Oleh Mohamad Asrori Mulky
Sejarah Banten laksana kitab agung yang
ditulis dengan darah perjuangan, doa para wali, dan airmata rakyat yang tak
pernah tunduk pada penjajahan dan tirani. Dari tanah para jawara dan ulama
inilah lahir nama-nama besar yang suaranya menembus batas pesisir, menyeberangi
samudra, hingga bergema ke jantung dunia Islam.
Di antara gugusan bintang yang bertabur di
langit sejarah Nusantara, khususnya di tanah para jawara, ada satu cahaya yang
tak pernah redup meski abad telah berganti: Syekh Abdul Karim al-Bantani. Ia
adalah mursyid agung tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, yang
mengajarkan dzikir di satu sisi dan meniupkan api perlawanan di sisi lain.
Dalam dirinya, kesalehan tidak pernah
tercerabut dari keberanian. Zikir yang diajarkannya bukanlah sekadar getaran
lidah yang meruapkan keheningan, melainkan getaran jiwa yang menghidupkan
keberanian untuk menentang tirani para penjajah. Doa yang dirapalnya tidak
berhenti pada kata yang terbang ke langit, tetapi menjelma menjadi kekuatan
yang membakar dada-dada para muridnya agar tegak menghadapi penindasan.
Syekh Abdul Karim al-Bantani adalah contoh
nyata bahwa tarekat bukan sekadar jalan menuju Tuhan dalam ruang-ruang privat,
melainkan juga energi kolektif yang menggerakkan umat. Majelis dzikir yang
dipimpinnya di Banten, Makkah, dan berbagai tempat, bukan hanya ruang
perenungan batin, melainkan juga kawah candradimuka tempat umat belajar
solidaritas, keberanian, dan tekad perlawanan.
Dari sana lahir murid-murid yang kemudian
menjadi ujung tombak peristiwa besar seperti Geger Cilegon 1888, sebuah
letupan amarah rakyat yang telah lama terpendam di bawah cengkeraman kolonial. Murid-muridnya
seperti KH. Wasid, KH. Tubagus Ismail, dan Haji Sangadeli bangkit menggerakkan
perlawanan, meski pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan Belanda dengan
kekerasan.
Para peneliti, seperti Martin van Bruinessen
dan Azyumardi Azra, menyebut sosok semacam Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai
simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara di Makkah, yang tidak hanya
mengajarkan ilmu, tetapi juga menyemai benih kebangkitan. Ia menjadi bukti
bahwa sufisme di Nusantara tidak pernah steril dari sejarah sosial, melainkan
ikut menorehkan tinta dalam kitab perjuangan bangsa.
Selain meninggalkan jejak perjuangan, Syekh
Abdul Karim al-Bantani juga menorehkan tinta ilmu. Salah satu karyanya yang
masyhur adalah Risalah Silsilah al-Thariqatain al-Qadiriyyah wa
al-Naqsyabandiyyah, disusun bersama Syekh Ibrahim Brumbung Demak. Karya ini
melanjutkan spirit Fathul Arifin, catatan ceramah ruhani yang pertama
kali dihimpun di Makkah pada 1295 H oleh Syekh Muhammad Ismail bin Abdurrahim,
murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Melalui karya-karya inilah, ia
meletakkan batu fondasi penyebaran tarekat di bumi Nusantara.
Syekh Abdul Karim al-Bantani lahir sekitar
tahun 1840 di Desa Lempuyang, Tanara, Serang. Ia tumbuh dalam keluarga yang
darahnya berdenyut dengan tradisi keilmuan dan perjuangan. Garis keturunannya
bersambung kepada Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah, pendiri Kesultanan
Banten sekaligus putra Sunan Gunung Jati. Sepupunya, Syekh Nawawi al-Bantani,
kelak menjadi imam besar Masjidil Haram, simbol ulama kosmopolitan Nusantara.
Dari mata air keluarga ini, Abdul Karim menyerap wibawa, kecerdasan, dan
keteguhan hati.
Jalan ilmunya bermuara hingga ke tanah suci
Makkah, pusat cahaya yang memanggil jiwa-jiwa pencari. Di sana, Syekh Abdul
Karim al-Bantani menambatkan langkahnya pada seorang guru besar, Syekh Ahmad
Khatib Sambas—pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah di Nusantara.
Dari tangan sang mursyid agung itu ia memperoleh pengetahuan lahir dan juga
rahasia batin yang menautkan syariat dengan hakikat, zikir dengan amal,
keheningan dengan keberanian.
Dari gurunya itu, Syekh Abdul Karim
al-Bantani mewarisi sanad ilmu dan amanah kepemimpinan tarekat, sebuah mata
rantai rohani yang menghubungkan para salik di Nusantara dengan sumber mata air
spiritualitas di Hijaz. Dengan begitu, Syekh Abdul Karim tidak hanya mengulang
apa yang telah diajarkan, tetapi juga melanjutkan estafet tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyyah, meneguhkan dirinya sebagai penjaga dan penerus jalan
sufi yang berakar kuat di bumi Arab sekaligus tumbuh subur di tanah airnya.
Hingga akhir hayatnya, ia memilih menetap di
Makkah, menjaga lentera tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah. Tahun
wafatnya hingga kini terselubung kabut sejarah, seakan Allah sengaja menyimpan
rahasianya. Seusai kepergiannya, corak penyebaran tarekat itu di Indonesia tak
lagi terpusat, melainkan berakar dalam banyak kepemimpinan lokal. Namun, jejak Syekh
Abdul Karim al-Bantani tetap bercahaya. Dzikir dan wiridnya bergetar di
desa-desa, menembus keheningan malam, mengisi jiwa ribuan pengikut.
Sepak terjang dan perjuangan Syekh Abdul
Karim al-Bantani akan tetap hidup dalam ingatan banyak orang, terutama umat
Islam Indonesia. Ia bukan sekadar mursyid yang menuntun dalam dzikir, melainkan
penipu api jihad yang menjahit jalan tasawuf dengan keberanian melawan
tirani. Namanya mungkin tak tercatat megah dalam dokumen kolonial, tetapi doa,
darah, dan dzikirnya masih berdetak dalam denyut sejarah bangsa. Ia adalah
pelita dalam malam panjang penjajahan, yang cahayanya masih menuntun kita
hingga hari ini.