Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 12 September 2025

Syekh Abdul Karim al-Bantani: Mursyid Peniup Api Jihad

Jumat, September 12, 2025 0


 

Oleh Mohamad Asrori Mulky


Sejarah Banten laksana kitab agung yang ditulis dengan darah perjuangan, doa para wali, dan airmata rakyat yang tak pernah tunduk pada penjajahan dan tirani. Dari tanah para jawara dan ulama inilah lahir nama-nama besar yang suaranya menembus batas pesisir, menyeberangi samudra, hingga bergema ke jantung dunia Islam.

 

Di antara gugusan bintang yang bertabur di langit sejarah Nusantara, khususnya di tanah para jawara, ada satu cahaya yang tak pernah redup meski abad telah berganti: Syekh Abdul Karim al-Bantani. Ia adalah mursyid agung tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, yang mengajarkan dzikir di satu sisi dan meniupkan api perlawanan di sisi lain.

 

Dalam dirinya, kesalehan tidak pernah tercerabut dari keberanian. Zikir yang diajarkannya bukanlah sekadar getaran lidah yang meruapkan keheningan, melainkan getaran jiwa yang menghidupkan keberanian untuk menentang tirani para penjajah. Doa yang dirapalnya tidak berhenti pada kata yang terbang ke langit, tetapi menjelma menjadi kekuatan yang membakar dada-dada para muridnya agar tegak menghadapi penindasan.

 

Syekh Abdul Karim al-Bantani adalah contoh nyata bahwa tarekat bukan sekadar jalan menuju Tuhan dalam ruang-ruang privat, melainkan juga energi kolektif yang menggerakkan umat. Majelis dzikir yang dipimpinnya di Banten, Makkah, dan berbagai tempat, bukan hanya ruang perenungan batin, melainkan juga kawah candradimuka tempat umat belajar solidaritas, keberanian, dan tekad perlawanan.

 

Dari sana lahir murid-murid yang kemudian menjadi ujung tombak peristiwa besar seperti Geger Cilegon 1888, sebuah letupan amarah rakyat yang telah lama terpendam di bawah cengkeraman kolonial. Murid-muridnya seperti KH. Wasid, KH. Tubagus Ismail, dan Haji Sangadeli bangkit menggerakkan perlawanan, meski pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan Belanda dengan kekerasan.

 

Para peneliti, seperti Martin van Bruinessen dan Azyumardi Azra, menyebut sosok semacam Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara di Makkah, yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyemai benih kebangkitan. Ia menjadi bukti bahwa sufisme di Nusantara tidak pernah steril dari sejarah sosial, melainkan ikut menorehkan tinta dalam kitab perjuangan bangsa.

 

Selain meninggalkan jejak perjuangan, Syekh Abdul Karim al-Bantani juga menorehkan tinta ilmu. Salah satu karyanya yang masyhur adalah Risalah Silsilah al-Thariqatain al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah, disusun bersama Syekh Ibrahim Brumbung Demak. Karya ini melanjutkan spirit Fathul Arifin, catatan ceramah ruhani yang pertama kali dihimpun di Makkah pada 1295 H oleh Syekh Muhammad Ismail bin Abdurrahim, murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Melalui karya-karya inilah, ia meletakkan batu fondasi penyebaran tarekat di bumi Nusantara.

 

Syekh Abdul Karim al-Bantani lahir sekitar tahun 1840 di Desa Lempuyang, Tanara, Serang. Ia tumbuh dalam keluarga yang darahnya berdenyut dengan tradisi keilmuan dan perjuangan. Garis keturunannya bersambung kepada Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah, pendiri Kesultanan Banten sekaligus putra Sunan Gunung Jati. Sepupunya, Syekh Nawawi al-Bantani, kelak menjadi imam besar Masjidil Haram, simbol ulama kosmopolitan Nusantara. Dari mata air keluarga ini, Abdul Karim menyerap wibawa, kecerdasan, dan keteguhan hati.

 

Jalan ilmunya bermuara hingga ke tanah suci Makkah, pusat cahaya yang memanggil jiwa-jiwa pencari. Di sana, Syekh Abdul Karim al-Bantani menambatkan langkahnya pada seorang guru besar, Syekh Ahmad Khatib Sambas—pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah di Nusantara. Dari tangan sang mursyid agung itu ia memperoleh pengetahuan lahir dan juga rahasia batin yang menautkan syariat dengan hakikat, zikir dengan amal, keheningan dengan keberanian.

 

Dari gurunya itu, Syekh Abdul Karim al-Bantani mewarisi sanad ilmu dan amanah kepemimpinan tarekat, sebuah mata rantai rohani yang menghubungkan para salik di Nusantara dengan sumber mata air spiritualitas di Hijaz. Dengan begitu, Syekh Abdul Karim tidak hanya mengulang apa yang telah diajarkan, tetapi juga melanjutkan estafet tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, meneguhkan dirinya sebagai penjaga dan penerus jalan sufi yang berakar kuat di bumi Arab sekaligus tumbuh subur di tanah airnya.

 

Hingga akhir hayatnya, ia memilih menetap di Makkah, menjaga lentera tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah. Tahun wafatnya hingga kini terselubung kabut sejarah, seakan Allah sengaja menyimpan rahasianya. Seusai kepergiannya, corak penyebaran tarekat itu di Indonesia tak lagi terpusat, melainkan berakar dalam banyak kepemimpinan lokal. Namun, jejak Syekh Abdul Karim al-Bantani tetap bercahaya. Dzikir dan wiridnya bergetar di desa-desa, menembus keheningan malam, mengisi jiwa ribuan pengikut.

 

Sepak terjang dan perjuangan Syekh Abdul Karim al-Bantani akan tetap hidup dalam ingatan banyak orang, terutama umat Islam Indonesia. Ia bukan sekadar mursyid yang menuntun dalam dzikir, melainkan penipu api jihad yang menjahit jalan tasawuf dengan keberanian melawan tirani. Namanya mungkin tak tercatat megah dalam dokumen kolonial, tetapi doa, darah, dan dzikirnya masih berdetak dalam denyut sejarah bangsa. Ia adalah pelita dalam malam panjang penjajahan, yang cahayanya masih menuntun kita hingga hari ini.

Kamis, 11 September 2025

Pintu Ketaatan, Pintu Penerimaan

Kamis, September 11, 2025 0

 


ربما فتح باب الطاعة وما فتح لك باب القبول, وربما قضى عليك بالذنب فكان سببا للوصول

 

"Barangkali Allah membukakan bagimu pintu ketaatan, namun belum membukakan pintu penerimaan. Dan barangkali Dia menetapkan atasmu sebuah dosa, yang justru menjadi sebab engkau sampai kepada-Nya."

 

— Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam

 

Pintu Ketaatan, Pintu Penerimaan

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Sering kali manusia terperdaya oleh gemerlap amalnya sendiri. Kita merasa sudah berpuasa, bersedekah, berdoa, mendirikan solat ribuan rakaat, dan menunaikan berbagai bentuk ibadah, lalu hati kecil berbisik, “Aku pasti dekat dengan-Nya.”

 

Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari dalam Al Hikam, tidak setiap amal yang tampak sebagai ketaatan otomatis diterima di sisi Allah. Ada kalanya ibadah itu hanya menampilkan rupa lahiriah, sementara isinya rapuh, tergerus riya, kesombongan, atau rasa cukup pada diri.

 

Bayangkan seorang alim yang setiap hari menebarkan ilmu dari atas mimbar, disanjung banyak orang karena keluasan wawasannya. Namun, diam-diam dalam hatinya tumbuh perasaan lebih tinggi dari yang lain. Ia merasa paling suci, paling benar, dan paling dekat dengan Allah. Pada titik itulah, pintu ketaatan bisa tampak terbuka lebar, namun sesungguhnya pintu penerimaan justru terkunci rapat.

 

Sebaliknya, ada seorang hamba yang terjerat dosa. Berlumur debu kemaksiatan. Ia jatuh, lalu menangis sendirian, menanggung sesak penyesalan yang menghimpit dadanya. Dari keterpurukan itu, ia belajar rendah hati. Ia menemukan betapa manusia begitu rapuh dan betapa ia sangat bergantung pada Allah. Terkadang justru dari air mata tobat itu, pintu penerimaan terbuka luas, mengundang kasih sayang Ilahi.

 

Di sinilah letak paradoks agung kehidupan spiritual: sesuatu yang tampak mulia di mata manusia belum tentu bernilai di sisi Allah, dan sesuatu yang tampak hina di mata dunia bisa justru menjadi jalan menuju keselamatan.

 

Ketaatan, yang di mata lahiriah terhitung sebagai amal suci, tidak otomatis menghadirkan kedekatan dengan Sang Pencipta. Sebab, yang memberi ruh pada amal bukanlah gerak tubuh semata, melainkan sikap batin yang melandasinya. Bila sebuah ibadah diliputi rasa sombong, riya, atau perasaan diri paling suci, maka ibadah itu berubah menjadi dinding yang menutup jalan menuju Allah. Amal lahirnya ada, tetapi jiwanya sirna.

 

Sebaliknya, dosa yang tampak sebagai noda hitam dalam perjalanan hidup manusia tidak selalu membawa kebinasaan. Terkadang, justru dari keterjerembaban dalam dosa, lahirlah kesadaran akan rapuhnya diri. Dari kejatuhan itu, manusia belajar untuk menunduk, untuk menangis, untuk merasakan perihnya jauh dari Allah. Air mata penyesalan itulah yang menjadi hujan, membersihkan karat hati, lalu membuka pintu yang selama ini terkunci.

 

Karena itu, ukuran kedekatan dengan Allah bukanlah pada banyaknya amal yang ditumpuk atau sedikitnya dosa yang dilakukan, melainkan pada keadaan hati. Hati yang terjerat kesombongan, meski dikelilingi ketaatan, ibarat tanah subur yang tertutup batu keras—benih tidak akan pernah tumbuh. Tetapi hati yang luluh karena penyesalan, meski penuh luka oleh dosa, ibarat tanah kering yang menerima tetes hujan—dari situlah tumbuh tunas kehidupan baru.



Inilah paradoks yang sering dilupakan: bahwa Allah lebih dekat dengan hati yang hancur karena penyesalan daripada dengan hati yang membusung oleh kebanggaan atas amal. Sebab, Allah tidak melihat rupa dan perbuatan lahiriah manusia semata, melainkan menilai apa yang berdiam di dalam hati.

 

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan, “Dosa yang membuatmu rendah hati di hadapan Allah lebih berharga daripada ketaatan yang melahirkan kesombongan.” Sebuah ungkapan yang berpaut erat dengan hikmah Ibnu ‘Athaillah: nilai amal bukan hanya terletak pada bentuknya, melainkan pada ruh yang menghidupinya.

 

Kebanyakan manusia terlalu mencintai kebaikan dirinya sendiri hingga lupa pada kesalahan dan kerendahan diri sendiri. Dosa bisa menjadi luka, tetapi justru melalui luka itu seseorang menemukan jalan pulang menuju Allah. Kebaikan yang melahirkan kesombongan lebih berbahaya daripada dosa yang menyadarkan.

 

Kata-kata mutiara penuh hikmah dari Ibnu ‘Athaillah di atas menuntun kita pada keseimbangan batin: jangan terpedaya oleh tumpukan amal, dan jangan terhempas oleh dosa. Amal tanpa keikhlasan ibarat tubuh tanpa jiwa, sementara dosa yang ditingkahi tobat bisa menjadi tangga menuju kemurnian hati.

 

Hidup ini adalah perjalanan panjang melewati dua pintu: ketaatan dan penerimaan. Pintu pertama bisa tampak terbuka, namun tanpa yang kedua, kita tetap terhenti di ambang jalan. Maka jangan pernah berbangga pada amal, dan jangan pula berputus asa oleh dosa. Yang terpenting adalah hati yang terus merendah, senantiasa mengetuk pintu-Nya dengan penuh pengharapan.

 

Sebagaimana doa para arif: “Ya Allah, jangan Engkau tutup mata hati kami dengan ketaatan yang membuat kami angkuh, dan jangan pula Kau biarkan kami binasa oleh dosa yang menjerumuskan. Bukalah pintu penerimaan-Mu, agar perjalanan hidup kami berakhir dalam pelukan kasih-Mu.”

Nepokids, Perlawanan, dan Martabat yang Diperjuangkan

Kamis, September 11, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Nepal, negeri yang atapnya menyentuh langit, kerap tampak megah dari kejauhan—puncak-puncak Himalaya menjulang laksana baris puisi yang tak pernah runtuh, sementara lembahnya mengalirkan sungai seakan ayat purba yang terus dibacakan. Akan tetapi, di balik panorama yang memesona itu, bersemayam kenyataan getir: kemiskinan yang tak kunjung lepas, politik yang sering tersesat di lorong kuasa, dan generasi muda yang tumbuh dengan peluang serba rapuh.

 

Kathmandu, ibu kota Nepal, yang biasanya berdenyut dengan doa di kuil-kuil kuno, kini menjelma samudra manusia. Jalan-jalan yang dulu mengantar peziarah menuju stupa dan mandir, berubah menjadi panggung amarah: spanduk menjulang, slogan diserukan, dan teriakan rakyat bergemuruh, pecah seperti petir di lembah Himalaya.

 

Anak muda, aktivis, hingga rakyat jelata turun dengan dada yang terbakar. Kemarahan mereka bukan sekadar pada korupsi yang merajalela, melainkan pada sistem yang sejak lama dirasa pincang—panggung tempat segelintir elite menari di atas penderitaan rakyat, sementara anak-anak mereka, para Nepokids, menapaki jalan kuasa seolah tahta adalah warisan keluarga.

 

Nepotisme di Nepal tak lagi bersembunyi di balik kabar burung; ia tampil terang, bahkan dipamerkan tanpa malu. Rakyat menyaksikan bagaimana putra-putri para pemimpin besar—perdana menteri dan pejabat tinggi—dengan mudah memperoleh panggung politik. Dinasti yang berjalan seperti kerajaan lama, di mana darah lebih dipuja daripada kompetensi, silsilah lebih dihormati daripada jerih payah.

 

Di sinilah istilah global nepo baby dan nepo kids menemukan gema paling getirnya. Mula-mula hanya sindiran di dunia hiburan—anak aktor atau musisi yang bersinar karena bayangan orang tua mereka. Namun di Nepal, istilah itu menjadi pisau kritik: tanda bahwa kekuasaan diwariskan, sementara anak-anak muda yang cerdas dan berpendidikan harus puas menunggu di pintu yang tak pernah terbuka.

 

Di satu sisi, para Nepokids menari di pesta, memamerkan kemewahan di layar gawai. Di sisi lain, rakyat kecil menghitung recehan untuk beras, anak-anak berjalan jauh demi sekolah, dan generasi muda berteriak menuntut kesempatan yang adil.

 

Suara lantang Shree Gurung, seorang pemuda di tengah demonstrasi, menjadi gema generasinya: “Kami menuntut akuntabilitas. Kami menuntut penyelidikan. Kami menolak korupsi ini, kemewahan ini, dan anak-anak politisi yang menjadikan penderitaan kami sebagai panggung bagi gaya hidup mereka.” Suara itu berpadu dengan ribuan lainnya, menjelma simfoni kemarahan yang mengguncang jantung Kathmandu.

 

Namun, api protes berubah menjadi badai yang tak terbendung. Rumah-rumah pejabat dibakar, istri seorang mantan perdana menteri tewas, para menteri dipukul, bahkan ada yang ditelanjangi dan dikejar massa. Api bukan hanya membakar gedung-gedung, tapi juga kesabaran rakyat. Negara kini berada di bawah bayang-bayang militer, dengan puluhan nyawa sudah melayang. Sementara ratusan tubuh roboh dihantam senjata militer.

 

Nepal, negeri yang dulu dipuja karena ketenangan spiritualnya, kini menjelma panggung tragedi politik. Sebuah paradoks yang getir: puncaknya menyentuh langit, namun politiknya terperosok ke lumpur.

Pertanyaannya: apakah dari bara ini sebuah bangsa bisa lahir kembali? Ataukah amarah hanya akan melanggengkan siklus dendam dan dinasti?

 

Albert Camus dalam The Rebel pernah menulis, bahwa pemberontakan bukanlah kehendak untuk menghancurkan, melainkan seruan untuk hidup bermartabat. Kata-kata itu seakan menjelma nyata di jalan-jalan Kathmandu. Jeritan rakyat bukan sekadar murka, melainkan permintaan untuk hidup tanpa diperbudak dinasti, tanpa belenggu warisan kekuasaan.

 

Hannah Arendt, sang pemikir kebebasan, mengingatkan, bahwa kekuasaan lahir ketika manusia bertindak bersama, bukan ketika ia diwariskan. Ujian itu kini dihadapi Nepal—apakah kebersamaan rakyat bisa melahirkan tatanan baru, atau sekali lagi akan dilumpuhkan oleh militer dan dinasti yang enggan tumbang?

 

Tragedi Nepal adalah cermin dunia. Dinasti dan nepo kids hadir di banyak negeri, menutup jalan bagi mereka yang ingin bermimpi. Namun seperti Himalaya yang tetap tegak meski diguncang gempa, rakyat Nepal menunjukkan bahwa martabat tak pernah diwariskan; ia hanya bisa diperjuangkan.

 

Jalanan Kathmandu bukan lagi sekadar ruang protes. Ia menjelma altar, tempat rakyat berdoa dengan darah dan pekikan. Doa agar lahir dunia baru, di mana nama keluarga bukan tiket menuju singgasana, dan setiap anak bangsa punya hak yang sama untuk menulis masa depannya.

 

Dan di bawah bayangan Himalaya yang agung, rakyat Nepal sedang menulis puisi mereka sendiri—sebuah puisi tentang kebebasan, tentang keberanian, dan tentang cinta yang tak pernah padam pada tanah air.

Rabu, 10 September 2025

Cak Nur: Lilin Pembaruan dalam Gelapnya Zaman

Rabu, September 10, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ibarat lilin yang menyinari gelapnya malam. Meski sinarnya tak bisa menerangi seluruh lorong kosong, tapi cahayanya mampu memberi arah bagi mereka yang mau pulang ke jalan yang terang.

 

Gagasan Pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) seperti lilin. Terangnya baru menyusup ke sebagian kecil alam pikir manusia Indonesia. Dan di sebagian yang lain, gelap itu masih begitu pekat menyelimuti, terhalang dogmatisme agama yang mengangkangi nalar kritis kita.

 

Memang, tidak semua orang bisa mengikuti setiap seruan yang datang. Bahkan bila seruan itu diarahkan pada jalan kebenaran sekali pun, tetap saja akan masih ada yang menolaknya, bahkan mencibirnya sebagai yang aneh dan nyeleneh.

 

Namun demikian, sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menyalakan cahaya di tengah pekatnya malam. Cak Nur adalah penyalur nyala itu, penggerak ruh pembaruan, dan pengingat bahwa agama bukanlah bekuan dogma yang membatu, melainkan mata air yang senantiasa mengalir, menyuburkan tanah kehidupan.

 

Cak Nur mengingatkan umat bahwa ungkapan “Islam yes, partai Islam no” bukanlah sekadar jargon politik, melainkan sebuah kesadaran historis dan spiritual yang sejati. Ia ingin menegaskan bahwa Islam terlalu agung untuk dikecilkan dalam kotak sempit partai atau kendaraan politik praktis. Bagi Cak Nur, Islam adalah sumber nilai, inspirasi moral, dan energi transendental yang harus menjiwai seluruh denyut kehidupan bangsa.

 

Slogan itu lahir bukan untuk menolak peran Islam dalam ruang publik, melainkan untuk mengangkat martabat agama agar tidak jatuh menjadi alat rebutan kekuasaan yang fana. Dengan begitu, Islam tetap hadir sebagai cahaya yang memandu, bukan sebagai bendera yang diperebutkan; sebagai rumah bersama, bukan sekadar markas bagi segelintir orang yang haus kuasa.

 

Konon, Azyumardi Azra pernah menyebut Cak Nur sebagai “anak zaman” yang paling berhasil menangkap denyut modernitas tanpa kehilangan akar tradisi. Pembaruan yang ditawarkan Cak Nur bukanlah pemutusan tali sejarah, melainkan upaya menyalakan kembali suluh peradaban Islam yang pernah begitu gemilang.

 

Cak Nur adalah jembatan yang kokoh sekaligus lentur, yang menghubungkan Islam Indonesia dengan percakapan intelektual global. Dari riak pemikiran di kampung-kampung pesantren hingga pusaran wacana akademik dunia, ia hadir sebagai penghubung yang membuat Islam Nusantara tidak terjebak dalam lingkaran sempit lokalitas, tetapi juga tidak kehilangan akarnya yang membumi.

 

Ia mampu mengaitkan Timur Tengah dengan Indonesia, menghidupkan kembali warisan klasik sembari membuka pintu lebar terhadap tantangan modernitas. Ia menjadikan Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan al-Farabi akrab dalam ruang pikir mahasiswa Indonesia, tetapi pada saat yang sama memperkenalkan suara nyaring John Locke, Kant, atau Harvey Cox ke dalam percakapan keislaman di tanah air.

 

Cak Nur telah meninggalkan kita sejak 2005. Namun nyala lilinnya masih ada, menyala di ruang-ruang akademik, dalam percakapan publik, dan di hati mereka yang merindukan Islam yang sejuk dan mencerahkan. Tugas kita bukanlah mengkultuskan Cak Nur, tetapi meneruskan semangatnya, menghidupkan kembali gagasan-gagasannya, dan menyalakan api baru di tengah generasi yang haus arah.

 

Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa setiap generasi memikul tugas untuk menjadi “penjaga api”. Bukan sekadar menyalin gagasan Cak Nur, melainkan merawat ruh pembaruan itu, menyesuaikannya dengan tantangan zaman. Karena, sebagaimana dikatakan Greg Barton, “modernisasi Islam ala Nurcholish Madjid adalah proyek yang belum selesai.” Ia adalah jalan panjang yang memerlukan keberanian, ketekunan, dan kejernihan visi.


Seperti lilin yang terus berpindah tangan, cahaya itu tak boleh padam. Ia harus dirawat, dijaga, dan diperbanyak. Sebab hanya dengan cara itulah, pembaruan pasca-Cak Nur akan terus hidup, tidak redup, bahkan semakin terang menyinari masa depan bangsa ini. 

Sabtu, 30 Agustus 2025

Affan, Camus, dan Pemberontakan Moral Rakyat

Sabtu, Agustus 30, 2025 0



Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Albert Camus, filsuf kelahiran Aljazair yang menulis dalam bahasa Prancis, pernah menegaskan dalam The Rebel: “I rebel—therefore we exist” [Aku memberontak, maka kita ada]. Pernyataan ini bukan sekadar semboyan, melainkan pengakuan eksistensial: bahwa pemberontakan adalah bahasa moral terakhir manusia, seruan yang lahir ketika martabat dan harga diri diinjak, ketika absurditas dan ketidakadilan menutup semua jalan.

 

Hari ini, kata-kata Camus itu seolah menemukan panggung baru di Indonesia. Jalan-jalan yang biasanya riuh oleh iklan dan lalu lintas kini dipenuhi teriakan, api, dan gas air mata. Di tengahnya, nama “Affan Kurniawan” bergema: seorang pemuda pengemudi ojek online, pulang yang tak pernah sampai, nyawa yang terputus di bawah roda kendaraan taktis aparat yang bringas.

 

Affan bukan sekadar korban. Ia menjelma simbol, mantra luka yang menyatukan duka rakyat. Kita mengenalnya dalam wajah-wajah kecil sehari-hari: pengantar makan siang, penjemput anak sekolah, pekerja yang menukar waktu dengan sebutir nasi. Ketika nyawa seperti itu melayang, rakyat tak hanya berduka—mereka merasa dikhianati. Sebab negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menjelma bayangan yang menakutkan.

 

Maka, ketika massa turun ke jalan menyebut nama Affan untuk menyuarakan keadilan, itu bukan sekadar amarah buta. Ia adalah “an appeal to the essence of being”—seruan menuju hakikat keberadaan, kata Camus. Dalam setiap teriakan massa tersembunyi kerinduan: kerinduan akan republik yang berjiwa akan keadilan yang hilang.

 

Camus pernah menulis: “Real generosity toward the future lies in giving all to the present.” Maka, apa yang kita saksikan hari ini—jeritan massa, lautan manusia yang meluber di jalanan, dentuman amarah yang tak terbendung—bukanlah kebrutalan tanpa arah. Ia adalah kemurahan hati paling getir: pengorbanan rakyat hari ini agar anak-anak mereka kelak tak lagi mewarisi republik yang koyak, negeri yang terus dipasung oleh ketidakadilan.

 

Pemberontakan rakyat, dalam pandangan Camus, bukanlah kehancuran yang membabi buta. Ia adalah ikhtiar terakhir untuk menyelamatkan jiwa kehidupan bersama. Sebab republik yang menutup pintu keadilan, pada hakikatnya sedang menggali kuburnya sendiri. Republik semacam itu, kata Camus, bukanlah rumah masa depan—ia hanyalah reruntuhan yang menunggu saatnya ambruk.

 

Karena itulah ribuan massa hari ini tak hanya berteriak; mereka meraung. Gedung dewan tak hanya diserbu; ia dilalap api sebagai simbol dari nurani yang dikhianati. Nama Affan tak sekadar disebut; ia menjelma mantra kolektif, menggelegar di udara bersama asap ban yang terbakar. Semua itu bukanlah ledakan murka liar, melainkan penegasan keras: rakyat menuntut agar republik ini kembali berakar pada nurani, atau ia akan kehilangan makna keberadaannya sendiri.

 

Andai Camus masih berjalan di bumi hari ini, barangkali ia akan menundukkan wajahnya lalu berbisik: jangan salah baca kemarahan rakyat. Itu bukan ancaman, melainkan tanda bahwa bangsa ini masih menyimpan jiwa. Sebab yang lebih menakutkan dari rakyat yang marah adalah rakyat yang bungkam; yang lebih mematikan dari teriakan di jalan adalah keheningan yang pasrah, bangsa yang kehilangan asa.

 

Kematian Affan adalah garis api, titik tak kembali. Di sanalah sejarah memisahkan antara republik yang masih hidup dengan republik yang sudah membusuk. Amarah rakyat yang meledak hari ini bukan sekadar teriakan, melainkan jeritan moral terakhir, doa yang menggelegar agar negara ingat kembali tugas sucinya: bukan mencabut nyawa warganya, melainkan menjaga kehidupan mereka.

 

Camus pernah menulis bahwa setiap pemberontakan lahir dari kerinduan akan kepolosan. Kerinduan itulah yang kini menggelegar di jalanan negeri ini. Amarah rakyat bukan kehancuran, melainkan doa keras yang menghantam langit: tuntutan agar republik berhenti menutup pintu keadilan. Sebab keadilan bukan perhiasan yang bisa ditunda, ia adalah fondasi yang menentukan: apakah bangsa ini tumbuh sebagai rumah, atau runtuh sebagai puing.

 

Dan jika suara rakyat terus diabaikan, jangan salahkan siapa pun ketika republik ini roboh oleh luka yang ia goreskan pada tubuhnya sendiri. Tetapi bila jeritan itu didengar, bila nurani kembali dijadikan akar kebijakan, maka dari darah Affan akan lahir republik baru: republik yang tidak lagi menjadikan rakyat korban, melainkan menyalakan mereka sebagai jiwa. Republik yang kembali merawat keadilan—bukan sebagai jargon kosong—tetapi sebagai rumah terakhir bagi kita semua.



Sabtu, 23 Agustus 2025

Subulussalam: Tiga Puluh Lima Tahun Menjaga Jalan-Jalan Keselamatan

Sabtu, Agustus 23, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Aku masih menyimpan dengan utuh ingatan tentang hari pertama ketika kaki ini menjejak gerbang Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek, Tangerang. Waktu itu, adzan zuhur sedang berkumandang, melayang di antara terik matahari yang begitu menyala, seolah langit hendak menguji keteguhan langkah seorang anak muda yang datang dengan sejuta harap dari daerah terpencil bernama Jiput. Panas menyengat dahi hingga meneteskan peluh, tetapi justru di dalam dada tumbuh getar bahagia yang tak tertahankan: inilah hari pertama, saat sebuah perjalanan panjang dimulai—perjalanan menuju rumah kedua, sekolah jiwa, ladang ilmu, dan samudra pengalaman yang tak akan pernah kering.

 

Dari kejauhan, mataku menangkap sosok seorang kiai luhur dengan ilmu dan kharisma, keluar dari rumah sederhana. Beliau berjalan dengan langkah tenang menuju mushala, hendak mengimami santri yang telah menunggu. Seketika, seolah ada takdir kecil yang bekerja, beliau menoleh ke arahku—anak asing yang masih berdiri ragu di depan gerbang. Wajah kiai itu begitu teduh, matanya penuh kasih, dan sebuah senyum menawan mengembang ke arahku bagai cahaya fajar yang menyejukkan sisa-sisa malam yang dingin. Senyum itu seolah berbicara tanpa kata: “Selamat datang, anakku. Di sinilah engkau akan belajar, ditempa, dan dibimbing.”

 

Sekejap panas yang menguasai udara siang itu luruh oleh kesejukan batin. Di hadapan senyum itu, aku tak lagi merasa asing. Aku merasa pulang ke rumahku sendiri.

 

Kiai itu bernama KH. Ahmad Maimun Alie, MA. Beliau telah "berpulang", kembali kepangkuan Illahi dengan tenang dan damai. Aku merasa pertemuan pertama dengan senyum beliau saat itu menjadi penanda perjalanan rohani yang panjang. Dari senyum itulah aku belajar, bahwa pesantren bukan semata ruang untuk menimba ilmu, melainkan rumah kasih sayang, tempat di mana senyum guru adalah doa, tatapan beliau adalah pelita, dan bimbingannya adalah jalan keselamatan. Harapan yang tadinya samar, tiba-tiba berubah menjadi keyakinan yang bulat: di Subulussalam, aku akan menemukan cahaya.

 

Mistikus Islam Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Apa yang berasal dari hati, akan sampai ke dalam hati.” Senyum sang kiai itulah bahasa hati yang tak pernah usang; sebuah bahasa kasih yang menembus segala jarak. Dan benar adanya pepatah Arab yang diwariskan para ulama: “Al-mu’allim rahmah, wal-mu’allim siraj.” Guru adalah rahmat, guru adalah pelita.

 

Maka sejak detik itu aku memahami, bahwa ilmu tidak hanya tumbuh dari buku, melainkan juga dari sikap, dari tatapan, dari senyum yang lahir dari jiwa seorang kiai. Seperti yang pernah diungkapkan Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar.” Di Subulussalam, ilmu dan adab berpadu; keduanya mengalir bersama, menjadi sungai jernih yang menuntun santri menuju samudra hikmah.

 

****

 

Dan kini, Subulussalam sudah berusia 35 tahun. Di usia tiga puluh lima tahun ini seolah menjadi jeda yang bening: sebuah titik koma dalam kalimat panjang sejarah, saat kita menoleh ke belakang dengan rasa syukur dan menatap ke depan dengan nyala harap. Tiga puluh lima tahun bukan sekadar hitungan musim; ia adalah anyaman pagi yang tekun, malam yang khusyuk, dan siang yang tak henti mengukir kerja—pada buku, pada diri, pada bumi tempat di mana kita berpijak. Di lumbung-lumbung padi Kresek, angin membawa kabar tentang santri yang datang dengan mimpi dan pulang dengan amanah. Di serambi-serambi Subulussalam, ilmu tak pernah berjalan sendirian; ia selalu bergandengan tangan dengan adab agar siapa saja yang mereguknya mendapat kemuliaan.

 

Di sinilah sebuah filosofi merapat ke tubuh ikhtiar: modern tetapi bersujud, maju tanpa kehilangan arah kiblat. Nurcholish Madjid atau yang biasa disapa Cak Nur pernah mengingatkan dengan jernih, “Modernisasi adalah rasionalisasi, bukan Westernisasi.” Kalimat ini, ringkas namun bernas, seolah menjadi janji diam-diam yang dijaga Subulussalam: bahwa pembaruan bukan penyeragaman, bahwa sains dan teknologi adalah alat kebajikan bila dipandu cahaya kalam. Maka kurikulum—seperti sungai yang bertemu muara—menyatukan fikih dan fisika, balaghah dan biologi, ushuluddin dan ilmu data. Di kelas-kelas yang terang, ayat-ayat kauniyah dibaca dengan rasa ingin tahu yang riang, sementara ayat-ayat qauliyah dilafazkan dengan hati yang rendah.

 

Abdurrahman Wahid, Gus Dur, mengingatkan jejak identitas yang khas itu ketika ia menulis, “Pesantren adalah subkultur.” Bukan sekadar institusi, pesantren menyimpan ekologi nilai, ritme sosial, dan tata rasa yang memerdekakan. Di dalam subkultur itulah Subulussalam tumbuh: menjaga yang lama yang baik, menyambut yang baru yang lebih baik [المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح]. Subkultur ini mengajari kita cara berjalan di atas dua jalan yang sejajar—tradisi yang meneduhkan dan inovasi yang mencerahkan—tanpa membuat keduanya saling meniadakan.

 

Indonesianis seperti Clifford Geertz pernah menyebut pesantren sebagai “the classical Islamic boarding school”—sebuah pusat pengkaderan santri yang menegaskan ortodoksi sembari berdialog dengan realitas setempat. Martin van Bruinessen menunjukkan bagaimana “kitab kuning” menjadi tulang punggung transmisi ilmu, bukan sebagai fosil masa silam, melainkan sebagai organisme pengetahuan yang terus bernafas melalui syarah, hasyiyah, dan karya-karya baru. Dari bingkai ini, kontribusi Subulussalam terbaca: menjaga kesinambungan sanad intelektual sekaligus mendorong keberanian metodologis untuk menjawab soal-soal kontemporer—ekologi pesisir, ekonomi kreatif, literasi digital, hingga moderasi beragama. Tradisi luhur semacam ini tidak boleh ditepikan, apalagi dihilangkan dari kurikulum pesantren. 

 

Tiga setengah dekade terakhir, Subulussalam menulis kisahnya bukan hanya di kelas-kelas lusuh, tetapi juga di ruang-ruang sosial. Di saat bangsa memerlukan jembatan, pesantren hadir sebagai penyeberangan yang aman: menautkan desa dan kota, sekolah dan keluarga, pasar dan mushala. Ketika negara memerlukan argumen kebangsaan yang lembut namun tegas, santri mengajukan dalil-dalil etika publik: cinta tanah air sebagai kesalehan sosial, ketaatan hukum sebagai bentuk kepatuhan pada kemaslahatan. Di sini gema pemikiran Cak Nur terasa dekat: agama dan negara tak mesti berhadap-hadapan; keduanya dapat bersekutu dalam cita-cita keadaban. Modernisasi, demikian ruh pesannya, menuntut kedewasaan akal—dan pesantren menyediakan disiplin batin agar akal tidak tersesat oleh keangkuhan.

 

Gus Dur menafsirkan peran itu dengan berkali-kali menekankan fungsi pesantren sebagai agen perubahan sosial. Subulussalam mewujudkannya dalam skala yang setia sekaligus kreatif: program pengabdian yang merangkul warga, literasi yang menghidupkan balai, pelatihan wirausaha yang mengubah bakat menjadi manfaat, dan teladan toleransi yang tak lelah menenangkan perbincangan-perbincangan yang bising. Di halaman pesantren, keberagamaan menjadi taman: tiap bunga tumbuh sesuai warna, tiap harum saling menguatkan, dan tanahnya disirami oleh adab—adab pada ilmu, pada guru, pada sesama.

 

Sejak semula, pesantren mendidik manusia utuh: jasad yang terlatih, akal yang cermat, dan ruh yang teduh. Subulussalam menambahkan aksen zamannya: kecakapan abad ke-21. Santri belajar merangkai argumen seteliti ulama ushul, menulis laporan setertib auditor, berdiskusi sefixi ruh musyawarah, dan memanfaatkan teknologi seperti tukang kayu memegang pahat—sadar alat, tahu batas. Ilmu pengetahuan modern bukan altar, melainkan obor; ia menyala untuk menerangi, bukan menyilaukan. Dan tak ada obor yang abadi jika tak diberi minyak akhlak.

 

Pada usia 35, ada hikmah yang pantas dirayakan, yaitu ketahanan. Ketahanan menghadapi gelombang nasional yang datang silih berganti—krisis literasi, ekonomi, pandemi, fragmentasi sosial, dan polarisasi wacana. Subulussalam bertahan bukan karena keras kepala, tetapi karena luwes—seperti bambu yang lentur namun tak patah. Lentur dalam metode, teguh dalam tujuan. Teguh pada tauhid, lentur pada strategi. Teguh pada akhlak, lentur pada ekspresi budaya. Di sinilah kearifan lokal bertemu universalitas Islam: tradisi Banten yang bersahaja menyalami kosmopolitanisme ilmu.

 

Kontribusi bagi bangsa, negara, dan agama bukan jargon di spanduk ulang tahun; ia hadir sebagai laku harian. Bagi bangsa, Subulussalam menyumbang kohesi sosial: menumbuhkan warga yang sanggup berbeda tanpa bermusuhan, yang hafal doa sekaligus peka data. Bagi negara, ia memanen buah kepatuhan sipil: taat aturan bukan karena takut sanksi, melainkan karena paham makna maslahat. Bagi agama, ia menjaga aliran makna: agar ibadah tidak mengeras menjadi ritual kosong, dan agar syariat tetap berbuah menjadi keadilan dan kasih.

 

Geertz, dengan lensa antropologisnya, pernah memperlihatkan betapa jaringan simbol, ritus, dan pengetahuan di pesantren membentuk struktur makna yang mengikat komunitas. Namun para santri Subulussalam menunjukkan sesuatu yang lebih: bahwa struktur makna itu tak statis. Ia tumbuh bersama pengalaman: menafsir ulang teks tanpa menistakan penulisnya, memelihara tradisi tanpa memenjarakan kemungkinan. Van Bruinessen menandai dinamika ini ketika ia menulis tentang mobilitas intelektual ulama dan santri—pertemuan pasar kitab, halaqah lintas-kota, dan pengetahuan yang berpindah dari rak ke laku.

 

Pada akhirnya, ulang tahun bukanlah tepuk tangan untuk diri sendiri, melainkan pengingat akan amanah. Tiga puluh lima tahun adalah prolog yang panjang; bab-bab berikutnya menunggu keberanian baru. Semoga Subulussalam menjaga tiga keseimbangan: antara dalil dan data, antara zikir dan fikir, antara akar dan sayap. Akar agar tidak tercerabut dari tanah kemanusiaan; sayap agar mampu terbang mengejar cakrawala pengetahuan.

 

Di ambang fajar peringatan ini, mari kita kirimkan doa yang sederhana tetapi dalam: semoga Allah menjaga para guru yang menjadi mata air, para santri yang menjadi sungai, para alumni yang menjadi hujan, dan para orang tua yang menjadi awan peneduh. Semoga Subulussalam terus mengukir jejak yang halus namun kuat—jejak ilmu yang menyala tetapi menenangkan, jejak adab yang sunyi tetapi menggerakkan, jejak bakti yang kecil di mata manusia namun besar di sisi-Nya.

 

Dan bila suatu saat, anak-anak kita bertanya apa arti 35 tahun bagi sebuah pesantren, kita bisa menjawab: ini adalah umur sebuah janji—janji untuk setia pada ilmu, berani pada zaman, dan rendah hati pada Tuhan. Selamat milad ke-35, Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek. Langitmu semoga selalu luas; tanahmu semoga selalu subur; dan jalanmu, seperti namamu, selalu menjadi “subul al-salām”—jalan-jalan keselamatan.

Selasa, 24 Juni 2025

Agama Tanpa Akal

Selasa, Juni 24, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Agama diturunkan bukan untuk membelenggu, tetapi membebaskan umat manusia dari segala ilusi dan tipu daya. Di tangan mereka yang keliru, agama yang suci bisa berubah menjadi pedang yang menikam, memghancurkan, dan tameng yang menolak kasih. Akal dituduh sebagai bid’ah, nalar disingkirkan demi dogma, dan pertanyaan dibungkam oleh ancaman.

 

Imam al-Ghazali—sang pembela ortodoksi yang akhirnya menemukan jalan sufi—pernah menulis dalam al Mustasfa tentang pentingnya peran akal. Dan dalam al-Munqidz min al-Dhalal ia memastikan: "Keraguan adalah awal dari pengetahuan." Maka dengan itu semua ia ingin menghidupkan api pencarian, dan memadamkan bara kepalsuan. Sebab menurutnya iman yang tak boleh dipertanyakan adalah iman yang rapuh, tak berakar kuat.

 

Ibn Rusyd, filsuf agung dari Andalusia, dengan semangat berlipat membela rasionalitas dalam beragama. Dalam Fasl al-Maqāl, ia berkata: "Kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran." Maksudnya: wahyu dan akal, jika benar, takkan saling membatalkan. Justru saling menerangi, seperti bulan dan matahari dalam satu atap langit.

 

Tetapi, lihatlah hari ini—betapa banyak luka dunia berasal dari mereka yang mengatasnamakan agama tapi membunuh nalar. Yang meledakkan rumah ibadah, yang merendahkan martabat wanita di muka umum, yang menuduh orang sesat hanya karena berpikir berbeda. Mereka menyebutnya iman. Padahal itu adalah tirani yang berselimut kesucian.

 

Serial film Walid yang viral belakangan ini, adalah potret getir dari agama tanpa akal. Di situ, pemimpin spiritual menjadi manipulator ilusi paling ulung, menggunakan ayat-ayat suci sebagai belenggu. Para pengikutnya tidak berpikir—mereka hanya tunduk, meski logika telah terbakar dan moral telah mati. Inilah potret beragama yang kehilangan cahaya akal: indah di luar, kelam di dalam.

 

Karen Armstrong, menyebut dalam The Battle for God: “Ketika agama terpisah dari rasionalitas, ia mudah berubah menjadi ideologi kekerasan.” Agama adalah jalan menuju Tuhan, tapi tanpa akal, jalan itu bisa menyesatkan ke dalam fanatisme, ekstremisme, dan kehampaan. Ritual jadi beku, doa menjadi hafalan tanpa jiwa, dan hati menjadi medan pertempuran antara kesalehan palsu dan keraguan yang terbungkam.

 

Bila agama tanpa akal, maka iman hanyalah kebisingan. Tapi bila agama bersama akal, maka ia menjadi simfoni suci, yang mengantar manusia pada Tuhan dengan langkah sadar dan hati terbuka. Akal bukan pengkhianat agama. Ia adalah penjaga tafsir, penyaring kebenaran, dan penerang di tengah gelap zaman. Ia tidak melawan wahyu—ia menafsirkan. Ia tidak menghina Tuhan—ia mencari-Nya.

 

Maka mari kita rawat iman dengan cinta dan pikir. Kita sambut wahyu bukan hanya dengan dada yang lapang, tapi dengan nalar yang tajam. Karena hanya dengan itu, kita menjadi benar-benar hamba—yang taat karena mengerti, dan tunduk karena mencinta. Jangan serahkan pikiranmu pada siapa pun yang melarangmu berpikir. Karena Tuhan tak pernah melarang manusia bertanya. Ia menciptakan akal justru agar kita kembali kepada-Nya dengan sadar, bukan sekadar ikut-ikutan.