.
Seolah-olah agama adalah sebilah pedang yang harus dihunus setiap saat, bukan
pelita yang menuntun manusia menuju cahaya kedamaian.
Kisah
para sufi memperingatkan kita akan bahaya lidah yang kehilangan kesejukan.
Diceritakan, seorang non-muslim yang hatinya nyaris mekar dalam keindahan
iman—hendak memeluk Islam. Ia tertarik oleh kelembutan para salik, oleh
keramahan para darwis yang wajahnya selalu bercahaya. Namun, ketika ia hadir
dalam majelis seorang pemuka agama yang keras dan pongah, ia mendengar caci
maki, ancaman, dan kata-kata yang dipenuhi bara amarah. Seketika bunga iman
yang nyaris mekar di hatinya itu layu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memeluk
Islam.
Para
sufi menafsirkan kisah ini dengan mata berair: pemuka agama itu, tanpa sadar,
telah menjadi penghalang antara rahmat Allah dan hamba-Nya. Ia telah menutup
jalan yang hendak dibuka Tuhan sendiri. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah pernah
menulis, “Rahmat Ilahi itu seluas semesta, tidak
satu pun manusia dapat membatasinya. Namun manusia, dengan kebodohannya, sering
menjadikan dirinya penghalang bagi pancaran rahmat itu.”
Pemuka
agama yang gagal menahan lidahnya, sejatinya hanyalah tawanan egonya sendiri. Ia
adalah budak hawa nafsu meski ia mengaku paling suci. Tetapi mereka yang merasa paling suci
itu justru sering kali yang paling haus akan kuasa. Kenyataan ini seperti
teguran yang menembus zaman: betapa agama bisa ternodai oleh mereka yang
menggunakannya sebagai senjata kekuasaan.
Agama,
pada hakikatnya, adalah samudera kasih yang tak bertepi. Nabi Muhammad sendiri diutus
tak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Namun, ketika para pewarisnya
memamerkan wajah bengis, maka mereka bukan sekadar mengkhianati akhlak,
melainkan menghalangi manusia dari rahmat Tuhan itu sendiri. Ibn ‘Arabi
mengibaratkan manusia sebagai cermin. Jika cermin itu bersih, ia akan
memantulkan cahaya Ilahi. Tetapi jika cermin itu dipenuhi debu amarah dan noda
ego, maka yang tampak hanyalah bayangan kelam.
Di
sini kita patut mengakukan pertanyaan: Apakah kita rela wajah Islam dikenal
melalui suara yang lantang mengajak perang, ataukah kita ingin agama ini
dikenang lewat kelembutan yang merangkul? Apakah kita hendak menjadi jalan bagi
rahmat Tuhan, atau justru menjadi penghalangnya?
Di
hadapan pertanyaan-pertanyaan itu, suara Rumi kembali bergema, “Agama tanpa cinta hanyalah tubuh tanpa jiwa.”
Maka, ketika lidah para pemuka agama digunakan untuk menebar amarah, sebenarnya
mereka bukan sedang membela agama, melainkan merobek wajah agama itu sendiri. Rahmat
Tuhan tidak bisa dicemari, tetapi manusia bisa menghalangi dirinya sendiri dari
rahmat itu. Dan tragisnya, dengan lidahnya, ia juga bisa menghalangi orang
lain.
Inilah
dosa yang amat berat: menutup jalan cinta Ilahi dengan tembok amarah. Dan
setiap kita, dengan hati yang masih bergetar, mesti bertanya: apakah lidah kita
menjadi pelita yang menuntun, atau pedang yang membunuh cahaya?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar